—♪♪♪—
Sudah terhitung 2 minggu sejak kepergian Reno dan selama itu pula Dera belum mengetahui bagaimana kabar terbaru dari sang kakek. Itu membuatnya ingin cepat-cepat pulang ke desa, namun lagi-lagi ia tak bisa meninggalkan Jakarta karena tuntutan belajar, pekerjaan serta tanggungjawab sebagai anggota Ceron. Sebentar lagi, ia juga harus menghadapi tes-tes ujian.
Beberapa kali mencoba menelpon Reno, yang menyahut hanyalah suara mbak operator yang memberitahu bahwa nomor yang dituju sedang tidak aktif. Ia menghela nafas panjang lalu mendongakkan kepalanya menatap langit-langit biru, setidaknya tempat ini membuatnya tenang. Tempat yang dimaksud adalah rooftop sekolahnya. Entah sejak kapan tempat ini menjadi favoritnya saat jam istirahat berbunyi.
Mungkin sejak ia mencoba menjauh dari Fiki, tempat ini menjadi pelariannya. Tidak hanya ingin menjauh dari Fiki, ia juga tak ingin berhadapan dengan Vransiska dan geng-nya. Sebenarnya tidak ada yang unik dari rooftop sekolahnya, seperti rooftop sekolah pada umumnya. Cuma yang berbeda, di sini terdapat bangku-bangku yang telah usang tak terpakai. Terdapat pula bunga-bunga yang mengering, mungkin Pak Bon lupa menyiramnya.
Dera memilih duduk di pinggiran rooftop, kakinya menjuntai ke bawah. Memang sedikit berbahaya, tapi gadis ini menyukai ketinggian. Ia melihat ke bawah, lebih tepatnya ke lapangan. Terlihat salah satu adik kelasnya sedang berusaha merebut bola basket yang sedang di dribble oleh Fiki. Dari tempat setinggi ini ia masih bisa mengenali postur tubuh yang dimiliki Fiki, ia hapal di luar kepala.
Saking asiknya memperhatikan pertandingan basket tersebut. Dera belum menyadari keberadaan Lim yang duduk di sebelahnya. Lelaki itu juga memilih untuk bungkam, ia juga ikut larut melihat pertandingan basket di bawah sana yang semakin menegangkan.
"Eh, Lim." Dera memutar tubuhnya menghadap ke arah Lim. Sedangkan lelaki itu masih nyaman memandang serius ke bawah sana sambil meneguk minuman soda nya.
"Kok tau aku di sini?" Lim mengalihkan pandangannya ke arah Dera lalu tersenyum manis.
"Dari bawah keliatan sesuatu yang berkilau di sini, akhirnya aku samperin dan ternyata yang berkilau terang itu kamu." Dera tersipu malu mendengarnya. Lim terkekeh kemudian mengacak-acak rambut Dera membuat gadis itu mendengkus kesal.
Tiba-tiba Lim memegangi kepalanya yang terasa berdenyut-denyut. Darah segar mengalir dari lubang hidungnya. Tubuh Lim ambruk ke belakang, badannya terasa lemas sekaligus ia merasakan sakit kepala yang hebat.
Dera yang melihat itu seketika panik, ia merogoh sapu tangan di sakunya lalu menyumpal lubang hidung lelaki itu agar darahnya berhenti mengalir. Namun justru membuat darah semakin menumpuk di dalam sana, ia melepas sapu tangan tersebut keluarlah darah yang terus meleleh. Gadis itu akhirnya menggunakan sisi lain sapu tangan yang tak terkena darah untuk mengusap cairan merah kental yang terus keluar dari lubang hidung Lim.
"Udah nggak apa-apa, Dera. Ini udah biasa, gak usah panik," ujar Lim menenangkan gadis di hadapannya yang masih telaten membersihkan cairan merah di hidungnya. Dera menatap Lim khawatir, mata gadis itu berkaca-kaca hendak mengeluarkan air mata. Ia tak tega melihat Lim kesakitan seperti ini.
"Aku bawa kamu ke UKS, ya?" tawar Dera yang mendapat gelengan kepala dari Lim. "Enggak usah. Tolong bawain tas ku di kelas. Di sana ada obatnya." Dera mengangguk kemudian berlari ke kelas Lim meninggalkan lelaki yang sedang terkapar lemas di rooftop.
Dera langsung masuk ke dalam kelas Lim tanpa permisi, maklum kondisi sedang gawat darurat. Bulir-bulir bening keluar dari pelupuk matanya, serta hidung memerah karena menangis. Seisi kelas menatapnya heran, namun Dera mengacuhkan saja. Ia berjalan ke bangku Lim lalu menyambar tas lelaki itu.
Ia ingin kembali lagi ke atas sana, tetapi teriakan seseorang yang dikenalnya menghentikan langkahnya. Namun, itu hanya beberapa saat saja. Setelah itu, ia langsung berlari ke anak tangga yang menuju rooftop.
Betapa terkejutnya ia melihat seorang pria berjaket hitam hendak mendorong Lim ke bawah. Merasa aksinya kali ini gagal, pria itu memilih kabur saja meloncat dari satu gedung ke gedung lainnya. Dera hendak mengejar, namun terdengar rintihan Lim memanggil namanya. Ia mengurungkan niatnya untuk mengejar pria misterius tadi dan lebih memilih menghampiri Lim.
Dera membantu memapah Lim, menyenderkan tubuhnya ke dinding. Lalu segera mengambil obat-obatan di tas lelaki itu. Saat membuka salah satu botol obat, ternyata kosong dan itu terjadi pula di botol obat yang lainnya.
"Kenapa kosong semua, Lim?" tanya Dera dengan sesegukan. "Aku telpon Jiro aja." Gadis itu hendak merogoh ponselnya dan Lim segera mencegahnya.
"Enggak usah. Aku kuat," tutur Lim tersenyum tipis.
"Astaga, Kakak!" pekik Jiro langsung menghampiri kakaknya. "Kenapa ngelarang Dera buat nelpon gue? Seharusnya biarin aja, gue kan bisa beliin obat buat kakak." Lim hanya tersenyum simpul menanggapi.
Sedangkan Dera terus menangis karena panik, darah tak berhenti keluar dari hidung Lim. "Kenapa kamu diam saja Jiro?! Bawa Lim ke rumah sakit!" bentak Dera menatap Lim tajam.
Jiro memapah tubuh Lim dibantu oleh Dera. Gadis itu tak henti-hentinya berdoa agar Lim baik-baik saja. Dera itu keras kepala, tapi memiliki perasaan yang lembut dan mudah menangis.
Mereka terus berjalan tak memperdulikan tatapan mata semua siswa di sepanjang koridor dan mengapa disituasi segawat ini tidak ada guru sama sekali? Jiro sudah memberhentikan taxi, namun Lim menggelengkan kepalanya saat disuruh Jiro untuk masuk ke dalam.
"Bawa ke UKS aja, di sana ada obatnya. Aku tak ingin ke rumah sakit," lirih Lim.
Setelah meminta maaf serta menyuruh taxi itu pergi, mereka memapah Lim kembali menuju UKS. Di sana lelaki itu langsung direbahkan ke ranjang dan Dera segera mencari obat yang dibutuhkan lelaki itu. Setelah meminum obatnya, Lim tertidur karena efek dari obat. Melihat Lim tertidur Dera segera menghapus jejak-jejak air matanya.
"Dera," panggil Fiki yang ternyata duduk di ranjang sebelah Lim. Merasa namanya dipanggil, ia menoleh dan mendapati kepala Fiki yang diperban. Lelaki itu sendirian, tidak bersama teman-temannya lagi.
"Gue pengen ngomong berdua sama lo. Ber.du.a," ujar Fiki melirik ke arah Jiro. Akhirnya Jiro yang mengerti lirikan Fiki langsung pergi dan menutup pintu UKS.
"Ada apa?" tanya Dera ketus.
"Lo masih percaya kalau di foto itu gue?" tanya Fiki menatap lekat wajah Dera yang memerah karena terlalu lama menangis.
"Sebenarnya gak percaya, tapi bukti sudah di depan mata," jawab Dera yang kemudian duduk di samping Fiki.
"Tadi gue mau ngejar lo ke atap, tapi ada cowok pakai jaket item jegal kaki gue. Akhirnya gue jatuh dari tangga." Dera sedikit meringis mendengarnya. Namun, kemudian matanya melotot mengingat jika tadi ada pria berjaket hitam di atap hendak mendorong Lim.
"Jaketnya ada gambar tengkorak dan bunga mawar?" tanya Dera dan Fiki mengangguk.
"Berarti mereka ingin membunuh orang-orang terdekatku atau jangan-jangan perihal Fiki dan foto itu mereka yang merencanakannya," gumam gadis itu. Jika dalang di balik semua peristiwa ini adalah orang yang sama, Dera tak akan melepaskannya. Mereka hampir saja membunuh Lim dan Fiki.
"Apa maksud lo 'mereka'." Fiki menatap Dera yang tampak berpikir keras mengumpulkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi.
"Mending kamu jauhin aku aja supaya aman."
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Me & Bro [END] ✓
Teen FictionTentang Dera, gadis desa yang mati-matian mencari kakaknya di kota Jakarta. Saat sampai di sana, ia justru mengalami banyak kejadian yang tak terduga. Salah satunya menjadi anggota Ceron yang bermusuhan dengan Geng Mata Elang. Di kota Jakarta, ia bi...