🍃(34). Manusia dan Sisi Baiknya

38 2 2
                                    

Aku ingin menjelaskan sesuatu yang mungkin membuatmu salah paham tadi malam.”

Aku tertegun mendengar itu. Seperti sedang mengikuti acara gerak jalan santai, kalimat Arka barusan seolah tepat pada hadiah yang sudah aku incar untuk memenangkan sebuah undian. Walau pun aku tidak tahu pasti mengenai apa yang ingin Arka jelaskan.

Aku kembali melihat kearahnya. “A-aku tidak-”

“Maaf, ” kata Arka memotong ucapanku. “Aku tidak memenuhi ucapanku yang akan mengantarkanmu pulang tadi malam.”

Dugaanku ternyata tidak sebatas angan-angan. Arka benar-benar membicarakan itu.

Aku tersenyum samar. “Pilihanmu untuk mengantarkan Elsa pulang itu sudah yang paling benar.” kataku.

“Kamu dan Elsa bukan sesuatu yang harus dijadikan sebuah pilihan,”

Benar. Seharusnya aku sadar dan tahu posisiku.

“Kurasa kamu sudah tahu mengenai hubunganku dan Elsa yang sudah berakhir. So, hanya kamu yang berdiri sebagai orang yang seharusnya aku pilih.” kata Arka melanjutkan ucapannya. Membuatku kembali tertegun dan kehilangan kata-kata untuk menjawabnya.

“Aku sengaja mengantarkannya pulang agar bisa sedikit memberinya peringatan.”

“Pe-peringatan?” tanyaku.

Aku melihat Arka menganggukkan kepalanya. “Di toilet,” Arka menatapku dalam sebelum kembali melanjutkan. “Aku dengar apa yang di katakan Elsa padamu. Untuk itu, aku memintanya agar tidak mengganggumu lagi.”

Aku terbelalak. Tidak menyangka Arka akan mendengarnya. Jadi, sudah berdiri berapa lama dia disana?!

Kemudian tanpa aku prediksi, Arka mengangkat tangannya dan mendaratkannya di bawah mataku. Dengan tersenyum Arka berkata.   “Matamu selalu seperti ini setiap kali menanggapi apa yang aku ucapkan.” Arka terkekeh, lalu tangannya beralih menyentuh alisku.   “Alismu juga selalu bergelombang setiap kali merasa gugup atau jika sedang memikirkan beberapa hal.”

Aku masih terpaku. Di detik pertama tangan Arka menyentuh kulitku membuat tubuhku kaku. Aku masih menatap Arka yang tersenyum manis dihadapanku dengan bisu. Kemudian, angin menerpa membawa hawa panas di pipiku membuatku tersadar dan menggeser tubuh mundur, sedikit menjauh.

Aku menghela napas pelan, mengatur detak jantung yang kian berdebar. “A-aku..., ah busnya sudah datang.”

Beruntung, karena bus datang disaat aku tidak tahu harus mengatakan apa pada Arka. Oleh karena itu, aku langsung melesat dengan cepat menaiki bus.

Aku duduk di urutan ke tiga jika dihitung dari belakang. Aku duduk di kursi sebelah jalan karena kursi yang dekat dengan jendela sudah ada seorang wanita karir berusia paruh baya yang akan berangkat kerja. Sepuluh detik setelah aku duduk Arka datang menyusul, berjalan melewati beberapa kursi yang sudah penuh ditempati dengan sedikit bersusah payah menyingkirkan penumpang yang berdiri dengan tangan terangkat ke atas menggenggam pegangan.

Langkah Arka pun berhenti tepat di sampingku. Aku mendongak dan melihat dia sudah mengangkat tangannya ke atas seperti penumpang lain untuk menggenggam pegangan.

Aku melihat ke arah belakang, di kursi belakang yang berjajar masih banyak yang kosong dan hanya ditempati oleh tiga siswi SMP yang saat ini sedang tersenyum malu-malu menatap kearah laki-laki yang berdiri disebelahku.

“Masih ada yang kosong dibelakang.” ujarku.

Arka menoleh mengikuti arah pandanganku. “Mereka yang berdiri lebih dulu dariku, lebih berhak atas kursi kosong itu.” jawab Arka.

A Taste [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang