64. Pesan Ponsel

1.8K 330 86
                                    

"Gi, makan yuk!" ajak Dewi untuk yang kesekian kalinya.

"Nanti, Bun." maka itu juga jawaban yang kesekian kalinya Gia berikan. Gia masih berduka, sakitnya masih nyata. Kepergian Sandi yang tiba-tiba membuatnya lupa akan segala.

Hampir tiga bulan lamanya Sandi sudah pergi, tapi sedikit pun Gia masih belum bisa menerima, karena apa? Karena dia belum melihat jasad Sandi. Pada saat kabar duka itu disebarkan. Gia langsung menghubungi Wika, dia bertanya apa benar Sandi sudah pergi. Gia harap Wika memberikan jawaban yang berbeda, tapi sayang Wika pun mengatakan kalau Sandi benar-benar sudah pergi.

"Gia, kamu belum makan. Nanti sakit, Nak." Dewi mengelus rambut Gia yang lepek dengan sayang. Gia sangat tidak memperhatikan dirinya selama Sandi pergi, Gia makan tidak teratur. Saat malam Gia menangis karena menyesal. Sebelum dia memejamkan mata Gia selalu memandang foto-foto Sandi yang dia simpan di gelerinya. Bahkan bukannya di galerinya saja. Kamar Gia saat ini sudah penuh dengan foto Sandi. Dewi prihatin melihat keadaan anaknya.

"Aku gak akan mati, Bun. Kalo gak makan sehari aja." begitulah jawaban yang Gia berikan. Matanya fokus pada satu foto besar yang tertempel di dinding.

"Dulu, waktu dia sakit. Kalian diem aja." Dewi ikut melihat foto pria tampan dengan senyum lebar di depannya.

"Gi, Bunda diem karna Bunda gak mau kamu ikutan sedih saat tau Sandi sakit." Dewi berusaha memberi pengertian.

Gia menatap Dewi, apa kata Bundanya tadi? Tidak mau Gia bersedih?

"Lebih baik aku tau dari awal, supaya gak berakhir kecewa kayak sekarang."

Gia memejamkan matanya sejenak, meredam emosinya. Dia harus ingat yang sedang berbicara dengannya adalah Bundanya. Gia tetap harus sopan.

"Bun, biarin aku sendiri," kata Gia pada akhirnya. Lebih baik dia dibiarkan sendiri dari pada harus marah-marah sama orang lain.

Di ruang keluarga Dewi dan Arya duduk berhadapan mereka sangat menghawatirkan keadaan Gia.

"Kalau dia kayak gitu terus dia bisa sakit, Pi." Dewi menyuarakan isi hatinya.

"Jadi kita harus gimana, Bun? Papi juga udah bujuk, tapi emang Gigi aja gak mau. Tau gini lebih baik Papi kasih tau dia dari awal."

Dewi melirik suaminya. Dia teringat sesuatu. Perlahan senyumnya mengembang.

"Kamu inget ini tanggal berapa?" tanya Dewi. Dahi Arya berkerut. Dia menggeleng. Arya sedang tidak bisa mengingat apa-apa dengan baik. Pikirannya sangat penuh dengan Gia saat ini.

"Ulang tahun Gia, kan." Dewi serta Arya menoleh. Dewi menutup mulutnya tak percaya. Setelah terlepas dari keterkejutannya. Dewi langsung berhambur memeluk teman yang sudah lama tidak dia jumpa.

"Apa kabar, Wika?" Dewi mengurai pelukan mereka. Dia tersenyum ramah.

"Baik, kamu sendiri?"

Setelah selesai dengan perbincangan seputar kabar, Wika mulai mengatakan apa tujuannya datang kembali setelah lama dia menetap di Singapur.

"Aku ke sini mau kasih ini." sebuah ponsel bercase warna hitam Wika berikan pada Dewi. Dewi bingung, jelas saja dia tidak paham maksud Wika.

"Ini ponselnya Sandi, dia bilang kasih ini ke sahabatnya saat Gia ulang tahun. Hari ini, kan?" tanya Wika melihat Dewi dan Arya.

Walau masih dalam ketidakpahaman Dewi dan Arya mengangguk serempak. Wika tersenyum.

"Karna itu aku dateng, mau kasih pemberian terakhir Sandi, sama mau ucapain selamat untuk Gia."

Malas atau Manja [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang