AKSARA 20

9.2K 575 21
                                    

____


"Bohong rasanya jika aku mengatakan baik-baik saja saat melihat mu bersama orang lain."

____

Kedua kaki jenjangnya melangkah dengan cepat mengabaikan Aksara yang sepertinya masih berada di gerbang depan rumahnya. Dia mengesampingkan Aksara terlebih dahulu untuk saat ini. Kini, orangtuanya yang menjadi fokus utama Amara. Setelah cukup lama tidak menginjakkan kakinya ke rumah ini, entah ada angin apa, tiba-tiba mobil mereka terlihat terparkir di halaman depan.

Dengan kedua tangannya yang masih memegang belanjaan dan juga kue pemberian Aira tadi, Amara semakin mempercepat langkahnya apalagi saat pendengaran menangkap suara pecahan barang. Sudah dapat Amara tebak, pasti orangtuanya sedang menghancurkan barang-barang di rumah. Kebiasaan mereka setiap bertemu yaitu pasti ada barang tidak bersalah yang menjadi korbannya.

Amara berdiri terpaku di depan pintu saat mengetahui sang mama yang kini ditampar oleh papanya dan juga banyaknya pecahan beling yang tercecer di lantai. Amara menaruh barang belanjaan dan kue pemberian Aira tadi di kursi, dia juga melepaskan jaket milik Aksara. Setelah itu, kakinya bergerak cepat mendekati ibunya yang kini terduduk di lantai dengan air mata yang mengucur deras di pipinya. Amara langsung memeluk mamanya, walaupun seburuk apapun sifat Sania, dia tetaplah ibu yang melahirkannya.

Samuel menggeram kesal dan menendang kaki Amara, "Amara! Masuk kamar!" perintah Samuel dengan nada tingginya.

Amara menggeleng sambil terus memeluk mamanya yang masih terisak, "Kalian itu kalau cuma pulang buat ribut kayak gini, mendingan nggak usah pulang aja!"

"Amara masuk kamar!" seru Samuel sambil menarik rambut Amara kasar. Amara yang diperlakukan seperti itu hanya bisa meringis kesakitan.

"Papa kenapa sih?! Sakit tau nggak?!" ujar Amara menyerukan kesakitannya. Demi apapun, kepalnya langsung merasa pusing.

"Jangan dekat-dekat Mama kamu! Dia jalang! Dia hamil anak orang lain Amara!" teriak Samuel membuat Amara terpaku di tempatnya. Dia hanya bisa diam sambil merasakan hatinya yang terasa di tusuk-tusuk belati. Air matanya mengucur deras melewati pipi.

Amara menatap Sania dengan pandangan tidak percayanya, "Ma," panggil Amara lemah. Dia menggeleng tidak mempercayai ucapan Samuel.

"Maafin Mama, Amara," tutur Sania lemah. Dia merasa sangat bersalah kepada putri satu-satunya itu. Amara sendiri hanya bisa diam terpaku.

"Jalang! Pergi kamu dari rumah ini!" usir Samuel kepada Sania. "Tunggu surat cerai yang akan saya layangkan!" seru Samuel kemudian berjalan ke luar dari rumah yang penuh tangis ini. Rumah yang dulunya penuh dengan kebahagiaan, kini hanya berisi dengan kesedihan.

"Mama kenapa kayak gini?" tanya Amara dengan nada lemah. Air matanya dari tadi tidak bisa berhenti mengalir, apalagi saat melihat Papanya yang sudah pergi lagi dari rumah ini.

"Amara, maafin Mama sayang." Tangisan Sania meledak saat melihat putrinya itu kini terlihat sangat rapuh. Dia adalah ibu yang sangat jahat.

"Mama kenapa bisa berbuat kayak gini, Ma. Mama benar-benar udah nggak sayang sama Amara? Amara ada salah apa sama kalian? Kenapa kalian jahat banget." Hancur sudah rasanya hati Sania. Amara yang menjadi korban tindakan haram yang di lakukan oleh dia dan suaminya.

Amara mengusap air matanya kasar, "Amara capek, Ma." Dirinya langsung beranjak meninggalkan Sania yang masih terduduk di lantai sambil memegangi perutnya. Amara mengambil jaket Aksara yang tadi dia letakkan di kursi, setelah itu dia bergerak cepat menaiki anak tangga menuju kamarnya.

AKSARA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang