"Tidak ada perpisahan yang baik, sejatinya setiap perpisahan memberikan luka serta pelajaran agar lebih baik di hari esok."~•|•~
Malam itu Bunga terbangun, merasakan hangat menjalari jemarinya karena disana terkait jemari Alan, pria itu terduduk di lantai, membelakangi Bunga.
Tampak bahu kokoh itu bergetar, hingga samar-samar suara isak tangis terdengar pelan.
Bunga mencoba menepis perasaannya, wanita itu menatap langit-langit sambil menggigit bibir bawahnya kuat. Tuhan, mimpi itu benar-benar terasa seperti kenyataan.
Alan segera berbalik tatkala tangan Bunga terasa memberikan pergerakan, senyumnya tipis, menatap wanita itu dengan sorot teduh. Kemudian Alan membantu Bunga untuk bersandar. Satu hal yang sukses membuat airmata Bunga mengenang di pelupuk matanya.
Tak ada alasan untuk Bunga tidak terharu dengan apa yang Alan lakukan, perlakuan manis yang sudah lama hilang.
"Mata kamu kenapa merah, Mas?" Wanita itu bertanya dengan nada lembut.
Namun Alan hanya menggeleng dengan senyuman simpul.
"Masa tadi aku mimpi rumah kita rame," ujar Bunga tatkala tangan Alan menyentuh kepalanya, memberikan usapan pelan. "Terus aku liat banyak tetangga dateng, pake baju item, ngaji yasin, pada nangis tau, Mas. Aku juga liat kamu, Farel, sama Salwa nangis. Terus yang paling buruk, aku liat anak aku di tidurin di ruang tamu. Aku mimpi Akbar meninggal. Aku nangis banget, aku sekarang gamau kehilangan Akbar, aku nyesel, aku mau memperbaiki semuanya..."
"Tapi untung deh itu cuma mimpi. Aku masih bisa perbaiki semuanya kan, Mas?"
Alan menatap Bunga dengan mata yang semakin berkaca-kaca. Hatinya kembali berdenyut sakit, seolah sembilu itu tak ingin berhenti menikamnya.
"Aku pengen ketemu Akbar, Mas ... Dia pasti sekarang lagi di Amerika kan? Dia pasti udah sampe atau lagi istirahat ya?"
Mata Bunga melirik nakas, lalu mengambil ponsel. "Aku mau chat Akbar aja deh, nanti kalo dia udah istirahat, aku mau videocall sama dia."
"Yah... cuma ceklis satu... gapapa deh." Wanita itu memberi jeda. "Aku mau chat Salwa deh, mau bilang makasih karena udah mau jagain Akbar selama di Amerika, besok aku mau kesana ya, Mas?"
"Kamu mau ketemu Akbar, hm?" Tanya Alan, Bunga mengangguk cepat. "Sekarang kamu tidur lagi ya?"
"Ko tidur sih, Mas? Aku kan baru bangun!" Gerutu wanita itu. "Ohh.. kamu mau biar besok aku ngga kesiangan ya?"
"Yaudah deh, aku tidur lagi. Aku kangen banget sama Akbar soalnya, pengen cepet-cepet ketemu. Pengen minta maaf sama dia, peluk dia, cium dia sama bilang kalo aku tuh sayaaanggg banget sama dia."
Alan bergeming, membiarkan airmatanya luruh begitu saja, membasahi kedua pipinya.
"Ko nangis? Terharu yaa liat aku yang udah berubah?" Bunga menerka.
"Kamu tidur lagi aja, ya? Besok aku ajak kamu ke suatu tempat."
Bunga menurut, seperti seorang anak kecil yang di suruh oleh orangtuanya, wanita itu langsung memejamkan mata. Karena yaa, kepalanya cukup terasa berat untuk di bawa terjaga. Namun Bunga tidak berani mengeluh, takut jika itu menjadi alasan penguluran waktunya bertemu dengan Akbar.
Namun tak lama, pintu kamar utama itu terbuka. Salwa dan Dita masuk bersamaan, memasuki ruangan bernuansa klasik itu.
"Mas, Mbak Bunga udah sadar ko ngga ngasih tau kami," ucap Salwa. Namun Alan tak merespon apa-apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Angel's [END]
Fiksi Umum"Ma, Pa... Anak lemah ini membutuhkan kalian," Dari Muhammad Akbar Alteza untuk Mama dan Papa. Akbar. Seperti namanya, Akbar memiliki hati yang besar. Semua orang menganggapnya kuat, menilainya hebat, mereka mengira bahwa Akbar adalah jelmaan Mala...