BAB 9 : Orang Asing

1 0 0
                                    

"Seseorang tak dapat mengerti dengan baik bagaimana perasaan dan keadaan orang lain. Semua orang egois"

Setelah sekian lama, aku memutuskan untuk membuatnya benci kepadaku. Ramadhan tahun ini menjadi penguatku. Penguat untuk mengakhiri hubungan gila. Berharap bisa menjadi diriku yang dulu. Bebas dari gangguan tak jelas. Berkali saat aku mencoba mengatakan alasan aku meninggalkannya, dia tak mengerti. Dia egois. Tetap membenarkan hubungan yang salah. Bukankah dia telah mengetahui itu? Mengapa dia malah menyangkalnya?

***

Berkali aku mengurungkan karena rasa ibaku kepadanya. Namun tidak pada ramadhan ini. Perkataan guruku, benar-benar menancap di benak. Aku berpikir keras. Akhirnya aku menemukan alasan kuat, aku sudah yakin. Aku akan mengakhiri ini.

***

Secara tegas, aku berkata kepadanya bahwa jangan pernah hubungi, kecuali hal penting. Apa respon ynag dia berikan? Seperti sebelumnya. Dia selalu merasa terdzolimi dan mulai mengeluarkan kata-kata yang bisa menggugah orang untuk membatalkannya dan juga merasa menyesal karena telah melakukan ini kepadanya.

Siapa juga yang menyesal? Aku tak peduli lagi kata-katanya. Aku sadar betul, dia tersakiti. Lillahita'ala. Aku tinggalkan dirinya karena Allah. Itu yang membuatku terus maju. Tapi nampaknya, dia tak menginginkan itu. Dia menganggap seolah ini adalah akhir. Tak ada lagi hubungan pertemanan.

Bukanlah maksudku demikian. Dia memang terlampau egois. Dia tak memikirkan perasaanku yang tak ingin ini menjadikan hal ini sesuatu yang terlaknat. Dia ingin akrab sedia kala. Mohon maaf, diri dan hati ini tak bisa lagi. Hati dan jiwa ini berusaha dipersiapkan hanya untuk calon pasanganku kelak. Jadi, tolonglah mengerti!

Dulu, ketika aku dan dia masih akrab, dia pernah berkata bahwa jika aku sudah menikah nanti, dia ingin keakraban itu terus ada. Pasanganku tak boleh melarangnya untuk terus akrab denganku. Hah? Gila! Yang benar saja! Hal itu mustahil. Mana ada pasangan yang merelakan pasangannya menjalin keakraban dengan orang lain yang berlawanan jenis.

Sebenarnya aku sangat berterimakasih kepada Allah, dengan ini Allah telah menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya.

Meskipun dia memendam kekecewaan, itu lebih baik dari pada harus menanggung murka Allah.

Perkataanku berakhir begitu saja tanpa respon darinya. Aku pikir, dia pada akhirnya akan sadar. Ternyata aku salah.

Hari ini, aku dan dia bertemu kembali. Namun dengan suasana yang berbeda. Aku dengan entengnya menegur dia, bahkan sampai berulang kali. Dia tak meresponku. Aku tak mau berburuk sangka terlebuh dahulu. Aku menanyakan kepadanya secara langsung melalui whatsApp. Dia menjawab santai,  dia berkata bahwa dia sengaja. Rasanya, euh ....

***

Ini bukanlah tujuanku. Mengapa kini dia ingin mengajakku bermusuhan? Mengapa dia tak kunjung mengerti maksud dan tujuanku waktu itu?

Ah ... Aku dan dia tak lagi berada pada frekuensi yang sama. Jadi, berhentilah memaksakan keadaan wahai diri. Tak ada alasan untukku memghubunginya. Tak ada alasan juga untukku menyimpan kontak pribadinya.

Dia tak layak aku rindukan, karena rindu juga di rasa tak mungkin. Ini jelas akan menimbulkan murka Allah.

Selamat menjalani hidup masing-masing.

Dia yang Tak Pantas Aku RindukanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang