Sedari tadi, materi yang di jelaskan oleh guru benar-benar tidak bisa di dicerna baik oleh otak Aksara. Laki-laki itu duduk tidak tenang di bangkunya. Jam pelajaran tinggal 1 jam lagi. Dari tadi pagi sampai saat ini, otaknya benar-benar dipenuhi oleh Amara.
Raganya memang berada di kelas, namun tidak dengan pikirannya. Pikirannya melalang buana memikirkan kondisi Amara. Dia benar-benar khawatir dengan gadis yang kini terbaring lemah di brankar rumah sakit itu.
Tadi pagi, Aksara memang berniat untuk tidak berangkat sekolah demi menemani Amara, namun bundanya menolak keras dan mengharuskan Aksara untuk bersekolah. Aksara terpaksa harus menuruti perintah bundanya itu walaupun setengah tidak ikhlas.
Aira memang kini menjaga Amara di rumah sakit. Tadi malam, Aksara sempat mengabari ibu dan ayah kandung Amara jika putrinya sedang berada dalam kondisi kritis, tapi keduanya seakan tidak menunjukkan gejala cemas sama sekali. Aksara benar-benar tidak habis pikir.
Di saat putrinya sedang sekarat dan berniat untuk bunuh diri, bisa-bisanya orangtuanya malah seakan acuh dengannya.
Jam pelajaran tinggal 1 jam lagi. Aksara benar-benar segera ingin enyah dari tempat ini. Percuma saja jika raganya di sini namun tidak dengan pikirannya. Semua sama saja sia-sia. Semua mata pelajaran benar-benar tidak masuk di kepalanya.
Sementara di lain tempat, seorang gadis kini sedang melamun di brankar tempat tidurnya. Dengan baju khas pasien rumah sakit berwarna biru, gadis itu terlihat sangat bosan.
Amara, gadis itu sudah berhasil melewati masa kritis tadi pagi. Dia sengaja menyuruh bunda Aira untuk tidak mengabari Aksara terlebih dahulu. Dia tidak ingin jika Aksara nanti malah membolos pelajaran.
"Amara mau buah?" tanya Aira yang kini sudah kembali ke ruangan tempat Amara di rawat. Wanita paruh baya itu sepertinya baru saja pulang dari kantin rumah sakit.
Amara menggelengkan kepalanya, "Udah kenyang, Bunda. Bunda aja yang makan," ucap Amara.
Aira kini menarik kursi tepat di samping brankar tempat tidur Amara. Bunda dari Aksara itu kini mengelus pipi Amara dan merapikan anak rambut yang berada menutupi wajah cantik gadis itu.
"Gimana? Masih pusing?" tanya Aira.
Amara menggeleng pelan sambil tersenyum, "Udah sehat kok, Bunda."
"Kamu jangan lakuin hal aneh-aneh kayak tadi malam ya, Ra. Kamu beneran berhasil buat bunda panik. Bunda beneran takut kalau kamu kenapa-kenapa. Kalau kamu kesepian, kamu bisa kok curhat sama bunda. Kamu itu udah bunda anggap anak sendiri, jadi jangan sungkan buat cerita apapun itu."
Amara mengulas senyumnya, "Maafin Amara ya udah buat bunda khawatir."
"Enggak papa. Tapi, lain kali jangan lakuin lagi ya!"
Amara menganggukkan kepalanya.
"Aksara sampai panik banget tadi malam. Baru pertama kali bunda lihat anak itu paniknya sampai kayak gitu. Kamu kayaknya benar-benar berharga banget buat dia deh."
Pipi Amara memerah mendengar itu, "Oh ya? Cuma akting paling itu anak," ujar Amara sembari tersenyum.
"Tadi pagi aja kalau bunda enggak paksa udah enggak mau sekolah itu anak, Ra. Dia saking pengennya temenin kamu sampai rela mau bolos sekolah. Padahal dia itu anti banget sama yang namanya bolos."
Amara di buat salah tingkah sendiri mendengar ucapan Aira. Apakah Aksara khawatir kepadanya? Ah, dia jadi senyum-senyum sendiri membayangkan lucunya wajah Aksara saat mengkhawatirkan dirinya.
Suara pintu dibuka membuat Amara dan Aira menolehkan kepalanya. Tubuh Amara menegang kala melihat sosok yang kini tertangkap oleh pengelihatannya. Mama dan Papanya datang dengan raut wajah cemasnya. Amara tidak mempercayai pengelihatannya saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKSARA
Roman pour Adolescents[FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA] "Mencintai seseorang yang tidak mencintai kita itu menyakitkan." Aksara Aradhana, lelaki penuh pesona dengan wajah tampan dan senyuman menawan. Bukan seorang berandal sekolah, dia hanya murid yang dianugerahi otak encer...