"Semesta hanya memberi sedikit kesempatan untuk merana, selebihnya silakan usaha."
***
Setelah dari apotek Indiria bergegas untuk pulang. Dia pikir, dia hanya punya satu jam untuk bekerja di rumah Pak Marva. Dia hampir lupa kalau sore ini ada job. Untung Bang Turo meneleponnya di sekolah tadi.
Cukup terkejut, ketika Indira melihat rumah kosong. Ibunya tidak ada di sana. Segera berganti baju, minum air putih, lalu Indira pergi ke rumah Pak Marva.
Dia membuka pintu belakang, kemudian menuju ke dapur. Ternyata dugaannya benar. Sang ibu berada di rumah ini. Membawa pel dan ember untuk mengepel lantai dapur.
“Bu,” panggil Indira, “kok, udah kerja? Indira udah bilang kalau Ibu istirahat aja di rumah.”
Sarah yang sedikit terkejut, langsung tersenyum. “Ibu udah enakan, kok. Kalau Ibu diem terus di rumah, malah enggak keluar keringat. Kamu enggak perlu khawatir. Lebih baik istirahat aja, pasti capek.”
Indira menggeleng keras. Sikapnya dengan Sarah sebelas dua belas. Keras kepalanya mirip. “Ibu, ih. Indira enggak suka Ibu sakit. Biar Indira yang ngepel, Ibu duduk aja.” Dia hendak mengambil alih alat itu, tetapi Sarah tetap melarang.
“In, Ibu udah cukup ngerepotin kamu. Sekarang kamu pergi, biar Ibu yang kerja.”
Mendengar itu, hati Indira sakit. Dia tidak masalah menggantikan pekerjaan Sarah. Namun, mendengar Sarah berkata kalau dia merepotkan Indira, itu yang membuat Indira sakit. Apa pantas, seorang anak merasa direpotkan oleh orang tua sendiri? Terlebih ibu.
Hampir saja air mata menetes, tetapi Indira tahan. “Ya udah, kalau itu mau Ibu. Yang penting, Ibu jangan kelelahan dan jangan sakit. Indira enggak suka itu.” Dia memeluk Sarah sebentar, kemudian melanjutkan ucapannya. “Kalau gitu, Indira pamit dulu. Ada job sore ini.”
Sarah mengangguk. “Itu kamu ada kerjaan. Hati-hati, jangan pulang larut malam.”
Setelah mendapat pesan dari sang ibu, Indira pergi. Dia harus bersiap lebih awal. Tidak enak kalau mepet-mepet waktunya.
***
Seperti sebelumnya. Indira dengan baik melakukan pekerjaannya. Beruntung setiap empunya acara begitu ramah. Dia ditawari makanan, bahkan karena anak-anak begitu antusias dengan peran Indira sebagai badut, membuat ibu dari anak yang ulang tahun memberikan tip bonus.
Hari ini Bang Turo tidak ikut mengawasi Indira. Dia memberikan kepercayaan kepada gadis itu sepenuhnya. Indira hanya pergi bersama sopir.
Begitu selesai acara, gadis itu langsung kembali ke rumah Bang Turo. Langit sudah mulai berubah warna. Rupanya hari sudah hampir pukul enam petang.
“Bang. Ini tadi ada tip bonus dari Ibu Yami.” Indira memberikan dua lembar uang berwarna merah kepada Bang Turo.
Bang Turo tentu menerimanya dengan baik. “Ini juga bonus buat kamu.” Kemudian, Bang Turo memberikan selembar uang merah yang tadi Indira berikan padanya.
Indira menolak dengan halus. Dipikirnya uang itu terlalu besar untuknya. Bang Turo bukan hanya harus membayar gajinya. “Terlalu besar, Bang, masa iya lima puluh persen.”
“Enggak apa. Santai ajalah. Oh iya gajimu hampir lupa.” Bang Turo beralih mengambil dompetnya di saku celana.
“Ini sekalian sama gajimu.” Diberikannya uang berwarna merah empat lembar kepada Indira.
“Enggak kebanyakan, Bang?” Indira kembali tak enak hati.
“Haduh. Aneh sekali kamu ini, orang dikasih uang, ya, senang. Ini malah sibuk kebanyakan. Kalau enggak mau, ya, udah biar saya kasih sama Manur saja,” kata Bang Turo sambil melirik Manur, sopir yang biasa mengantarkan Indira ke acara ulang tahun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tabula Rasa (TAMAT)
أدب المراهقينManis tak selamanya manis, pahit pun sama. Terang tak selamanya benderang, gelap pun sama, tak selamanya gulita. Suatu hubungan yang terjadi dalam sebuah kehidupan, di dalamnya tidak mungkin hanya ada kata harmonis. Pasti ada suatu persoalan yang me...