19- Si Pemaaf

66 14 22
                                    

Hari ini Dasha masih belum diperbolehkan sekolah. Gadis itu disuruh berisitirahat terus menerus oleh Seva. Mau bagaimana lagi? Tubuhnya juga masih sedikit lemas.

Waktu menunjukkan pukul setengah 10 malam. Dasha mendekam di kamar, bersama dengan televisi dan ponselnya.
Matanya memandang lurus ke televisi, namun fikirannya kosong.

Tiba tiba saja suara rusuh terdengar dari balkon kamarnya. Sontak ia menoleh terkejut. Tangannya dengan sigap mengambil tongkat baseball yang selalu disimpan di bawah kasur sebagai alat perlindungan.

Perlahan ia melangkah turun dari kasur menuju ke pintu balkon. Hingga 2 langkah sebelum membuka pintu, ia bersiap mengangkat tongkat baseballnya.

Cklek

Bughh

Tepat saat itu juga Dasha melayangkan tongkatnya, memukul siapapun yang berada di depan. Dan daebak! Kelihatannya pukulan itu tepat mengenai sasaran.

Dasha membuka matanya, terkejut melihat seseorang berpakaian serba hitam. Segera ia mengangkat tongkatnya hendak melayangkan kembali namun dicegat oleh orang itu.
Kedua tangannya dicekal erat, hingga tongkat baseballnya terjatuh.

"Argh.." rintihan pelan keluar dari mulut laki laki di hadapannya.

"Darren?" Gumam Dasha kecil.

"Sakit, Sha." Rengek Darren sambil mengusap bahunya yang terkena pukulan tongkat tadi.

Dasha mundur 2 langkah, menarik paksa tangannya dari cekalan Darren. "Salahnya kamu malem-malem kesini."

"Gue kangen."

"Pulang." Titah Dasha pelan.

"Gak. Gue mau ngomong sesuatu sama lo."

"Ga ada yang mesti diomongin lagi Darren. Bunda juga udah bilang kam—"

"Ssst.." desis Darren sambil menarik asal pinggang ramping Dasha. "Gue ga peduli. Gue butuh lo."

"Tapi aku ga butuh kamu. Lepas!"

"Yakin? Lo pasti butuh gue." Dasha berusaha merenggangkan tangan Darren, namun gagal. Tangan kekar cowok itu malah semakin mengerat di pinggangnya.

"Darren, lepas! Nanti kalau bunda kesini—"

"Lo denger kan gue tadi ngomong apa? Gue ga peduli."

Dasha mendesis sebal, hatinya kian dibuat acak kadul karena ulah Darren. Ia menatap mantan kekasihnya itu kemudian mendorong dada Darren dengan sekali sentakan, "Munafik, egois, pembohong dan licik! Udah aku bilang Alika lebih butuh kamu! Giliran ada Alika, kamu cuekin aku, sekarang Alika ada di rumah sakit, kamu dateng ke aku. Kamu harusnya jagain dia disana!" Dasha meninggikan intonasi namun dengan nada yang pelan.

"Gue har—"

"Aku ga mau ketemu kamu lagi Darren! Kita udah ga ada apa-apa." Final Dasha kemudian masuk ke kamarnya, menutup pintu balkon dan menguncinya kemudian melompat masuk ke dalam selimut.

Gadis itu membungkam mulutnya dengan bantal, dengan air mata yang mulai menderas di bawah krukupan selimut.

Meninggalkan Darren yang menatap sendu ke arah pintu balkon. Laki laki itu memang egois, semua ucapan Dasha, Leon dan Serin selalu berputar di kepalanya, menjadikan tamparan tersendiri untuk diri dan hatinya.



****




"Yuk ke kantin." Dasha tersentak saat tiba tiba saja Leon berdiri di depan pintu kelasnya.

"Ikot!" Pekik Ronal dari belakang, datang bersama dengan Serin.

"Ya udah bareng bareng aja." Ujar Dasha pelan kemudian berjalan lebih dulu, ingin menutupi rasa penasaran dimana hadirnya Darren.

Sampai di kantin, mereka duduk di satu meja yang sama. Ronal bagian memesan makanan, sementara di meja hanya ada keheningan. Serin dengan wajah bekunya, Leon yang asik melirik Dasha, dan Dasha yang sibuk dengan pikirannya.

"Gue boleh gabung?" Pertanyaan seseorang membuat aktivitas ketiganya buyar.

Saling melirik, Dasha kemudian menyentuh pelan pergelangan tangan Leon. "Leon, aku ke kelas aja ya."

"Ga—"

"Oke, gue pergi." Darren kembali membawa nampannya pergi menjauh dari meja Dasha dan yang lain.

"Sepupu laknat lo tuh." Kekeh Leon pada Serin.

"Sahabat lo." Balas Serin cuek kemudian melirik Dasha sekilas, "Gak usah dipikirin. Kalau lo mau move on dari dia, ya berjuang."

"Emm iya."

"Sahabat lo mungkin udah kena karma, tinggal tunggu si Darren aja." Ujar Serin santai dibalas tawa Leon, "Ngedoain sepupu sendiri anjir."

"Aku mau jenguk Alika nanti." Potong Dasha.

Serin meletakan ponselnya kemudian menoleh pada Dasha, "Menjenguk pengkhinat?"

"Kamu ga boleh ngomong gitu, karena kamu dulu juga percaya dan mau dimanfaatkan buat ngelindungin dia juga kan?" Ucapan Dasha menghadirkan desahan malas dari Serin. Dasha selalu mampu membalikan semuanya kembali.

"Gue diancam sama mantan Lo itu. Kalau bukan karna Darren, gue ga akan mau ngelindungin gadis ular macam sahabat Lo itu."

"Udah gue bilang jangan bodoh, Sha." Serin menatapnya lamat lamat, "Coba sekali aja lo pahami, sekali aja lo sadarin semuanya. Lo itu hanya dimanfaatin juga sama Alika."

"Permainan dia terlalu bagus buat ngibulin lo. Sejauh ini, kenapa Lo ga pernah marah Sha?"

Dasha memejamkan matanya singkat, "Kalau aku marah, itu tandanya bukan aku. Itu iblis yang sempat menguasai emosi aku. Mau bagaimanapun juga, Alika tetep sahabat aku."

Seisi meja terdiam sejenak. "Bahkan setelah diginiin lo masih mau bersahabat sama dia?"

"Ser.." Leon memberi peringatan pelan.

"Terserah lo deh Sha." Putus Serin menghela nafasnya berat.

Dasha tidak membalas lagi. Gadis itu hanya menunduk menatap kedua sepatunya. Bukan masalah tidak ingin melirik Serin, namun bila ia mengangkat kepala kembali, pandangannya akan bertabrakan dengan Dero yang duduk di ujung sana.

"Sha.." Dasha melirik singkat ke arah Leon.

"Nanti gue anter jenguk Alika. Jangan sendirian."

Serin melirik mereka, "Gue ikut."

"Gak. Nanti Lo buat keributan." Tolak Leon.

****


Vote komen harus!!!!!

Jangan lupa follow ig saya:
@dita_o.c

POV (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang