Akbar |• Tiga

2.6K 230 6
                                    


Akbar berdiri didepan gerbang sebuah rumah, dimana rumah ini adalah rumah yang sangat terasa asing baginya. Kehangatan dalam keluarga kecil seperti yang orang lain rasakan, kapan Akbar merasakannya?

Lelaki itu tersenyum remeh, mengingat segala perlakuan buruk yang di tunjukan sosok ibu terhadap nya. Mama nya tidak hanya menyakitinya secara mental, sering kali Mama nya berani menyakiti Akbar secara fisik.

"Ehh, den Akbar," sapa pak Ilyas— Satpam keluarga Alteza, saat melihat anak majikannya hanya duduk di atas motor beat berwarna putih. "Bapak gak tau kalo aden udah pulang," ucap lelaki paruh baya itu.

Seolah tertarik ke dunianya, Akbar menggeleng. Mencoba menghilangkan bayangan-bayangan hari itu, bagaimana pun juga Abii nya tidak pernah mengajarkannya untuk menyimpan dendam apa orang lain. Apalagi ini adalah ibunya sendiri.

"Den Akbar ko geleng-geleng?" tanya Pak Ilyas polos.

"Ga geleng-geleng ko, Pak," jawab Akbar seraya menggeleng.

"Tuh kan geleng-geleng lagi," ucap Pak Ilyas sambil menunjuk kepala Akbar.

"Ahh, ini cuma kebetulan," alibi Akbar.

"Ah, si Aden mh suka gitu. Ayo den masuk, bentar lagi hujan," ajak Pak Ilyas.

"Buka dulu dong Pak gerbangnya."

"Ohh iya lupa," kata Pak Ilyas saat ingat gerbang nya belum di buka.

Akbar melajukan motornya menuju garasi, di sana belum ada motor beat warna biru milik Farel, tanda bahwa Farel belum pulang. Akbar kemudian memasuki rumah itu, dan melihat Mama nya sedang membuat kue di dapur bersama bi Ijah.

"Rel, udah pulang? Sini cobain kue buatan Mama," ucap Bunga saat merasakan bahwa anaknya sudah tiba di rumah.

Akbar menunduk, "F-farel belum pulang Ma," ucap Akbar sedikit ragu.

Bunga menghela nafas jengah, "oh itu kamu, saya kira Farel," ucap wanita itu dingin.

Akbar langsung berlalu dari sana, dalam hati ia kuatkan satu hal 'Akbar hanya boleh mencintai, tidak boleh membenci.'

"Yeyy, kue nya jadi," ucap Bunga riang bak anak kecil yang di beri permen. "Nah saat nya kita potong-potong deh," lanjutnya.

"Nyonya, ko cuma di bagi tiga?" tanya bi Ijah bingung saat melihat kuenya hanya di bagi tiga.

"Ini itu kue pertama saya, pasti saya bakalan kasih ke Mas Alan, Farel sama satu lagi buat saya."

"Den Akbar ga di kasih Nyah, den Akbar juga pasti mau nyicip kue  buatan Nyonya."

"Ngapain sih Bibi harus repot-repot ngurusin anak itu, saya aja gamau ngurus dia. Lagi pula, kan ada Bibi yang buatin dia kue," ucap Bunga membuat bi Ijah diam.

"Tapi masih enakan buatan mbak Salwa, Nyah."

Mendengar nama Salwa, Bunga menghentikan aktivitasnya. Sudah lama sekali ia tak berjumpa dengan sahabatnya itu, ia sangat merindukannya. Tapi jika mengingat kebohongannya di masalalu, malah benci yang kini menguasai hati Bunga.

"Ga usah bahas dia lagi, Bi."

~•|•~

"Mas, masih ingat Salwa ga?" Tanya Bunga saat makan malam sedang berlangsung.

Alan langsung saja menghentikan aktivitasnya, bagaimana ia bisa lupa pada sahabat istrinya itu?

"Sekarang dia dimana ya? Udah lama ga ketemu."

My Angel's   [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang