Panasnya cahaya matahari menyengat kulit seorang gadis yang kini sedang mengusap peluh yang mengalir di dahinya. Gadis itu menghembuskan napasnya kasar saat kakinya mulai terasa pegal. Akibat tidak mengerjakan tugas, akhirnya dia berakhir disuruh berlari seperti ini.
Amara berhenti di pinggir lapangan untuk beristirahat sejenak. Lima belas putaran yang harus dia lakukan, dan dia baru menyelesaikan sepuluh putaran. Jika tidak ada guru yang mengawasi dirinya, mungkin dia sudah memilih kabur dan membolos saja, tapi hal itu tidak bisa dia lakukan karena saat ini Bu Mia sedang memperhatikannya.
"Amara jangan berhenti ya kamu!" teriakkan cempreng Bu Mia terdengar di telinga Amara. Amara masih setia duduk. Hei, lapangan SMA Dharmawangsa ini bisa dibilang sangat luas, kakinya saja sampai terasa tidak kuat lagi.
"Saya capek, Bu. Sumpah ini lapangannya luas banget," papar Amara sambil mengusap peluhnya.
"Makannya kalau ada tugas itu di kerjakan! Jangan cuma ngehaluin Aksara terus kamu itu!" ketus Bu Mia. Amara menatap Bu Mia sambil cemberut. Semua kesalahannya selalu disangkutpautkan dengan kebucinannya kepada Aksara.
"Tugasnya itu banyak, Bu. Saya tidak kuat lagi. Pengen nikah sama Aksara aja deh rasanya kalau gini," tutur Amara bercanda. Dia lalu menatap Bu Mia yang hanya bisa geleng-geleng kepala.
Bu Mia lalu menatap Amara sinis. "Masih kecil jangan mikir nikah-nikahan dulu. Orang Aksara aja juga nggak mau sama kamu," ejeknya.
Amara diam saja tanpa berniat membalas ejekan yang dilontarkan oleh Bu Mia tadi. Rasanya seperti sia-sia saja. Lebih baik dia diam itung-itung menghemat energinya.
"Amara lanjut berlari atau hukuman ibu tambah?!" teriak Bu Mia. Amara menatap Bu Mia dengan pandangan memelas. Demi apapun, mengelilingi lapangan sebesar ini rasanya sangat melelahkan.
"Saya udah sepuluh kali putaran, Bu. Capek. Ganti hukuman aja bisa nggak, Bu?" pinta Amara.
"Tetap lari! Saya akan mengawasinya. Buruan atau nanti saya laporkan kamu ke wali kelas agar orangtua kamu dipanggil!" perintah Bu Mia.
Mendengar ucapan Bu Mia tentang orangtua, membuat Amara tersenyum samar. Orangtuanya saja tidak pernah menginjakkan kakinya ke rumah. Kalaupun Amara mendapatkan surat panggilan orangtua, mungkin orangtunya tidak ada yang berkenan untuk hadir.
Orangtuanya sudah sibuk dengan urusannya masing-masing tanpa memperdulikan dirinya yang kini merasa kesepian. Amara merasa tidak ada satu orangpun yang menyayangi dirinya. Menyedihkan sekali hidupnya ini.
"Malah melamun kamu. Buruan lanjut lari!" ucapan Bu Mia membuat Amara tersadar dari lamunannya. Dia mulai berdiri lagi dan mulai melanjutkan hukuman larinya. Tinggal lima putaran lagi dan semua ini akan selesai.
Walaupun peluh terus mengalir, Amara dengan sangat terpaksa terus melanjutkan larinya ini. Bu Mia menunjukkan wajah judes kepadanya. Benar-benar sekali guru yang satu itu. Ingin rasanya Amara marah-marah, namun dia takut nanti malah kualat.
Setelah mengucapkan banyak sumpah serapah yang ada di hatinya, kini Amara akhirnya berhasil menyelesaikan hukuman ini. Dia menatap Bu Mia dengan tatapan sombongnya.
"Dah selesai nih, Bu," ujar Amara bangga. Walupun kakinya sudah sangat pegal, dia tetap memaksakan senyuman di wajahnya.
"Bagus. Besok jangan mengerjakan tugas lagi ya, Amara. Biar saya bisa menghukum kamu lari lagi."
Amara tersenyum. "Baik, Bu. Lain kali saya akan lebih sering tidak mengerjakan tugas," ujar Amara bercanda tentunya. Besok-besok tentunya dia akan mencontek tugas dari Cici dulu. Malas sekali jika dia harus berurusan dengan guru satu ini lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKSARA
Teen Fiction[FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA] "Mencintai seseorang yang tidak mencintai kita itu menyakitkan." Aksara Aradhana, lelaki penuh pesona dengan wajah tampan dan senyuman menawan. Bukan seorang berandal sekolah, dia hanya murid yang dianugerahi otak encer...