PART 24 - Berarti Kita Musuhan?

715 128 4
                                    

Spesial POV Dera

—♪♪♪—

Aku tidak salah lihat, 'kan? Itu Kak Yoga. Dia adalah orang yang menjadi tujuanku pergi ke kota Jakarta ini. Mengapa kakak berada di trotoar? Kenapa dia ditinggalkan begitu saja? Kenapa tidak ada yang membantunya sama sekali? Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang berterbangan di pikiranku.

Aku menatap nanar Kak Yoga yang terbaring lemah di sana. Air mataku mengucur begitu saja dari pelupuk mata. Tetapi untuk melangkah menghampiri kaki ini terasa berat. Dadaku terasa sesak karena terlalu lama menahan rasa rinduku padanya.

Sekali lagi bunyi tembakan terdengar lagi menyapa indera pendengaranku. Aku melihat sekeliling, para pemuda yang ikut tawuran sudah tidak ada. Namun, kulihat pria berbandana yang kuhajar tadi masih berdiri di tempatnya menatapku tajam seolah ingin menghabisiku saja. Tetapi, mengapa pria itu tak segera pergi dari tempat ini? Apa dia ingin tertangkap polisi? Ah, biarkan. Aku tak peduli.

Saat rombongan polisi sudah mendekat, ku paksakan kaki ini melangkah mendekat padanya. Ku papah tubuh Kak Yoga meskipun ini terasa berat. Memapah tubuh seorang lelaki itu bukan pilihan yang bagus, apalagi jika kau seorang perempuan. Ku lirik pria berbandana tadi berjalan menghampiriku. Apa-apaan dia? Apa dia ingin menghajarku di situasi yang sangat terancam seperti ini?

Tetapi, apa ini? Dia membantuku memapah tubuh Kak Yoga.

"Lo ada hubungan sama Arsenik?" tanyanya melirik ke arahku. Arsenik? Siapa Arsenik? Ooo ... apa mungkin nama samaran Kak Yoga itu Arsenik? Aku hanya mengangguk saja sebagai jawaban.

Kami bertiga bersembunyi di salah ruko yang telah tutup untuk menghindari kejaran para polisi. Meskipun tidak ikut tawuran, tetap saja aku merasa takut tertangkap polisi. Ada noda darah yang mengering di pelipis Kak Yoga, begitupun dikedua lengannya. Ku usapkan tisu basah di sana sampai benar-benar bersih.

Kak Yoga ku sandarkan pada tembok ruko ini lalu dia ku peluk dengan erat, biarkanlah seperti ini. Aku benar-benar merindukannya. Jika kakek dan nenek tau kalau aku sudah menemukan Kak Yoga, pasti mereka senang. Setelah puas memeluknya, aku bersandar pada bahunya.

Bertemu Kak Yoga seperti mimpi, tapi kuharap ini bukan sebuah mimpi. Pria berbandana tadi masih berdiri di dekat celah-celah pintu melihat ke arah luar. Mungkin dia mengecek para polisi.

"Awwh ...." Aku lirik ke arah Kak Yoga yang memegangi kepalanya yang mungkin terasa pening. Dia meringis saat tak sengaja menyentuh luka di pelipisnya kemudian pandangannya mengarah padaku yang masih setia duduk di dekat dia. Mata Kak Yoga membulat saat melihatku, mungkin karena terkejut. Dia mendorongku pelan lalu mulai menjauh dan menuju ke arah pintu keluar.

Apa Kak Yoga tidak mengenaliku? Jika benar, berarti perubahanku sangat drastis. Aku ingin menangis lagi rasanya, seharusnya dia mengenaliku. Saat dia ingin membuka pintu, pria berbandana tadi segera mencegahnya.

"Lo mau ke mana? Gak kasihan apa sama tuh cewek. Dia tadi nangisin lo," tutur pria itu melirik ke arahku yang mulai berkaca-kaca.

"Emang dia siapa, Jon?" tanya Kak Yoga ikut melirik diriku. Pria yang dipanggil Jon itu hanya mengangkat bahunya.

"Gaga," panggilku lirih.

"Derder?!" Setelah mengatakan itu, Kak Yoga langsung berlari ke arahku dan memelukku erat. Setelah puas berpelukan, sesaat kami hanya saling pandang. Kak Yoga menatapku intens, agaknya dia masih ragu bila aku ini adiknya. Huh! Memang kakak laknat!

"Astaga, aku gak nyangka kamu bisa beda gini. Makin cantik," godanya menarik pelan hidungku yang memerah. Aku hanya tersenyum menanggapi.

Kak Yoga terus tersenyum menatapku, kemudian raut wajahnya berubah menjadi datar kembali. "Heh! Kamu ini masih kecil bisa ada di sini, ngapain?" tanyanya garang sambil berkacak pinggang, seperti emak-emak yang sedang memarahi anaknya.

"Dera udah gede, tauk!" jawabku sebal.

"Lagian kakak bertahun-tahun gak pulang. Apa gak rindu sama Dera? Gak rindu sama kakek nenek?" sambungku masih menatapnya serius. Wajah Kak Yoga berubah menjadi sendu lalu dia menundukkan kepalanya merasa bersalah.

"Maafin kakak. Di sini kakak udah terlanjur dapat amanah dari seseorang. Jadi, kakak gak bisa pulang." Aku mengusap air matanya lalu menepuk-nepuk punggungnya.

"Seharusnya kakak yang ngelakuin ini ke kamu. Ish! Kakak merasa kayak anak kecil yang menangis lalu ditenangkan ibunya," jawabnya terkekeh lalu mengusap hidungnya yang mulai mengeluarkan ingus. Aku hanya tertawa kecil melihat hal itu.

"Pokoknya nanti kakak ceritain semuanya ke Dera. Sekarang kita keluar dulu dari sini." Aku mengangguk menuruti ajakannya.

Kami berdua keluar dari sini diikuti oleh Jon. Pria berbandana tadi ternyata bernama Jonan, dia adalah teman dari Kak Yoga. Jonan sendiri adalah ketua dari geng Jerk Mania Jaksel. Dia bertawuran di sini karena mendapat tantangan dari geng DieJack dan Kak Yoga bersama Mata Elang berniat membantunya. Tetapi, karena Jerk Mania hanya membawa beberapa anggota, alhasil kewalahan melawan DieJack serta Mata Elang tak kunjung datang ke lokasi. Itulah yang kudengar dari penjelasan Kak Yoga di sela-sela kami berjalan menuju rumah yang ia tinggali.

Jonan sudah pulang ke asalnya karena beberapa anak buahnya menyusul.

Beberapa puluh menit berjalan, tibalah kami berdua di sebuah rumah megah. Aku tidak menyangka jika kakak tinggal di rumah sebesar ini. Bahkan lebih mewah daripada rumahnya Fiki. Kak Yoga menarik tanganku masuk ke dalam rumah ini. Yang bisa kukatakan hanya "wow".

Aku melihat sekeliling, rumah ini tampak sepi. Tidak ada pelayan sama sekali. Jangan bilang kalau selama ini Kak Yoga membersihkan rumah sebesar ini sendirian. Huh! Aku tak bisa membayangkan betapa lelahnya dia.

"Tidak ada siapapun di sini. Para pekerja hanya datang dua minggu sekali untuk membersihkan rumah ini," jawabnya seolah tau apa yang kupikirkan. Aku mengangguk saja mengikuti langkahnya duduk di sofa.

"Jadi gini. Kakak sebenarnya dapat amanah dari si pemilik rumah buat jagain dan mengelola semua yang beliau miliki. Salah satunya menjadi ketua Mata Elang. Beberapa tahun yang lalu kakak tak sengaja memb—"

"Membunuh abangnya Niel?" sela ku.

"I-iya."

"Saat itu situasinya sangat terdesak. Abangnya Niel, Rapli. Sama anggota Ceron old mengeroyok Tuan Tio yang umurnya hampir setengah abad. Beliau yang umurnya sudah tidak muda lagi hanya bisa terkapar lemah. Kakak gak terima lihat itu, setelah sepi kakak datang dan langsung mukul kepala Rapli. Tapi serius, kakak gak ada niatan pengen ngebunuh." Aku melangkah mendekati Kak Yoga mengusap bahunya lembut. Aku tau, Kak Yoga tidak berniat melakukan pembunuhan.

"Asal kamu tau. Mata Elang hanya merampas harta orang kaya yang kemudian kami salurkan ke pantai asuhan dan orang membutuhkan," ucapnya membuatku terkejut bukan main. Jadi, selama ini mereka mencuri untuk disedekahkan? Sungguh, ini di luar anganku. Tidak bisa dipercaya.

"Tapi cara kakak salah, seharusnya tidak melakukan tindak kejahatan jika ingin membantu orang."

"Kakak tau Dera. Tapi, kakak hanya meneruskan apa yang sudah menjadi kebiasaan."

"Berarti kita musuhan dong?"

"Musuhan?"

"Dera gabung Ceron. Hehe ...."

Tbc

🎈 Monmaap lama uptade. Soalnya sibuk promosi novel, hehe....
🎈 Monmaap juga. Aku gak bisa bikin part yang bisa bikin nangis bombayy wkwk.

Me & Bro [END] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang