"Kehilangan adalah mimpi terburuk dalam sejarah."
***
Indira duduk di depan UGD dengan perasaan cemas. Dalam hati beribu kalimat doa dipanjatkan untuk sang ibu. Perasaan bersalah kian menyelimuti gadis itu. Andai saja dia tak mengambil job hari ini dan menggantikan semua pekerjaan ibunya agar Sarah bisa beristirahat.
Indira menghela napas berat ketika terus memikirkan andai-andai, padahal waktu telah berlalu.
Pintu UGD terbuka dan menampilkan laki-laki memakai pakaian serba putih keluar dari ruangan. “Keluarga Bu Sarah?” tanya Pria itu.
Indira berdiri dan langsung menghadap Dokter. “Iya, Dok. Saya anaknya.”
Dokter itu mengangguk. “Begini, Mbak. Ibu Sarah mengalami hipertensi serta asam lambungnya naik. Faktor kelelahan juga menyebabkan kondisi tubuhnya drop,” jelas Dokter.
Indira mengangguk paham. Ibunya memang memiliki tensi darah yang selalu di atas normal. “Tapi, ibu saya baik-baik saja, 'kan, Dok?” tanya Indira.
Dokter mengangguk lagi. “Ibu Sarah sudah sadar dan kondisi tubuhnya masih begitu lemah. Ada baiknya jika Bu Sarah dirawat terlebih dahulu hingga kondisinya stabil.”
“Iya, Dok.”
“Baik, kalau begitu silakan urus administrasi nanti Ibu Sarah akan dipindahkan ke ruangan rawat.” Usai mengatakan itu Dokter pergi meninggalkan Indira.
Sementara Indira langsung mengurus administrasi. Dia hanya membawa uang dari hasil kerjanya tadi dan sedikit uang pegangannya. Dia juga tidak bisa menempatkan ibunya di ruangan VIP. Dia hanya bisa menempatkan sang ibu di ruangan rawat biasa.
Setelah menyelesaikan administrasi, Sarah langsung dipindahkan ke ruangan rawat. Indira menemui ibunya dan beruntung ruang rawat Melati 02 hanya Sarah yang menjadi pasiennya. Dua brankar di ujung dan di samping brankar Sarah masih kosong.
“Ibu jangan capek-capek lagi, ya. Indira khawatir tau,” ucap Indira menggenggam jemari ibunya yang terasa lebih kasar akibat selalu bekerja.
“Iya. Ibu minta maaf, ya, selalu ngerepotin kamu.” Sarah menatap putri semata wayangnya ini dengan tatapan bersalah.
Indira tersenyum sambil menggeleng. “Ibu enggak boleh ngomong gitu. Indira enggak pernah Ibu repotin. Yang ada Ibu yang selalu Indira repotin, ‘kan?”
Sarah hanya tersenyum menanggapi perkataan anaknya. Dia bangga putrinya tumbuh dengan baik dan pola pikir yang semakin dewasa.
“Kamu baru pulang tadi. Belum mandi, pulang dulu. Mandi, makan dulu,” ucap Sarah melihat Indira masih mengenakan baju yang dipakainya ketika baru pulang tadi.
Indira tersenyum menampilkan sederetan giginya. “Iya, belum mandi. Tapi enggak bau, kok. Indira mau nungguin, Ibu.”
“Iya, habis itu kamu ke sini lagi, In. Masa Ibu ditemenin sama orang belum mandi. Penampilannya dekil begini.” Sarah sengaja mengejek Indira agat anaknya itu mau menuruti perkataannya.
“Ibu paling bisa, ya. Biarin kek, Bu. Sekalian besok aja Indira pulang mandinya.” Indira kembali bicara.
“In, Ibu enggak mau, ya, enggak bisa tidur karena bau kamu yang belum mandi ini.”
Indira sontak menghela napas. “Iya-iya. Indira pulang dulu. Nanti Indira ke sini, lagi. Ibu kalau ada apa-apa tekan belnya aja.”
Sarah mengangguk. “In. Ibu boleh minta tolong lagi?” tanya Sarah sebelum putrinya itu bangkit dari duduk.
“Apa, Bu?”
“Nanti kamu ke sini setelah siapin makan dan beresin makan keluarga Pak Marva, ya?” Sarah berujar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tabula Rasa (TAMAT)
Teen FictionManis tak selamanya manis, pahit pun sama. Terang tak selamanya benderang, gelap pun sama, tak selamanya gulita. Suatu hubungan yang terjadi dalam sebuah kehidupan, di dalamnya tidak mungkin hanya ada kata harmonis. Pasti ada suatu persoalan yang me...