🍃(36). Timbal Balik

27 2 1
                                    

“Arka?”

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


“Arka?”

Tanpa berkata apa-apa Arka mengangkat tubuhku dan membawaku masuk kedalam mobilnya. Aku masih diam membisu bahkan sampai Arka duduk disampingku, mengemudi mobilnya dengan kecepatan lebih dari kata sedang.

“Tunggu sebentar.” kata Arka. Aku tersadar dan membiarkan Arka keluar dari mobil, dia berjalan memasuki supermarket.

Kita sudah keluar jauh dari hutan itu, bahkan ini adalah supermarket yang dekat dengan kawasan perumahanku. Apa aku melamun selama itu?

Tidak lebih dari tiga menit, Arka kembali dengan membawa satu kantong plastik. Kemudian tanpa bicara apa-apa Arka mengeluarkan kapas, alkohol anti septik, betadin, kain kasa dan handsaplas dari dalam plastik itu.

“Mengapa kamu suka sekali membuatku khawatir seperti ini?” Arka mengoleskan kapas yang sudah ditetesi alkohol pada lututku. Pergerakan tangannya sangat pelan. Dia terlihat sangat berhati-hati.

“Ak-aku...,”

“Apa pun alasannya, aku mohon padamu jangan lagi berdekatan dengan Rizky.” Arka membuang kapas beralkohol itu ke tempat sampah kecil yang ada di jok belakang. Kemudian mengoleskan kapas baru yang tentunya ditetesi alkohol terlebih dulu.

“Kamu berteman baik dengannya?” aku memberanikan diri untuk bertanya.  “Maaf, hmmm.... a-aku melihatmu berbincang dengannya waktu itu di supermarket dekat sekolah. Waktu Anniversary party, Rizky dan keluarganya juga hadir di sana.”

Arka mengerutkan alisnya. Dia tampak sedang mengingat-ingat kejadian itu.

“Waktu itu kamu bersama dengan Elsa.” aku berniat membantu memudahkan ingatannya, yang tanpa aku sadari dadaku merasa sesak saat mengatakannya.

Arka menghela napasnya. “Waktu kamu mengintip di balik rak jajaran lotion?” tanya Arka.
Sontak mataku membulat setelah mendengarnya. Bagaimana dia tahu soal itu?

Aaargh! Kalau sudah kepergok begitu aku kan malu jadinya!

Arka yang sedang mengoleskan betadin pada lututku pun terkekeh saat menyadari ekspresi konyol wajahku. Syok bercampur malu.

Setelah selesai menempelkan kain kasa dengan handsaplas pada lututku dengan sempurna, Arka menundukkan badan meraih sepatuku dan melepasnya, membuatku meringis sakit merasakannya. Tidak lupa melepas kaos kakiku juga yang sudah berumuran darah.

“Ssssssth..” ringisku menahan perih saat Arka mengoleskan kapas beralkohol.

Selama proses Arka mengobati luka, pikiranku terus memikirkan ucapannya, membuatku diam membisu menahan rasa malu bahkan sampai Arka selesai menutup lukaku dengan kain kasa dan handsaplas untuk yang kedua kalinya.

“Kenapa kamu jadi diam?” tanya Arka.

Tidak! Sebenarnya aku tidak benar-benar diam, karena mataku terus bergerak mengikuti setiap pergerakan Arka. Dimana setelah dia selesai mengobati semua lukaku, dia menyimpan semua alat pengobatan itu di jok belakang sebelum tatapan dan fokusnya berhenti tepat di wajahku dengan tangan kirinya yang bersandar dikursiku, mengkikis jarak terlalu banyak karena wajahku dan Arka hanya berjarak beberapa senti saja. Selain membuat pergerakanku terbatas, hal itu juga tentu membuatku sesak karena harus menahan napas.

A Taste [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang