Usai kejadian di koridor tersebut, Indira begitu banyak mendapat tatapan tak suka, bahkan perkataan tak enak dari berbagai siswa.
Indira sengaja hanya di kelas tak keluar meski istirahat. Bukan takut dengan siswa yang mengatainya, dia hanya tak ingin bertemu dengan Keynand.
Bisa Indira tebak, Ona begitu terkejut akan sikapnya tadi. Gadis itu juga tak bicara padanya. Ini adalah yang Indira inginkan. Dia ingin Ona benar-benar membencinya.
Meski setelah ini Keynand akan ikut membencinya. Kalau bukan karena perkataan Pak Marva, dia sudah berencana untuk berteman dengan Ona. Namun, lagi-lagi Pak Marva memperingatinya dan kali ini dengan ancaman yang tak main-main.
Indria spontan meneguk saliva. Dia merasa pasokan udara di paru-parunya kurang. Lalu, gemetar menunggu kata apa yang akan Pak Marva katakan padanya. Sebuah permintaan, pemaksaan atau penghinaan?
“Kamu lupa apa yang pernah saya sampaikan?” Pak Marva bicara menatapnya dengan tatapan yang begitu kentara tak suaka pada Indira.
“Maaf, Pak. Saya ....”
“Saya tidak butuh maaf kamu. Kamu ini sama seperti ibu kamu, ya? Tidak merasa bersyukur atas kemurahan hati saya. Sudah saya berikan tempat tinggal dengan cuma-cuma, berani lagi meminjam uang dengan istri saya dan kamu? Bermimpi ingin menjadi teman anak saya?” Pak Marva menyela pembicaraan Ona.
“Ona yang terus ....”
“Kamu bahkan berani menyebutnya tanpa 'Non'?” Lagi-lagi Pak Marva menyela perkataan Indira.
“Kamu dan ibu kamu benar-benar parasit. Kamu tahu parasit? Atau perlu saya jabarkan?”
Rasanya dada Indira begitu sesak. Hatinya sakit bukan main.
“Kamu tahu siapa di balik hilangnya beasiswa kamu?” tanya Pak Marva yang membuat Indria berpikir.
“Ya, Saya. Meski bukan secara langsung, tapi saya punya koneksi. Kamu tahu Pak Ando donatur terbesar di Jewel? Ayah Sandra. Saya dan Sandra meminta dia mencabut beasiswa kamu.”
Indira merasakan hantaman batu yang begitu kuat mengenai dadanya. Rupanya kekuasaan selalu menjadi pemenang dalam kehidupan ini.
“Saya sudah peringatkan. Ini yang terakhir. Jangan pernah dekat dengan anak saya atau bukan hanya kehilangan beasiswa ... pekerjaan ibumu yang akan menjadi taruhannya. Lalu, nasib kamu dan ibumu akan saya biarkan di jalanan. Bagaimana?” Pak Marva menatap Indira tajam.
“Saya minta maaf. Tolong jangan berhentikan ibu.” Indira menunduk dalam menahan amarah, tetapi tak bisa dilampiaskannya.
“Kalau begitu saya tunggu itikad kamu. Jauhi anak saya. Tidak peduli bagaimana caranya jangan berteman dengan Ona. Bahkan hanya mengobrol.”
Indira mengangguk.
“Kalau kamu berulah kembali saya akan bermurah hati mengabulkan untuk memecat ibu kamu.”
Setelah mengatakan itu, Pak Marva pergi meninggalkan Indira.
Setelah mengingat kembali perkataan Pak Marva membuat Indira mengusap wajahnya dengan kasar. Dia begitu benci dengan kondisi begini. Selain menurut tak ada yang bisa dilakukannya.
***
Indira mempertahankan sikap dirinya yang tak ingin bertemu dengan Keynand sampai akhir bel pulang.
Kini dia tengah bersiap ingin pergi ke kafe untuk bekerja di hari pertamanya. Dia juga sudah mengatakan kepada ibu bahwa dia akhirnya mendapat pekerjaan paruh waktu.
Sambil memakai hoodie, dia berjalan keluar dari rumah kecil itu, tetapi begitu dia hendak bersalaman dengan sang ibu tiba-tiba ibunya mengatakan bahwa Pak Marva tadi memanggilnya.
Dengan hati yang berat Indira masuk ke rumah besar itu. Di ruang keluarga sudah ada Pak Marva yang menantinya.
Indira menghampiri dengan sopan. “Ada apa, Pak?” tanyanya.
“Tolong siapkan 3 gelas minuman dan camilan dan antar ke ruang tamu.” Indria sempat berpikir sejenak, tetapi langsung bergerak ke dapur kemudian setelah mengiyakan perintah dari majikannya itu.
Sambil terus membuat minuman dia berpikir mengapa Pak Marva menginginkan dia yang membuat ini? Bukankah biasanya ibu? Namun, segera Indira hilangkan berbagai pertanyaan karena menurut gadis itu dia harus segera selesai dengan tugas ini atau dia akan terlambat di hari pertama bekerja.
Setelah semua minuman dan camilan di dalam nampan Indira mulai melangkah ke ruang tamu.
Betapa terkejutnya dia begitu melihat di sana sudah ada Sandra dan Melisa yang duduk di sofa beserta Pak Marva dan juga ... putrinya.
Langkah Indira mendadak kaku. Dia tak tahu bahwa Sandra dan Melisa lah tamu. Selama ini tak ada satu pun yang mengetahui bahwa dia tinggal di sini termasuk Keynand. Lalu sekarang?
Indira meneguk salivanya sambil terus melangkah. Dia bingung harus bagaimana, apa Pak Marva sengaja? Tidak. Apapun alasannya dia tak boleh mundur atau kembali ke dapur, mungkin ini sudah saatnya ada yang mengetahui identitasnya.
Diletakkannya satu-persatu minuman di meja juga camilan. “Silakan.” Indira berkata sopan sambil terus menunduk.
“Waw. Kita berasa dapat jackpot?” Sandra buka suara.
“Kayaknya lo enggak pernah cerita, Na.” Kini giliran Melisa yang buka suara.
Ona diam di tempatnya. Dia tak menjawab, bahkan sepatah kata pun.
“Kalau ada yang dibutuhin nanti bisa tinggal panggil, Non.” Indira sengaja berkata sembari menatap Ona.
“Bentar-bentar.” Sandra menyela ketika Indira bersiap bangkit dari duduknya.
“Coba tolong minuman gue diganti jadi teh hangat.”
Indira menatap Sandra tak suka, tetapi kemudian Pak Marva memperingatinya harus sopan.
Indira mengambil minuman sandra dan tepat saat itu Sandra mengeluarkan ponsel dan memfoto gadis itu yang tengah membungkuk mengambil gelas.
Indira ingin protes, tetapi dia tak berhak. Dia berbalik ke dapur lalu mengganti minuman Sandra.
Ona mulai bicara, tetapi tak dapat Indira dengar dengan jelas karena jarak yang cukup jauh.
Indira menarik napasnya dalam-dalam. Lalu mengantarkan kembali minuman Sandra dan berikutnya pergi bekerja ke kafe meski tetap tak tenang.
Entah apa yang akan dialaminya besok, Indira bahkan tak berani berharap hal baik akan mengisi sisa masa SMA-nya.
***
Sesuai dugaan Indira hari ini tak akan ada hal baik yang akan terjadi padanya di sekolah. Ah, tidak. Mungkin bukan hanya hari ini, tetapi seterusnya.
Kini dia tengah berada di depan mading yang penuh akan foto-fotonya yang menyediakan minuman di rumah Ona kemarin.
Semua siswa sudah lama berkumpul di sana dan kali ini Sandra dan Melisa datang dengan tertawa.
“Lo semua lihat, 'kan, foto itu?” tanya Sandra.
Semua siswa mulai berbisik antara satu dan yang lain.
Dari ujung koridor mading, Keynand dan juga teman-temannya datang. Indira rasanya benar-benar mati kutu berada di tengah-tengah semua orang yang mengepungnya.
“Kemarin gue sama Melisa ke rumah Ona dan yups, gue nemu pemandangan yang wah banget. Ternyata Indira ada di sana juga. Tahu enggak ngapain? Dia pembantu di rumahnya Ona. Oh, enggak. Dia anak pembantunya Ona. Ya tapi samalah, ya, pembantu atau anak pembantu tetap aja pembantu. Tinggalnya juga di sana.”
Indira hanya bergeming mendengar penuturan dari Sandra. Dia tak bisa membantah karena itu adalah kenyataan. Dia tak bisa menjauh dari sana karena semua siswa menutup jalan. Dia tidak tahu harus seperti apa.
“Kalian semua juga pasti ingat kemarin dia menghina Ona, 'kan? Dengan gayanya yang sok ini dia ngatain Ona. What? Ternyata cuma anak pembantunya Ona. Harusnya beruntung dong Ona mau temenan sama dia. ...” Indira menggantung ucapannya beralih menatap Indira penuh intimidasi.
“... tapi lo? Malah menghina majikan lo? Mempermalukan dia? Ngatain dia muka dua? Lo lupa lo bisa hidup karena duit dari keluarga dia?! Jadi di sini yang enggak tahu diri siapa? Lo!” lanjut Sandra dengan lantang.
Indria merasa bahunya bergetar. Bisikan siswa yang mengatainya mulai terdengar jelas di telinga.
Lalu di tengah bisikan tersebut Ona datang tiba-tiba menarik Sandra. Namun, Sandra melepaskan tarikan tangan Ona. “Lo apaan, sih? Kenapa narik gue?”
“Lo kelewatan San! Siapa yang nyuruh lo ngelakuin ini? Lo enggak punya hati?!” Ona berkata setengah teriak.
Melisa tertawa miris sebelum berbicara, “Na. Please, jangan terlalu baik? Lo lupa kemarin dia maluin lo?”
“Lo berdua enggak perlu ikut campur,” balas Ona.
“See? Dia sebaik ini sama lo, tapi lo?” Sandra menatap Indira dengan jijik sambil tertawa miris.
“Dasar orang miskin enggak tahu diri!” Sandra kembali bicara.
“Sandra!” Ona berteriak.
Indira hanya memperhatikan tanpa buka suara sedikitpun.
“Lo semua kenapa di sini? Bubar!” Ona menatap siswa-siswa di sana.
Semua siswa tak ada yang bergerak. Mereka tetap di tempat.
Ketika Ona hendak berbicara lagi, Indira lebih dulu berbicara. “Stop cari muka!"Indira berkata dengan nada santai tetapi tatapannya tajam.
“In! Pleass, lo boleh enggak mau temenan sama gue, tapi kali ini beda urusan. Lo paham dan tahu gue enggak akan tinggal diam kalau--”
“Kalau gue permalukan lo kemarin? Makanya lo ajak dua nenek lampir ini ke rumah lo?” Indira menyela.
“Enggak, In. Gue enggak tahu kalau mereka mau ke rumah.” Ona membela diri.
Indira tertawa miring. “Gue udah bilang gue enggak bego. Lo bisa nipu orang sama muka lo yang dua, tapi gue enggak. Lo pikir dengan gini lo udah paling benar balas gue?”
Ona menggeleng sambil menatap Indira tak percaya.
“Lo salah. Di sini gue makin yakin enggak mau temenan sama lo. Sikap asli lo keluar, k
'kan? Lo memang suka terlihat baik depan semua orang dengan menyudutkan orag lain?” Indira lagi-lagi bicara.
Ona menggeleng tak percaya melihat sikap Indira yang seperti ini.
“Dan lo ....” Indira menoleh ke arah Sandra dan Melisa secara bergantian.
“Lakuin yang menurut lo benar. Gue enggak peduli. Mau lo bongkar ke satu dunia pun gue enggak peduli,” lanjut Indira.
Plakk.
Sandra melayangkan tamparan di pipi Indira. “Enggak tau diri emang!” kata Sandra.
“Sandra!” Ona kembali teriak.
Indira menahan pedihnya. Pedih di pipi tak sebanding dengan pedih hatinya.
“In, kita bicara dulu. Jangan di sini nanti ada guru.” Ona bergerak menarik tangan Indira tetapi ditepis kasar oleh Indira.
“Jangan sentuh gue. Dan stop drama lo yang enggak penting ini. Gue muak sama sikap sok baik lo!” Indira benar-benar terlihat menahan marah.
Ketika Ona masih ingin berusaha mengajak Indira, Keynand hadir di antara mereka. “Cukup, Na,” ucap Keynand.
Ona menoleh kepada lelaki itu.
“Dan lo. Enggak perlu teriak orang bikin drama karena di sini lo yang jadi sutradara dramanya. Berhenti bilang muka dua kalau lo sikap yang lo tunjukkan pun sama sekali enggak tau diri.” Keynand mengatakannya sambil menatap Indria dengan tatapan dingin.
Indria merasa sekujur tubuhnya mendadak bergetar. Dia tak bisa mempercayai bahwa yang baru saja bicara adalah Keynand.
Lepas mengatakan itu Keynand menarik Ona menjauh dari sa sambil berkata, “Lo enggak perlu temenan sama orang yang enggak paham caranya berterima kasih.”
Indira hanya bergeming menatap Keynand yang sudah menjauh bersama Ona.
“Dasar enggak tahu diri!”
“Miskin, kok, sombong!”
“Drama teriak drama!”
“Anak pembantu kurang ajar!”
Indira bisa mendengar perkataan yang sejenis. Semuanya. Namun, hanya perkataan Keynand yang menohok seluruh tubuhnya hingga ke tulang.
Setelah semua siswa satu per satu meninggalkannya di sana sendiri Indira mencoba mencari tempat berpegangan untuk menyanggah tubuhnya yang mendadak lemas.
Bayangan Keynand yang menatapnya dengan begitu dingin terus berputar bersama semua perkataan pria itu di otak Indira.
Kini, dia akan kembali sendiri di sekolah ini atau mungkin di hidupnya.***
Tabula Rasa kembali!
Apa kabar kalian? Semoga sehat dan bahagia selalu.Btw, ini udah mendekati ending. Jadi, semoga kalian enggak bosan dan masih mau baca. Terima kasih, ya. ❤️
With luv,
maeskapisme & NunikFitaloka
KAMU SEDANG MEMBACA
Tabula Rasa (TAMAT)
Teen FictionManis tak selamanya manis, pahit pun sama. Terang tak selamanya benderang, gelap pun sama, tak selamanya gulita. Suatu hubungan yang terjadi dalam sebuah kehidupan, di dalamnya tidak mungkin hanya ada kata harmonis. Pasti ada suatu persoalan yang me...