PART 3 - Dia Dera

1.5K 234 35
                                    

“Sejak sampai di sini, aku banyak melakukan dosa. Tetapi, yang ku perbuat ini juga demi kebaikan banyak orang”

—Arsenik (Pemimpin Mata Elang)

—♠—

Anggota Mata Elang tampak menunduk saat pemimpin mereka berjalan menuju kursi kebesarannya dengan tatapan dingin serta tajam. Tak ada yang berani membuka suara kecuali pemimpin mereka menyuruhnya. Hanya terdengar bunyi gesekan sepatu dengan lantai. Benar-benar sunyi.

Kursi yang didudukinya adalah kursi tunggal berbahan kayu jati yang tampak berdebu karena tak pernah digunakan. Tak ada yang berani mendudukinya maupun membersihkannya tanpa seizin Arsenik. Arsenik adalah julukan untuk pemimpin Mata Elang. Arsenik sendiri adalah sebuah nama racun yang mematikan di dunia. Bagi semua orang pemimpin Mata Elang ini mematikan bak racun arsenik, ia bahkan pernah membunuh orang.

Tidak ada yang tau kehidupan pribadi lelaki berumur 25 tahun ini. Kehidupannya sangat tertutup dan misterius, Arsenik saja setiap bertemu selalu memakai pakaian serba hitam menandakan kehidupannya yang sangat gelap dan kelam itulah yang dipikirkan anggota Mata Elang selama ini. Edwin, yang notabenenya kaki tangan Arsenik saja tidak tau kehidupan lelaki ini.

Arsenik memerintah Edwin untuk membersihkan kursinya, lelaki itu hanya mengangguk. Setelah dirasa tempat duduknya bersih, Ia segera duduk dan menatap anak buahnya satu persatu. Hari ini adalah pertemuan Arsenik dengan anak buahnya setelah dua minggu lebih mereka tak bertemu.

Lelaki itu terpaksa hadir kembali karena perlu merundingkan sesuatu bersama anak buahnya, yaitu Mata Elang. Ia mendapat info dari Edwin jika Ceron merekrut member baru yang ternyata gadis. Tak biasanya Ceron merekrut member seorang gadis, jika gadis itu direkrut otomatis memiliki kelebihan dalam dirinya dan itu membuat Arsenik sangat penasaran.

"Kudengar Ceron merekrut anggota baru dan itu seorang gadis, apa itu benar?" Akhirnya Arsenik membuka suaranya. Semuanya  menatap Arsenik sejenak lalu mengangguk.

"Aku ingin tau identitasnya." Arsenik menoleh ke arah Edwin yang tampak berkutik dengan benda pipinya.

"Namanya Dera, dia bukan asli orang Jakarta. Setahuku dia merantau ke Jakarta untuk mencari saudaranya. Umurnya memasuki 18 tahun, pintar dalam bela diri. Namun, sedikit cengeng dan bawa perasaan. Dia pernah menggagalkan aksi salah satu anggota kita dan pernah menolong Jiro yang hampir tertabrak," terang Edwin.

Arsenik sedikit menegang saat mendengar nama gadis itu. Dera, ia seperti mengenalinya. Untuk memastikan apa gadis itu sama atau tidak, Arsenik meminta Edwin untuk mencari nama lengkap gadis itu.

"Maaf, Arsen. Hanya itu yang kutahu dari mata-mata kita di Ceron. Aku tidak bisa membobol data pribadinya," ungkap Edwin menatap balik Arsenik.

"Apa ada fotonya?" Pertanyaan Arsenik membuat anggota Mata Elang terkejut sekaligus merasa aneh. Selama ini pemimpinnya tak pernah memiliki keingintahuan yang besar tentang member baru Ceron.

"Tidak ada." Arsenik langsung bangkit dari tempat duduknya, netra anggota Mata Elang langsung tertuju pada Arsenik. Lelaki itu mengepalkan tangannya lalu menatap Edwin yang berdiri di sampingnya. Menurut Edwin itu bukan tatapan biasa, namun tatapan mematikan.

"Foto saja kau tidak tau. Apa gunanya sosmed?! Kau kan bisa cari akun sosmed-nya. Jika punya otak, tolong kau gunakan!" bentak Arsenik. Sontak anggota Mata Elang terkejut bukan main, suara keras Arsenik menggelegar di ruangan itu. Edwin hanya menunduk tak berani menatap lelaki itu.

Arsenik mengacak rambutnya lalu keluar dari ruangan tersebut dengan emosi yang menggebu-gebu. Betapa tidak becus kaki tangannya itu, info tidak lengkap bahkan foto saja tidak ada.

"Dia  anak desa, ponsel pintar aja gak punya," gerutu Edwin setelah Arsenik hilang dari hadapannya.

"Kenapa lo gak bilang pas Arsen ada di sini?" Jevan mendekati Edwin dengan seputung rokok yang dijepit di antara jari-jarinya.

"Palingan takut tuh," cibir Arkan.

"Lo semua gak lihat Arsen semarah itu? Lo semua gue lihat juga takut sama Arsen," papar Edwin menatap satu-persatu anggota Mata Elang.

"Arsen pemimpin kita. Wajarlah kalau kita semua takut sama Arsen," sahut Jevan yang kemudian menghisap rokoknya dalam-dalam lalu menghembuskan asapnya ke wajah Edwin. Lelaki itu terbatuk-batuk dan langsung menjitak kepala Jevan, "Sialan lo!"

♪♪♪

Hingga malam menjelang, Dera masih belum menemukan kontrakan yang cocok sekaligus murah di kantong. Hampir semua kontrakan yang ia datangi biaya sewanya jutaan. Oh iya, selama mencari kontrakan ia ditemani oleh Fiki.

Kemudian ia teringat kartu nama yang diberikan oleh ibu-ibu yang ia tolong siang tadi saat di stasiun. Dera mengeluarkan ponsel jadulnya lalu memencet nomor Bu Wiwik. Fiki yang sedang berkutat dengan ponsel pintarnya seketika tertawa terbahak-bahak melihat ponsel jadul milik Dera.

Lelaki itu tak habis pikir, ada aja orang yang masih menggunakan ponsel jadul yang ukurannya pas digenggam.

"Njir. Lo masih pakai HP jadul?" kekeh Fiki.

"Emang kenapa? Yang penting bisa buat nelpon," tutur Dera dengan entengnya. Memang bagi gadis yang terpenting bisa buat menelpon dan SMS, tidak apa-apa jadul asal masih berfungsi dengan baik.

"Lo mau nelpon siapa?" tanya Fiki mengintip kartu nama yang dipegang gadis itu.

"Bu Wiwik, dia katanya juragan kontrakan." Fiki langsung menepuk jidatnya. Bagaimana bisa ia lupa kalau ibunya sendiri memiliki kontrakan yang banyak.

"Oh astaga! Gue lupa. Mama gue kan punya kontrakan. Yuk, gue anter!" ajak Fiki langsung menggandeng tangan Dera diikuti Opin yang terbang di belakang mereka berdua.

Fiki mengetuk pintu rumahnya yang bak istanah. Lelaki ini ternyata tinggal di kawasan perumahan elit. Keluarlah wanita paruh baya dengan koyok yang menempel dikedua pipinya. Agaknya sedang sakit gigi. Wanita ini berkacak pinggang lalu menjewer telinga anaknya yang sedang cengengesan tidak jelas. Ia  masih belum menyadari kehadiran Dera yang tersenyum kikuk.

"Heh! Dari mana saja?! Jam 9 baru pulang, gak ganti baju dulu. Gak pamit Mama juga, Mama khawatir sampai gigi Mama ini sakit," omel Wiwik pada anaknya.

Dera merasa bersalah pada Fiki, karenanya lelaki itu dimarahi. "Maaf, Bu. Fiki pulang malam karena menemani saya mencari kontrakan." Akhirnya Dera membuka suaranya.

Seketika Wiwik melepaskan jewerannya di telinga anaknya lalu menatap Dera lekat. Ia masih mengingat jelas wajah gadis yang menolongnya di stasiun tadi siang dan gadis itu tengah berdiri di belakang anaknya.

"Oh, kamu yang tadi nolong saya di stasiun, ya?" Dera tersenyum lalu mengangguk.

"Tadi saya gak sengaja bertemu dengan Fiki. Saya ingin mencari kontrakan, tapi Fiki memaksa ingin ikut menemani. Maaf ya, Bu?" tutur Dera dengan sejujurnya.

"Tidak apa-apa. Hei, kau! Apa kau lupa kalau Mama mu ini menyewakan kontrakan?!"  sembur Wiwik menatap anak keduanya.

"Hehe ... aku lupa, Ma," ujar Fiki dengan tidak berdosanya.

"Kamu tinggal di sini saja. Tak usah membayar," ujar Wiwik pada Dera.

Dera merasa tak enak hati bila harus tinggal di rumah sebesar ini tanpa membayar sepeserpun. Ia menolaknya dengan halus, lebih baik tinggal di kontrakan kecil saja daripada tinggal di rumah sebesar ini.

"Kalau begitu kamu tinggal di sini dan bayarannya kamu bersihin rumah ini, bagaimana?" tawar Wiwik lagi.

"Terima aja Der, ayolah," desak Fiki.

Dera menarik nafas panjang kemudian mengembuskannya dengan kesar. Ia tersenyum, "Baiklah."

"YEAY!" sorak Fiki.

Tbc

Me & Bro [END] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang