"Sakit yang hebat untuk cerita yang singkat."
-
Melamun. Itulah yang sedang dilakukan oleh Amara. Jiwanya memang berada di kelas, namun pikirannya berkelana ke sana kemari. Memikirkan perceraian orangtuanya dan juga kisah cintanya sendiri sungguh membuat otaknya serasa mau meledak saja.
Penjelasan guru di depan banar-benar tidak ada yang masuk di telinganya. Mauk kuping kanan dan keluar kuping kiri, itulah ungkapan yang cocok untuknya. Tangannya kini menyangga pipinya. Dia melihat Diandra yang tidak tahu diri malah memakan camilan yang tadi dia beli di kantin secara diam-diam. Amara biasanya juga melakukan hal itu, namun entah mengapa dia merasa sedang malas saja saat ini.
Mulutnya kini sedang memakan permen. Gadis yang kini membiarkan rambutnya tergerai itu memang tidak bisa jika mulutnya hanya diam tanpa melakukan apa-apa. Memakan permen saat jam pelajaran adalah kegiatan yang sangat sering dia lakukan.
"Aksara sama itu nenek lampir jadian?" tanya Diandra yang kini tangannya sibuk membuka bungkusan permen di laci.
"Mana gue tau. Iya kali. Tadi pagi aja berangkat barengan," jawab Amara cuek. Dia tidak berselara membahas Aksara untuk saat ini. Jika biasanya membahas tentang Aksara adalah topik kesukaannya, tapi untuk saat ini dia benar-benar membahas laki-laki itu.
"Dih. Udah nyerah?"
"Ya mau gimana lagi. Gue sama dia kayaknya emang udah digariskan nggak jodoh. Daripada makin bikin sakit hati, mendingan gue pantau dari jauh aja. Takut dianya makin menjauh."
"Cepet amat lo nyerahnya?"
"Mencintai orang yang nggak mencintai kita itu menyakitkan, Di."
Diandra memilih diam. Sahabat gilanya itu sepertinya benar-benar sedang mode galau. Dia juga tidak bisa memaksa Amara untuk terus maju jika gadis itu lebih memilih untuk mundur.
Memang benar, menaruh harapan pada manusia sana saja dengan memberi luka pada diri sendiri.
"Gue sayang sama Aksara, tapi gue sama dia nggak mungkin bisa bersatu. Gue sadar diri, Di. Gue pengen nyerah, tapi susah. Gue terlanjur sayang banget sama dia. Cuma dia yang ada di hati gue."
Diandra kini mengelus pundak Amara, "Cari orang lain, Ra. Masih banyak orang yang lebih baik daripada Aksara."
"Yang lebih dari Aksara memang banyak di dunia ini, Di. Tapi gatau kenapa gue cuma sukanya sama itu orang aja. Susah, Di. Lihat orang yang lo suka sama cewek lain itu sakit. Kalau dibandingin sama Nabila, gue emang kalah telak sih. Ya udah lah. Sadar diri aja gue mah."
Amara kini menelungkupkan kepalanya di lipatan tangannya. Bel pertanda pergantian jam sudah berbunyi. Dia ingin menangis, tapi tidak bisa. Hidupnya terlalu banyak drama.
"Kenapa lo?" tanya Tata yang kini membalikkan kursinya dan berhadapan dengan meja Amara dan Diandra. Tangannya kini mengambil makanan Diandra yang tadi dia beli di kantin.
"Biasa galau." Diandra menjawab sambil tangannya mengupas kuaci.
"Malven tuh ada. Sama dia aja sana. Dapat dipastikan 100% menyayangi dengan sepenuh hati."
"Ga mau sama dia."
"Lo mah aneh. Yang jelas-jelas sayang aja udah ada di depan mata, eh malah perjuangin yang ga jelas. Kalau gue jadi lo sih gue udah pilih Malven aja yang udah pasti sayang. Secara doi juga gantengnya nggak kalah sama Aksara. Otak juga nggak bodoh-bodoh banget lah," ucap Tata panjang lebar dengan permen yang kini ada di mulutnya.
"Gue bilangin Langit lo bilang kayak gitu," sahut Cici.
"Ih! Itukan perumpamaan misal gue jadi Amara!"
KAMU SEDANG MEMBACA
AKSARA
Teen Fiction[FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA] "Mencintai seseorang yang tidak mencintai kita itu menyakitkan." Aksara Aradhana, lelaki penuh pesona dengan wajah tampan dan senyuman menawan. Bukan seorang berandal sekolah, dia hanya murid yang dianugerahi otak encer...