33- Perasaan Leon

20 6 1
                                        

Darren pergi ke lapangan basket di luar sekolah bersama tim basketnya yang lain. Kejar waktu untuk turnamen berikutnya. Mereka pergi sejak bel pulang belum berbunyi.

Alhasil kini Dasha tidak bisa menemui Darren lebih dulu. Gadis itu memilih pergi ke kelas Serin.

"Serin, tunggu." cegat Dasha.

"Lo bukannya mau ke rumah Leon?"

"Iya, aku minta tolong jangan kasih tau Darren, ya?"

Dahi Serin berkerut, "Kenapa? Nanti dia juga bakal tau."

Dasha menggeleng, "Aku ga ngomong sama dia bakal ke rumah Leon. Nanti aku juga bakal pulang, sebelum Darren sama bunda pulang."

Melihat wajah Serin yang setengah bimbang, Dasha bersuara lagi.
"Please bantu aku ya, Serin?"

"Hanya kali ini, lo harus jujur sama suami lo." ucap Serin dengan nada pelan.

Dasha tersenyum kecil, "Iya, hanya kali ini kok. Makasih Serin, aku duluan ya!"

Ketika Dasha berbalik meninggalkan koridor kelas Serin, gadis itu menghela nafas. Entah bagaimana hubungan Dasha dan Darren selanjutnya. Ini cukup aneh, menurut Serin keduanya sama-sama bodoh. Sifat Dasha dan Darren berlawanan, tapi perbuatan yang dilakukan Dasha sekarang sama seperti perbuatan Darren yang dulu.

Seperti sebuah pembalasan. Ya, Serin tidak mengerti bagaimana alur pikiran gadis polos seperti Dasha. Ia mengangkat bahu dan memilih pergi.



****




"Bisa naik motor gue?" tanya Leon pelan-pelan.

"Bisa, kan udah pernah dulu." balas Dasha, lalu memegang bahu Leon untuk dijadikan pegangan. Beberapa kali ia meringis, harus menjaga perutnya sebaik mungkin.

Dasha baru bisa menghela nafas setelah berada di atas motor Leon.

"Kenapa? Keliatannya lo takut gitu?" tanya Leon heran.

"Takut jatuh aja, ayo jalan." Jawab Dasha sambil menepuk bahu Leon beberapa kali.

Halaman sekolah sudah lumayan sepi, Leon segera menjalankan motornya keluar dari sekolah. Selama perjalanan hingga sampai ke rumah laki-laki itu, tidak ada pembicaraan sama sekali. Leon ingin bertanya, tetapi pertanyaannya membutuhkan waktu serius berdua bersama Dasha.

"Kak Dasha!" sambut Levina, berlari kecil menuju gerbang.

"Hai!" balas Dasha, tersenyum lebar lalu memeluk Levina.

"Kenapa kak Dasha ga pernah ke sini? Vina kangen." ujar Levina dengan raut murungnya.

"Maaf ya, Vina."

"Dimaafin! Ayo kita main!" Levina menarik pergelangan tangan Dasha, agar segera masuk ke rumah. Semua itu disaksikan oleh Leon, dalam diam.

Cowok berambut setengah panjang tersebut, mengangkat sudut bibirnya. Karena Dasha, Levina bisa tersenyum kembali.

"Kemarin pas di sekolah, Vina dikasih Barbie sama bu guru. Nih, lucu nggak?" celoteh Levina, menunjukan boneka Barbie miliknya pada Dasha.

Dasha mengangguk, "Bonekanya cantik, kayak Vina."

"Kak Dasha ambil satu ya, kita main bareng!"

Mereka berdua asik bermain, dengan Levina yang terus berceloteh menceritakan pengalamannya. Gadis kecil itu terlihat jauh lebih baik, dari pada yang diceritakan Leon. Tetapi memang benar, kantung mata Levina terlihat jelas, bahkan sedikit menghitam. Levina pasti susah tidur.

"Levina." suara Leon membuat keduanya menoleh.

"Kak Dasha biar minum dulu, kamu main sendiri gapapa kan?"

"Gapapa bang." balas Levina dengan cengirannya. Leon mengangguk, lalu menoleh ke Dasha, "Sha gue udah buatin teh, minum dulu."

"Makasih Leon." Dasha beranjak, menuju sofa lalu meminum teh yang sudah dibuat oleh Leon. Ia memang cukup haus dari tadi.

"Sha, boleh bicara bentar?" tanya Leon sambil duduk di sebelah Dasha. Tentu saja Dasha mengangguk.

Cowok itu mulai mengambil posisi santai, menghela nafas berat sebelum akhirnya bersuara. "Kemarin gue ga masuk sekolah, gara-gara ditelfon gurunya Vina pas mau berangkat. Gue ga tau Vina sakit apa, dia muntah-muntah dari kemarin."

"Serius? Udah kamu periksain ke dokter?" tanya Dasha khawatir.

Leon menggeleng, "Gue kasih obat aja, sama makanan berkuah. Kayaknya dia udah baikan, semenjak ketemu lo."

Dasha memperhatikan Levina dari jauh. Gadis kecil itu membutuhkan perhatian dan kasih sayang dari orang tua. Namun sayang, tidak ada yang bisa memberikannya hal itu.

"Gue boleh tanya sesuatu?" Dasha mengerjap lalu menatap Leon, "Apa?"

"Lo bener balikan lagi sama Darren?"

Hening sejenak. Tangan Dasha bertengger di perut, mengusap pelan sambil terus memperhatikan Levina yang asik bermain. Namun fikiran Dasha tengah berkelana, mencari jawaban yang tepat.

"Kalau lo ga mau jawab—"

"Aku pernah bilangkan? Perasaan aku ke Darren, belum berubah sedikitpun." potong Dasha.

"Dan lo luluh lagi ke dia?"

"Ceritanya panjang, Leon."

"Oke sebelum terlambat, gue mau jujur." Leon mengambil nafasnya dalam-dalam, "Maaf kalau gue lancang, tapi gue selalu kepikiran lo setiap malem. Gue ga tau kapan rasa ini muncul, tapi gue suka sama lo Sha. Gue ga tau harus gimana lagi, karena hanya Levina dan lo yang gue punya."

Dasha tertegun sejenak.

"Kamu punya Darren, Serin, Ronal—"

"Ga ada yang sebaik lo, Sha. Intinya gue jatuh hati sama lo." ini bukan sebelum terlambat namun memang benar benar sudah terlambat.

"Aku nganggep kamu sebagai seorang teman baik." kalimat yang keluar dari mulut Dasha, berhasil meruntuhkan senyuman Leon.

Kini tangan Dasha bertengger di pundak Leon, lalu menepuknya pelan. "Ada yang lebih baik dari aku, ada seseorang yang lebih sempurna baik fisik maupun attitude-nya."

"Siapa?"

"Pasti ada." ujar Dasha meyakinkan.

"Ga bisa lo buka hati sedikit, buat gue?" tanya Leon sedikit berharap, "Gue bakal berusaha yang terbaik, Sha. Gue bakal usaha buat lo bahagia."

"Maaf Leon." Dasha terdiam, "Aku nggak jauh lebih baik dari pada yang kamu pikirin, dan aku udah punya Darren."

"Sha, tapi dia gila, dia nyakitin lo, Sha. Dia main di belakang lo, sejahat itu—"

"Semua orang berhak dapet kesempatan."

"Berarti gue juga berhak dapet kesempatan buat ngejar lo." Dasha menghela nafas sejenak. Pusing jika terus berdebat seperti ini, sebenarnya dia juga tidak enak menolak Leon. Namun mau bagaimana lagi?

"Leon, tolong ngertiin."

Leon menatap Dasha lekat, "Pasti ada alasan yang lain kan, Sha?"

"Ya, ada alasan yang lebih besar dari sebatas teman. Intinya, kamu berhak dapet yang lebih baik dari aku."

"Tapi gue nganggep lo yang terbaik." Dasha dan Leon sama sama terdiam setelahnya.

Hingga suara Levina membuat mereka tersentak,
"Kak Dasha, terima abang dong."




****

POV (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang