Akbar |• Empat Puluh Delapan

1K 47 3
                                    


Ini part gaje si hahhaha

~•|•~

Sinar matahari pagi perlahan masuk melalui jendela yang hanya di buka gordennya, udara hangat seolah sedang berperang dengan udara dingin yang sebelumnya terasa menusuk.

Pagi ini hati Akbar semakin terasa hampa, dirinya rasa hari ini ia akan kehilangan banyak hal, entah itu yang sudah dirasakan atau yang belum pernah sekalipun. Tapi hari ini Akbar bertekad akan melakukan satu hal yang besar. Membawa pergi mobil pemberian Tuan Dyland tempo hari misalnya, atau menonton pertarungan dua genk sekolah yang hari ini akan beradu.

Setelah merasa sudah siap, Akbar kemudian mengambil ponsel serta paperbag yang berisi dua kotak beludru. Akbar akan menjumpai kedua gadis itu satu persatu, hanya sekedar menyampaikan salam perpisahan sebelum tiba waktunya Akbar take off.

Tak ada yang Akbar temui selama ia berjalan keluar dari kamar menuju garasi, ah ya! Akbar sempat berpapasan dengan Bunga yang baru kembali dari dapur. Kedua iris itu bertemu, sorot mata Bunga benar-benar menyiratkan kebencian mendalam pada Akbar. Sebenarnya dimana letak kesalahan putra bungsunya?

"Kamu mau kemana?" Tanya Alan yang entah darimana datangnya.

Akbar menoleh, "Cari angin."

"Jam segini? Ngapain kamu keluyuran, harusnya kamu siap-siap, nanti abis zhuhur kita take off." Alan merubah sorotnya menjadi dingin.

"Zhuhur masih lama, aku perlu healing sebentar."

"Kamu kan bisa ajak temen-temen kamu, Dita, Yunus, Salwa atau Gerald buat nemenin kamu."

"Aku udah cukup nyusahin mereka selama ini," jawaban Akbar semakin dingin. "Lagipula ini hari terakhir aku, aku gamau terus kasih kesan buruk buat Mama."

Bunga menoleh, tepat saat itu Akbar juga sedang menatap kearahnya dengan senyum tipis. Anak itu terlihat manis...

"Yaudah, kalo gitu Akbar pergi dulu. Assalamualaikum," pamit Akbar, berniat pergi tapi ucapan Alan menghentikan langkahnya.

"Kamu gamau salam dulu?"

Akbar menghela nafas sesaat. Berat rasanya. Ketika Akbar mencoba melupakan porsi kebahagiaan untuknya, Alan justru bersikap seolah menyakinkan Akbar bahwa kebahagiaannya pasti akan segera ia dapatkan.

Tapi bagaimanapun, Akbar tetaplah seorang anak yang ingin sekali dapat berbakti serta membalas segala kebaikan orangtuanya. Mungkin tidak sekarang, nanti, atau tidak akan pernah.

Kemudian anak itu berbalik, menyalami Alan dan Bunga bergantian. Alan mengusap lembut surai hitam milik Akbar yang masih basah. Ini adalah kali pertama Alan bersikap layaknya seorang ayah yang menyayangi anaknya.

"Jangan sering-sering puasa, kamu ga sekuat orang-orang yang jadi panutan kamu selama ini," ujar Alan.

Akbar hanya mengangguk.

Dingin mulai terasa, menjalar dari jari hingga tiba menuju hati Bunga ketika Akbar meraih tangannya, lalu menciumnya lama. Anak ini, sosok lelaki yang pernah memeluk lalu meneteskan darah di dress cantik yang saat itu di kenakannya. Sosok lelaki yang dulu sering di bentak, hingga tak segan dulu Bunga menyakiti fisiknya. Ingin sekali hari ini, detik ini juga Bunga merengkuh tubuh yang memang sudah selemah itu. Namun jarak yang diantara terlalu membentang jauh, terlalu sulit untuk Bunga meraih tubuhnya.

My Angel's   [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang