🍃(32). Menjaring Angin

75 3 2
                                    


Aku mau berdansa dengannya.

Aku tertegun. Masih tak percaya dengan apa yang dikatakan Arka. Lalu tanpa menunggu jawabanku, Arka membawaku memasuki bagian tengah Aula yang sudah dipadati para pasangan yang sedang berdansa. Setelah aku dan Arka menempati posisi yang pas, kemudian Arka menuntun tanganku agar melingkari lehernya begitu pula dengan kedua tangannya yang juga memegang pinggingku.

“Jangan terlalu kaku, aku akan menuntunmu.” ucap Arka.

Jantungku bahkan masih berdebar akibat sentuhannya dan sekarang aku harus memberanikan diri untuk menatapnya agar terkesan sopan saat menjawab lawan bicara.

“Maaf..., a-aku tidak bisa berdansa.” jawabku yang gagal menutupi kegugupan.

Arka tersenyum maklum. “Baiklah. Ikuti arah langkah kakiku, bergerak ke arah kanan terlebih dahulu.” setelah Arka mengatakan itu, kami secara bersamaan menggerakkan kaki melangkah ke arah kanan.

“Ya. Kamu melakukannya dengan benar.” sebisa mungkin aku menahan senyuman setelah mendengar pujian darinya. Aku tidak mau terlalu percaya diri karena ini baru langkah pertama, walau bagaimana pun aku tetap harus fokus agar tidak mempermalukannya.

“Sekarang lakukan pergerakan yang sama, tetapi ke arah langkah yang sebaliknya. Setelah itu ambil langkah mundur. Lakukan semua pergerakan dengan dua kali pengulangan lalu berputar.”

Aku diam beberapa saat untuk mencerna apa yang dikatakan Arka. Sebelum akhirnya dalam hitungan detik yang ketiga kami sama-sama melangkah melakukan gerakan dansa sesuai arahannya.

Untuk beberapa saat baik aku maupun Arka tidak saling berbicara. Membiarkan alunan musik instrumen piano dan biola menghiasi gerakan dansa kami berdua. Ini benar-benar gila! Berdansa dengan Arka sungguh diluar khayalanku. Dijemput Arka saja sudah seperti mimpi, lalu saat ini tanpa perlu aku pinta, aku sudah memeluk lehernya. Jika ada alat pengukur rasa bahagia, mungkin bahagiaku sudah hampir mencapai angka tertingginya.

“Aerilyn.” Arka memanggil. Memecah keheningan diantara kami.

Dengan segala keberanian aku pun kembali menatapnya. “I-iya?”

“Apa kamu merasa tidak nyaman?” tanya Arka.

“Ha? Tidak. Ehmm... Maksudku, a-aku tidak merasa seperti itu.”

“Benarkah?” Arka menaikkan salah satu alisnya. “Aku merasa kamu selalu bersikap gugup hanya ketika bersamaku saja.” ujarnya.

Bagaimana tidak? “Mungkin karena kita baru saling mengenal.” jawabku beralasan. Tidak mungkin aku mengatakan yang sejujurnya, kalau jantungku selalu berdebar setiap kali berdekatan dengannya meski pun dalam jarak 5 meter saja.

“Apa kamu dan Rizky sudah lama saling mengenal?”

Kenapa Arka tiba-tiba menanyakannya?

“Ehmmm... Aku tidak yakin, tapi belum sampai satu bulan.” jawabku.

“Dua minggu?”

“Mungkin,...”

Ada jeda, Arka tidak langsung menjawabku seperti sebelumnya. Dia diam beberapa detik dengan tatapan mata yang sulit aku artikan. Sampai akhirnya dia kembali bersuara dengan kalimat yang berhasil membuatku terkesiap.

“Beri aku waktu yang sama seperti saat Rizky berusaha mengenalmu, agar kamu tidak lagi gugup saat bersamaku.”

Spontan. Gerakan dansa kami terhenti begitu saja, tepat setelah Arka menyelesaikan ucapannya. Lagi dan lagi,  Arka selalu berhasil membuat adrenalin dari dalam tubuhku memacu cepat. Bedanya kali ini bukan sekedar debaran, tetapi rasanya jantungku benar-benar akan keluar. Mungkin aku bisa saja kecewa karena aku sudah salah mengartikannya, tetapi semoga itu hanya rasa kekhawatiranku saja karena saat ini aku tidak bisa berbohong jika aku benar-benar bahagia mendengarnya.

A Taste [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang