Akbar |• Tiga Puluh Tiga

676 58 0
                                    

°

"Maaf, aku egois. Aku ingin memilikimu seutuhnya. Sehingga aku lupa, takdirmu tidak akan berpihak padaku."

°

Part ini berisi kegajean😭

Happy reading! 🧡

~•|•~

Malam harinya Bunga terbangun, wanita itu sedikit mengangkat kepalanya, lalu meringis ketika merasakan sakit di bagian kepala dan lehernya. Hingga akhirnya ia tersadar, jika sejak tadi ia tertidur di meja. Kemudian Bunga melakukan sedikit peregangan sebelum benar-benar bangkit. Bunga pergi keluar, membiarkan ruangan itu gelap, karena biasanya seperti itu. Satu hal yang menjadi kesan paling terlihat ketika Bunga keluar adalah, menyeramkan. Rumah berlantai tiga itu malam ini benar-benar gelap gulita dan sepi, seolah tidak ada kehidupan di sini.

"Bii!" Panggil Bunga setengah berteriak. Mungkin Bi Ijah lupa, pikirnya.

Tapi tak ada yang menyahut. Hingga ketika Bunga menuruni tangga, ia kembali di ingatkan oleh kejadian siang tadi. "Apa mereka belum pulang ya?" tanya wanita itu pada dirinya sendiri.

Dengan langkah cepat Bunga menuruni tangga dan berjalan menuju saklar lampu utama. Dalam satu kedipan mata, rumah itu sudah benar-benar terang, meski hanya sebagian tempat.

Bunga lalu menerjap terkejut. Bagaimana tidak? Dengan jelas dirinya melihat anak itu berjalan dari arah dapur, dengan sebaskom air dan handuk yang ia sampirkan di bahunya. Sekejap Bunga menghembuskan nafas lega, bagaimapun Bunga tidak perlu lagi merasa khawatir akan di salahkan oleh orang tua dan mertuanya. Tapi ada satu hal yang membuat kejadian itu seperti ganjal, ketika Akbar berjalan di hadapannya, seolah tidak ada dirinya di sana. Alias Akbar berjalan seolah tak melihat Bunga. Mata Bunga terus memperhatikan langkah anak itu yang berjalan ke arah sofa. Lagi dan lagi, Bunga di buat keheranan dengan keberadaan dirinya yang sedang tertidur di sofa. Tiba-tiba datang Bi Ijah yang juga bersikap sama seperti Akbar tadi.

"Nyonya sakit, Den?" tanya Bi Ijah saat melihat Akbar bersimpuh di lantai setelah tadi melihat Akbar menyimpan baskom berisi air di meja, dengan tubuh Bunga yang terbaring di sofa.

"Iya nih, Bi. Demam. Kayaknya kecapean ngurusin aku," jawab Akbar di akhiri celetukan yang membuat Bi Ijah geleng-geleng di buatnya.

"Mana ada orang tua yang cape ngurus anak," ujar Bi Ijah.

Akbar tak langsung menjawab, karena lelaki itu sibuk mencelupkan handuk. "Ada, kalo anaknya bandel? Pasti cape dong," balas Akbar seraya memeras handuk itu.

"Ehh Aden," tahan Bi Ijah tiba-tiba saat Akbar hendak menempelkan handuk itu di kening Bunga. Akbar sontak menoleh seraya menaikan alisnya, seolah bertanya, "kenapa?"

"Nanti Aden kena marah Nyonya. Biar Bibi aja," ujar Bi Ijah.

Akbar melirik kanan kiri bergantian, lalu menatap Bi Ijah lagi. "Kalo Mama marah, nanti Bi Ijah bilang ada tamu gitu ya."

"Kenapa?" tanya Bi Ijah spontan.

"Biar Akbar bisa kabur hehe," jawab Akbar di iringi cengiran kuda. Bi Ijah tertawa pelan.

Tanpa Bunga sadari, senyum tipis tercetak di wajah bantalnya. Tapi itu tak berlangsung lama, tepat saat Akbar hendak menempelkan handuk tadi, Bunga terbangun. Seperti biasa, Bunga akan memarahi Akbar tanpa tau kesalahannya.

"Kamu ngapain?" tanya Bunga seraya terduduk cepat.

Akbar lagi-lagi menunduk, tak berani menatap Bunga.

My Angel's   [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang