Akbar |• Empat Puluh Empat

700 48 5
                                    

Happy reading! 🧡

~•|•~

'Di balik setiap kelemahan seorang anak, dia tetap memiliki senjata yang bahkan dapat menembus langit. Yaitu, do'a.'

Caption yang di tulis Akbar pada unggahan foto terbarunya di Instagram. Sebuah foto berisi dirinya yang membelakangi kamera— Karena kebenarannya, foto itu dengan sengaja di ambil oleh Suster Dita saat di rumah sakit tempo hari dan baru di kirimkan tadi subuh.

Lagi-lagi lelaki itu tersenyum tipis dengan tatapan hampa ke arah layar ponselnya yang masih menyala. Sakit, satu kata yang dapat mendeskripsikan apa yang di rasakannya sekarang. Entah itu fisiknya, bahkan batinnya.

Namun jika mengingat hari ini adalah hari yang akan membahagiakan untuknya, Akbar sontak tersenyum mengembang. Seolah berusaha untuk terlihat baik-baik saja.

Lelaki itu kemudian bangkit dari duduknya. Pagi ini tampak cerah, tak terlalu terik, tapi hangat. Semesta seperti ingin ikut membuat hari ini istimewa bagi Akbar.

"Perfect." Puji lelaki itu pada dirinya sendiri. Kemudian dia tertawa renyah. Rasanya benar-benar aneh. Saat Akbar melihat dirinya tampak tampan di pantulan cermin, meski sebenarnya ia sedikit risi karena bibirnya harus menggunakan perona bibir. Sekedar untuk menyembunyikan bibit pucatnya. Perona itupun ia dapatkan saat malam hari, menyelundup masuk ke kamar Bunga.

Untung tidak ketahuan.

Merasa bodoamat. Akbar lalu mengambil tas selempang beserta ponsel yang di taruhnya di atas meja, kemudian berjalan keluar kamar. Alih-alih langsung pergi, lelaki itu justru mampir dulu ke kamar sebelahnya. Melihat kondisi sang kembaran yang katanya demam.

Netra sayunya menatap teduh tubuh yang di gulung selimut tersebut, meski tak seluruh badan. Kakinya berjalan mendekat, kemudian dia bersimpuh, lalu mengelus lembut pelipis lelaki yang terasa panas itu.

"Jangan sakit lagi ya?" ujar Akbar lirih. "Cukup gue aja. Lo itu kebanggaan Mama, kalo lo sakit ntar Mama sedih. Pokoknya lo harus sembuh. Oke?"

"Gue mau pergi dulu, bentar ko." Akbar menjauhkan tangannya, karena tubuh Farel memberikan pergerakan padanya.

"Gue tau ko lo ga tidur," ucap Akbar, terdengar seperti cibiran. "Pokoknya jangan khawatirin gue kalo gue pulang larut malam ini. Lo harus banyak makan, biar sembuh. Jangan lupa minum obat. Trus jangan tidur terus, jangan mikirin konten juga. Istirahat yang banyak pokoknya! Biar besok bisa ikut ke Amrik," lanjutnya, mengoceh.

Farel bergeming.

Kemudian Akbar melirik jam tangannya, lalu mengangguk. "Yaudah, gue pamit. Assalamu'alaikum."

Suara hentakan kaki terdengar di telinga Farel. Akbar benar-benar pergi. Setelah beberapa saat, lelaki itupun berbalik. Menatap sendu pintu kamar yang sudah tertutup rapat.

Ingin sekali hatinya memaki Akbar!

Kembarannya bahkan mengoceh panjang lebar padanya, namun dia melupakan dirinya sendiri.

•|•

"Apaan tuh?"

Akbar bertanya dalam hatinya. Tepat saat keluar rumah dengan kunci mobil di tangannya, dia melihat sekumpulan ibu-ibu yang sedang berkumpul di gerbang rumahnya— meski terlihat samar, karena jaraknya yang jauh.

Lelaki itu kemudian mengangkat bahu, tak peduli. Lalu berjalan ke garasi untuk mengambil salah satu mobil yang ada di sana. Sebenarnya baik Akbar atau Farel, keduanya sudah bisa dan di perbolehkan membawa mobil. Namun, mereka pikir 'menggunakan beat jauh lebih menarik.'

My Angel's   [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang