“Ternyata kita cuma ditakdirkan untuk bertemu, bukan bersatu.”
***
Kilauan cahaya matahari menyusup melalui celah jendelanya. Mata indahnya perlahan mulai terbuka. Amara mengucek matanya yang terasa sangat berat, mungkin ini efek menangis tadi malam. Tangannya mengambil ponsel yang ada di meja samping tempat tidurnya. Ternyata sudah pukul 06.30. Dalam hati ingin sekali rasanya Amara membolos karena kepalanya kini terasa sangat berat, namun dia tidak bisa melakukan itu. Dia harus bertemu dengan Aksara sang pujaan hatinya.
Amara melompat dari kasurnya. Dia segera berlari menuju kamar mandi. Tidak perlu berlama-lama, dia langsung memakai seragam, dasi, dan sepatu miliknya. Tangannya mulai menyisir rambut sebahu miliknya, kemudian mengikatnya menjadi satu dibelakang.
Amara segera memoles bibirnya dengan sedikit liptint. Dan langkah terakhir sebelum keluar dari kamarnya adalah menyemprotkan banyak-banyak parfum ke tubuhnya. Oke sempurna. Dia segera berjalan keluar dari kamarnya sambil mengambil ranselnya.
Dengan langkah cepat, Amara menuruni tangga. Orangtuanya ternyata sudah pergi dan kini hanya ada dirinya dan Mbak Nina di rumah ini. Mbak Nina memang hanya datang ke rumah ini pada saat pagi hari saja, itupun selain hari sabtu dan minggu. Dia bekerja untuk membantu merapikan kediaman keluarga Amara.
Mata Amara sudah tidak melihat lagi pecahan vas yang kemarin menjadi korban pertengkaran orangtuanya. Mungkin sudah dibersihkan kemudian dibuang oleh Mbak Nina. Dia tidak peduli lagi.
"Pagi, Mbak," sapa Amara sambil menggeret kursinya. Tangannya mengambil sebuah roti dan mulai mengolesinya dengan selai cokelat.
"Pagi juga," sahut Mbak Nina sambil tersenyum. Dia bisa melihat mata Amara yang nampak sayu. Mbak Nina memang sudah bekerja pada keluarga ini cukup lama. Dia sudah mengetahui apa yang terjadi pada keluarga ini. Dan dia juga ikut bersedih saat melihat Amara yang sudah dia anggap seperti anaknya sendiri tampak lemah seperti saat ini.
Saat membersihkan pecahan kaca di ruang keluarga tadi, dirinya bisa menebak jika kemarin terjadi perdebatan antara majikannya. Dia hanya bisa berdoa semoga keluarga ini bisa kembali seperti sedia kala.
"Amara mau berangkat dulu ya, Mbak. Mbak Nina nanti kalau udah mau pulang jangan lupa pintunya dikunci ya biar nggak ada maling masuk. Assalamualaikum," pamit Amara sambil memaksakan senyumnya.
Amara tadi sudah memesan ojek online untuk mengantarkan dirinya ke sekolah. Amara memang selalu seperti ini. Kadang dia membonceng Malven yang tinggal tidak jauh dari rumahnya. Namun sepertinya orang itu sedang sibuk dan Amara tidak ingin merepotkan orang lain.
Ojek online pesanannya sudah menunggu di depan gerbang. Amara tersenyum kemudian segera naik. Sesekali Amara melirik jam tangannya yang kini sudah menunjukkan pukul 07.05. Bisa dipastikan jika nanti dia akan mendapatkan hukuman.
"Makasih Pak," ucap Amara sambil turun dari motor. Tidak lupa dia membayar ongkos dan melepaskan helmnya.
Amara menghela napasnya kemudian berjalan dengan sangat lesu. Dia ikut bergabung dengan rombongan anak-anak yang telat seperti dirinya.
"Jam segini baru berangkat, Ra?" sindir Bu Mia si guru bk yang kebetulan hari ini menjadi guru piket.
"Apalagi sekarang alasannya?" tanya Bu Mia dengan malas. Amara memang sudah sangat kerap kali telat seperti ini. Bahkan jika dirinya tidak telat saja, para guru akan sangat keheranan.
"Kesiangan, Bu," jawab Amara malas.
"Itu terus jawabannya kalau telat. Nggak ada alasan lain apa? Katanya mau jadi pacar Aksara, tapi kok kelakuannya berbanding terbalik sama dia," sindir Bu Mia lagi. Memang bukan rahasia lagi jika para guru bahkan tukang kebun sekolah saja tau kalau Amara menyukai seorang Aksara Aradhana.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKSARA
Teen Fiction[FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA] "Mencintai seseorang yang tidak mencintai kita itu menyakitkan." Aksara Aradhana, lelaki penuh pesona dengan wajah tampan dan senyuman menawan. Bukan seorang berandal sekolah, dia hanya murid yang dianugerahi otak encer...