"Jika semesta sudah menetapkan, kita bisa apa selain menerima keadaan?"
***
Di belakang rumah majikan, Indira dan ibunya tengah berbenah. Rumah dengan ukuran yang bisa dibilang kecil, hanya memiliki satu kamar tidur, dapur kecil, serta kursi yang berhadapan langsung dengan televisi. Oh, ada satu lagi.
Sebelah ranjang, terdapat sebuah kursi dan meja yang seperti sengaja disiapkan untuk anak sekolah. Meja tersebut persis seperti meja belajar. Apa pun itu, Indira harus bersyukur. Namun, tak bisa dipungkiri dia masih berat meninggalkan indekos.
Mereka berdua membersihkan tempat itu. Lumayan berdebu dan terasa kurang oksigen. Gorden disibak, kemudiaan jendela yang letaknya tepat di samping ranjang Indira buka. Kini, dirinya tengah berada di kamar. Setelah mempersilakan udara dari dalam ruangan keluar dan udara luar masuk, Indira mengambil tas besar yang berisi pakaian. Dia menata isi tas tersebut di lemari yang telah disediakan. Ketika mengambil isi tas paling bawah, Indira menemukan foto sang ayah. Banyak rasa beradu di dada Indira. Dia meletakkan kembali foto itu ke dalam tas, lalu berjalan keluar menemui sang ibu.
Mendapati sang ibu yang sudah duduk di kursi--seperti telah menyelesaikan bersih-bersih--Indira duduk di sebelah ibunya. Sarah yang merupakan nama ibu Indira, tersenyum lembut ke arah putri satu-satunya. Melihat raut wajah Indira yang sedikit murung, Sarah tahu kalau Indira pasti berat meninggalkan rumah lama. Akan tetapi, harus bagaimana lagi? Tidak ada jalan lain selain ini. Lambat laun, Indira juga akan mengerti.
"Semua akan mudah dan tenang, kalau kita nurut sama aturan yang udah dibuat. Pak Marva udah bilang semua tadi. Kalau hidup kita pengin tenang, kita tinggal ikutin apa yang dikata beliau. Paham?" Sarah akan keluar, kembali bekerja. Namun, sebelum itu, dia meninggalkan satu nasihat kepada putrinya.
Dengan pelan Indira mengangguk. "Indira paham, sangat paham. Tanpa ditegasin sama Pak Marva, semenjak Indira datang ke rumah ini, Indira udah tau apa aja yang harus dilakuin." Dia menoleh ke arah Sarah, ibunya bergeming. "Ibu mau kerja lagi?" tanyanya.
"Iya." Jawaban dari Sarah membuat Indira bangkit dari duduknya.
"Kalau gitu, Indira mau bantu. Enggak enak diem sendiri di sini."
Sarah setuju. Akhirnya, mereka berdua berjalan ke rumah yang lebih besar dan megah. Hanya berjarak kisaran tiga puluh meter dari rumah kecil itu. Mereka masuk melalui pintu belakang, langsung ke dapur untuk menyiapkan makan malam.
Indira membantu mengupas bawang dan mencuci beberapa sayuran. Di matanya, sayur-sayur tersebut tampak segar dan lezat. Sudah lama dia tidak makan sayur segar. Hari-harinya, dia sering makan sayur yang sudah dipanaskan ulang. Bagi Indira dan ibunya, sekali masak cukup sampai dua hari. Itu pun kadang sayuran yang dipetik dari kebun tetangga.
Malam ini, mereka akan membuat makan malam berupa sup. Indira memotong wortel, kubis, kacang kapri, dan beberapa sayuran lain. Mencium bumbu yang diulek ibunya, membuat perut Indira berbunyi pelan. Sepertinya enak, tetapi ini bukan untuknya. Dia sadar, kok.
Sarah menghentikan aktivitasnya. Dia merasa ada sesuatu yang kurang. Dia membuka kulkas, meneliti bahan-bahan yang ada di sana. Tidak ditemukan, dia pun pamit untuk membeli di supermarket terdekat. Awalnya, Indira yang meminta supaya dia yang beli, tetapi Sarah menolak. Indira hanya bisa pasrah. Dia melanjutkan memotong kentang.
Dapat Indira lihat dari ekor mata, majikannya sedang mengawasi. Dia tidak begitu peduli dan melanjutkan aksinya. Toh, dia sudah memastikan tidak akan ada kesalahan. Sebab, sehari-hari dia sudah terbiasa seperti ini.
Tiba-tiba, suara yang cukup akrab di telinga Indira memaksa masuk ke telinganya. Itu Ona.
Dia menyapa Indira dan berusaha ingin membantunya. "Lo pintar masak juga, ternyata. Kalau gitu, gue juga mau, dong, potong-potong kentang. Siapa tau, gue bisa jadi koki nanti." Ona sudah bergerak mengambil pisau dan talenan. Namun, ketika hendak mengambil kentang, Indira menghentikan tangan Ona.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tabula Rasa (TAMAT)
Teen FictionManis tak selamanya manis, pahit pun sama. Terang tak selamanya benderang, gelap pun sama, tak selamanya gulita. Suatu hubungan yang terjadi dalam sebuah kehidupan, di dalamnya tidak mungkin hanya ada kata harmonis. Pasti ada suatu persoalan yang me...