🍃(5). Membuka Luka

170 42 18
                                    

Seseorang yang sudah meninggal, ibarat daun yang jatuh dari tangkai. Tidak akan kembali seperti semula, walaupun kita sudah bersikeras untuk menyatukannya. Ini sudah kehendak Tuhan, dan yang perlu aku lakukan sekarang adalah menentukan pilihan. Memilih salah satu daun dari tangkai lain. Atau menunggu daun yang baru saja jatuh itu, kembali tumbuh.

Tidak berani membuka hati. Itu sudah membuktikan bahwa aku lebih memilih menunggu daun yang jatuh itu tumbuh kembali. Jika saja aku lebih memilih daun dari tangkai yang lain, aku pasti sudah berganti-ganti pacar disetiap musim. Menunggu daun yang jatuh itu tumbuh, bukan berarti aku menginginkan sosok yang sama seperti daun yang sebelumnya. Aku hanya ingin memastikan hati untuk benar-benar jatuh cinta lagi. Sekarang, kehadiran Arka seperti jawaban atas penantianku selama ini.

Di pagi hari minggu ini, aku benar-benar memberanikan diri untuk datang menemui ayah, paman Osiel dan juga Elvan di pemakaman. Selama 3 tahun. Setelah Elvan selesai di makamkan, aku tidak berani lagi datang kepemakaman. Karena banyak hal yang aku ingat ketika datang kesini untuk menemui mereka lagi. Selain merindukan kasih sayang dari sosok ayah dan paman, aku juga rindu sosok Elvan yang penyabar.

Elvan adalah pacar sekaligus cinta pertamaku. Dia laki-laki yang baik, pengertian dan juga sabar. Aku suka kepribadiannya yang selalu mengutamakan-ku. Walaupun dia kadang sibuk dengan jadwal pertandingan balap motornya, tetapi dia tidak lupa memperhatikanku. Dia juga sering datang malam hanya untuk sekedar mengantarkan makanan. Dia jarang sekali marah, meski kadang aku suka membantahnya.

"Sayang... Kamu baik-baik saja?" tanya bunda. Membuat aku tersadar dari lamunan.

"Baik bunda."

Bunda tersenyum, sambil mengusap kepalaku. "Ya sudah, ini kamu taburkan bunganya," kata bunda. Dengan memberikan bunga tabur yang sudah tersimpan dalam wadah.

"Bunda tunggu kamu di mobil ya... "

"iya bunda."

Bunda mengusap punggungku sebelum berlalu pergi. Aku menganggukkan kepala sambil tersenyum ke arah bunda, untuk meyakinkan bunda bahwa aku akan baik-baik saja.

Setelah aku benar-benar sendiri. Aku menaburkan bunga di atas batu nisan yang tertulis nama Elvan. Kemudian aku menurunkan badan dan duduk menghadap batu nisan.

Aku menarik bibir membentuk senyuman kearahnya. "Hai... Kamu apa kabar?" kataku. Menyapanya.

"Maaf, karena aku baru ke sini... Jika kamu berpikir aku membencimu, karena kamu tidak bilang saat pertandingan saat itu. Atau kamu berpikir aku sudah melupakanmu. Kamu salah! Kamu jangan berpikir seperti itu. Kesalahan itu sudah aku maafkan sejak dulu. Aku tidak menemui-mu, karena aku takut jika nanti aku akan merindukanmu. Dan apa kamu tahu? Kini aku sadar, tidak datang menemuimu justru membuatku semakin rindu... " kata-ku sendirian. Aku memang ada banyak yang harus aku bicarakan. Aku tahu, akan tidak ada balasan. Tetapi setidaknya aku sudah sedikit tenang karena sudah meluapkan apa yang ingin aku bicarakan dengan Elvan. Semoga Elvan juga menerimanya dengan senang.

"Apa kamu ingat? Dulu kamu sering mengajakku naik motor balap kamu. Kamu juga sering mengebut, tapi anehnya aku tidak merasa takut,"

Aku tersenyum, seolah aku benar-benar sedang berhadapan langsung dengannya. Rasanya akan sangat menyenangkan. Jika Elvan tahu bahwa aku selalu merasa aman jika sedang berdekatan dengannya, meskipun dalam kondisi yang paling bahaya.

A Taste [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang