Aku merebahkan tubuh di atas kasur, setelah membersihkan diri di kamar mandi. Hari ini terasa sangat melelahkan. Lelah secara fisik dan pikiran. Bahkan jantungku hari ini terus berdetak kencang, karena bertemu Arka seharian. Membicarakan soal Arka. Aku menjadi penasaran, apa dia dan Rizky berteman? Jujur saja aku sangat ingin menanyakannya pada Rizky. Hanya saja, aku tidak berani. Dan, soal Rizky. Apa dia akan menyerah, setelah aku mengatakan untuk tidak menjemputku lagi ke sekolah?
Aku tidak mengerti tentang kedatangan Rizky. Dia datang secara tiba-tiba dengan segala kemisteriusan -nya. Mengirim bunga mawar setiap hari dan dia tahu semua tentangku. Aku tidak mendapatkan penjelasan apa-apa, selain dia mengatakan bahwa dia adalah teman Elvan. Pengakuannya itu, jelas tidak membuatku mengerti. Ya. Dia teman Elvan. Tapi Elvan pacarku waktu itu, apa benar Elvan menceritakan semua tentangku pada laki-laki lain? Itu tidak mungkin. Karena Elvan sangat menjagaku. Tidak pernah ia mengizinkan laki-laki lain mengantarkan-ku pulang, meski ia dalam keadaan sesibuk apapun dia akan tetap meluangkan waktunya untukku.
Memang benar. Elvan menceritakanku kepada teman-temannya. Tetapi, tidak sedetail Rizky mengetahuiku. Elvan juga memperkenalkan teman-temannya padaku. Tetapi, Elvan tidak pernah memberiku izin dekat dengan mereka. Teman-temannya juga menghargai dia. Elvan sering meminta salah satu temannya untuk menjagaku saat dia bertanding balap motor di sirkuit. Dan temannya itu, tidak sama sekali berani menyentuhku. Dan Rizky? Elvan tidak pernah memberitahuku soal apapun tentang dia. Lalu apa aku salah jika aku tidak bisa semudah itu mengenal dia?
Tok tok tok
"Sayang.. Apa kamu ada di dalam?" itu suara bunda. Aku beranjak dari tempat tidur. Dan berjalan ke arah pintu kamar.
Aku membuka pintu. "Iya Bunda..," jawabku.
"Kamu tidur?" tanya Bunda.
"Tidak Bunda, aku hanya tiduran saja. Bunda baru pulang dari restoran?"
"Iya sayang. Bunda pulang lebih awal. Lagi pula di sana sedang tidak banyak pelanggan." kata Bunda.
Aku melirik jam yang terletak di atas meja belajar. "Ini sudah jam setengah 7. Bunda mau makan malam sekarang? Ayo! Biar aku siapkan." aku meraih lengan bunda. Dan mengajaknya menuruni tangga.
"Bunda duduk tenang di sini ya.., " kataku. Menuntun Bunda duduk di kursi meja makan.
Aku kembali melangkah menuju dapur. Kali ini aku akan memasak Udang saus tiram kesukaan Bunda. Ini sudah menjadi rutinitasku. Menyiapkan makanan untuk makan malam, sementara Bunda hanya menyiapkan sarapan. Aku sudah bersepakat dengan Bunda untuk membagi pekerjaan rumah. Aku yang memintanya, karena aku tahu Bunda lelah membuat pizza di restorannya.
Setelah bergulat dengan alat masak, akhirnya Udang saus tiram yang ku buat sudah siap. Aku membawanya, dan menaruhnya di atas meja makan. Selain itu aku juga menyiapkan nasi dan air minum untuk Bunda.
"Sayang, kamu tidak makan?" tanya Bunda. Menyadari hanya ada satu piring di atas meja.
"Tidak Bunda... Aku sudah makan di sekolah." jawabku.
"Sayang.. Itu lain lagi waktunya. Kamu kenapa? Apa ada masalah?"
"Tidak ada masalah apa-apa kok Bun, aku hanya belum lapar saja." jawabku.
"Benar begitu?" tanya Bunda. Dengan menatapku curiga.
"Iya Bunda." aku menampilkan senyuman, agar Bunda percaya.
"Baiklah kalau begitu." kata Bunda. Kemudian memulai makan malam.
Aku duduk berhadapan dengan Bunda di kursi meja makan. Aku sengaja tidak kembali ke kemar. Karena aku ingin menemani Bunda makan malam, agar Bunda tidak merasa kesepian.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Taste [END]
Ficção AdolescenteSetiap manusia yang menginjakkan kakinya di bumi, aku yakini mereka mempunyai ceritanya tersendiri. Perihal berbagai macam cerita yang mungkin bisa saja terjadi di muka bumi, aku hanya ingin membahas tentang mencintai seorang diri. Membicarakan tent...