Akbar |• Tiga Puluh Sembilan

600 38 2
                                    

Happy reading! 🧡

~•|•~

Hari ini Suster Dita mendadak mengambil cuti. Jadi tugasnya untuk mengantarkan makanan ke kamar Akbar di gantikan oleh rekannya. Biarlah untuk hari ini Akbar tidak memiliki teman bercerita, toh hari ini juga ia pulang.

Seorang Suster cantik seumuran Suster Dita tampak tenang membawa nampan berisi makanan seperti biasanya. Sepertinya Akbar benar-benar menyesal karena pernah mengeluh, atas makanan yang Gerald buat. Tapi, lupakan itu.

Gadis itu berjalan ke arah jajaran kamar VVIP. Baru saja akan berbelok, seorang lelaki menghadang jalannya.

Lelaki itu menggunakan celana jeans, kaos hitam, serta jaket bomber yang menutupi kaosnya. Dia tersenyum ramah pada Suster tersebut. Tidak terlihat mencurigakan.

"Maaf Sus. Apa ini sarapan untuk pasien atas nama Akbar?" tanya lelaki tersebut.

"Iya," Suster itu tersenyum sopan.

"Boleh saya bantu? Ahh, maksudnya biar saya yang bawa. Kebetulan saya juga akan menjenguk Akbar," ujar lelaki itu.

Tak lama samar-samar senyum sinis tercetak di wajah tampan lelaki itu, ketika dengan mudahnya Suster tersebut memberikan alih nampan tadi pada... Gilang.

Iya, Gilang. Ada rencana yang sedang ia mainkan.

"Tolong ingatkan pasien untuk menghabiskan sarapannya." Suster cantik itu memberi pesan.

"Baik. Terimakasih," balas Gilang.

Kemudian Suster itu berbalik, dan berlalu darisana.

Mata Gilang menyapu seisi lorong, mencari kursi tunggu terdekat. Karena ia perlu mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya.

Gilang duduk di kursi memanjang yang ada di hadapan kamar No. 138, sedangkan kamar Akbar No. 148. Baguslah, agar Gilang dapat menjaga jarak.

Omong-omong, pagi ini lorong itu sepi. Semoga saja tidak ada yang memergokinya. Meski begitu, Gilang tetap memperhatikan setiap sudut yang ada di sana. Untuk berjaga-jaga, sebelum ia mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya.

Setelah merasa aman. Sebuah botol seperti tabung yang bening, berisi cairan hijau yang terlihat pekat. Gilang mengeluarkannya, sambil sesekali memainkannya dengan senyum miring. Dia merasa senang?

Lelaki gila.

Seketika Gilang tersadar. Kemudian membuka botol itu dan bersiap untuk mencampurnya ke makanan Akbar.

"Kemudian dia mati." Lelaki itu terkekeh pelan.

Satu tetes

Dua tetes

Tiga tetes

Empat tetes

Lima tetes

Gilang benar-benar ingin membunuh Akbar dengan racun mematikan yang ia campurkan pada makanannya.

"Pengecut," maki seorang lelaki yang kini berdiri menjulang di hadapan Gilang.

Gilang berdecak sebal. Ahh, ia sangat mengenal pemilik suara berat ini.

Dia, pemimpin Garda— Lintank.

"Sejak kapan lo jadi penguntit?" Gilang memberi jeda. "Udah cape lo ngurus anak buah yang ga bisa ngapa-ngapain?" tanya Gilang lagi dengan nada rendah.

Lintank terkekeh, "Tapi mereka bukan pengecut kayak lo. Membunuh tanpa menyentuh. Kenapa ga main dukun aja sih?"

"Bukan urasan lo," balas Gilang yang sebenarnya enggan ambil peduli. Toh, meskipun ia berada di bawah kekuasaan Lintank, tapi ia bukan budak yang selalunya harus di jaga oleh sang pemimpin.

My Angel's   [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang