Sudah tiga hari berlalu sejak kepergiannya. Gawai yang biasa dipenuhi pesan unfaedah darinya, kini tak lagi aku temukan. Kepergiannya membuatku merasakan ada sesuatu yang hilang. Mungkin ini efek dari berkurangnya salah satu kebiasaan yang sudah dilakukan beberapa bulan terkahir. Wajar saja, sudah hampir dua bulan berlalu kami mengobrol akrab di whatsApp. Tiap hari betul, dia tak pernah absen untuk mengirimkan pesan. Kadang berfaedah, kadang unfaedah. Namun, lebih banyak unfaedahnya.
Padahal, dia hanya membagi hal yang dia lakukan hari itu yang mana aku tak peduli sebenarnya akan hal itu. Kekanakan sekali. Setiap hal di beritahu. Hadeuh ... lebay. Bukan aku sekali. Selain laporan kegiatan, dia juga sering mengirimkan gambar dan video terkait dirinya. Seperti saat dia hendak bermain futsal, tak lupa ia memotret lapangan dan mengirimkannya kepadaku dengan caption "Mbak, malam ini aku main futsal ya. Nanti kita sambung lagi ngobrolnya,".
Sebenarnya, aku tak peduli. Di mau ini mau itu, terserah saja. Aku juga tidak menunggu pesan darinya. Mengapa dia memberi tahu aku situasinya seolah aku sedang menanti balasan pesan darinya. Percaya diri sekali. Tinggal tak usah di bales saja, aku juga tak akan mempertanyakan mengapa ia tak kunjung aktif. Sungguh, kekanakan. Aku risih sebenarnya.
***
Mungkin dari sikap sepelenya itu kepadaku yang membuatku kini mencari dirinya. Nampak seperti ada yang kurang dalam hariku. Aku tak menyangka jika ini mulai terasa berat.
Aku selalu menepis perkataannya tentang kepergiannya ini. Aku selalu bersikap acuh saat ia mengatakannya.
"Mbak nanti bakal merasakan kehilangan saat aku benar-benar pergi. Mungkin sekarang biasa saja, ya karena Mbak belum mengalaminya. Lihat saja nanti saat waktunya tiba,"
Perkataannya di pesan waktu itu benar saja terjadi. Aku merasakan hal yang ia katakan. Terkadang aku bingung dengan diriku. Apa aku sudah ketergantungan dengannya? Mengapa aku begini? Mencari-cari dirinya.
Dulu, sebelum dia pergi, aku ingin melepaskan diri. Aku ingin menjauh darinya. Aku ingin berhenti melakukan khalwat dengannya. Itu yang terucap. Namun, hati berkata lain. Nampaknya, setan sedang bertepuk tangan atas diriku.
***
Tiap hari aku memantau status online pada whatsApp-nya. Tampilannya sama seperti sebelumnya. Dia tak menggunakan gawainya sama sekali. Terkadang, aku membaca pesan-pesan yang telah dia kirim. Aku putar rekaman suara dari bayan yang dilakukannya. Tanpa sadar bulir bening menetes di pipi. Yaa Allah ... Apa aku sedang merindukannya? Astaghfirullah ... ini tak benar.
Belum lagi saat di jalan, aku acap kali melihat ikhwan berjubah lengkap dengan sorban persis seperti starterpack yang ia pakai. Saat melihat mereka, hati ini mulai berkata "Apa itu dia?". Belum lagi, temanku juga menyadari tingkahku saat melihat ikhwan yang berpenampilan seperti dirinya. Temanku secara sepontan berkata "Kenapa? Inget dia ya? Tadi liat gak yang di samping kita? Saat melihat mereka, aku terpikir kalian berdua nanti gitu,". Aku hanya menanggapinya dengan tawa palsu.
Aku dan dia sudah memutuskan sebagai kakak adik. Dia telah menggapku seperti seorang kakak. Bagaimana aku? Aku juga demikian, menganggapnya seperti seorang adik. Namun, faktanya aku seperti ini.
Apa status yang kami katakan benar adanya? Ntahlah, aku juga tak tahu. Aku tak tahu bagaimana tentang hati. Apa juga menganggap begitu? Wallahu a'lam.
Yang jelas rasaku ini tak benar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia yang Tak Pantas Aku Rindukan
Novela JuvenilCerita ini hanyalah cerita biasa. Dengan masalah yang sering di jumpai. Tidak hanya aku, kamu juga pernah merasakannya.