Indira berjalan menyusuri trotoar di tengah padatnya kendaraan yang lalu-lalang. Polusi kian menyeruak, tetapi tak dihiraukan.
Gadis itu merasa semua yang telah diusahakan sia-sia. Ini kegagalan terbesar dalam hidupnya, otaknya berperang dengan hati nurani. Dia tak tahu setelah ini bagaimana kelanjutan sekolahnya, dia tak tahu mengapa nasib buruk selalu berpihak, sedangkan nasib baik selalu enggan. Dia menitikkan air mata, air mata kecewa atas semua perjuangannya.
Indira ingin marah, ingin berteriak, ingin menggila pada semua orang. Pada dunia. Namun, ditahannya karena sudah pasti tidak ada guna. Perkataan Sandra bersama dengan bayangan saat mengerjakan tes tadi terus memutar dalam kepalanya. Dia menyerah. Dia lelah. Jika uang dan kekuasaan bisa membeli semuanya, untuk apa ada keadilan?
Katakanlah kalau dia bodoh mempercayai perkataan Sandra, tetapi sekarang hanya ini yang bisa dirasakannya. Indira ingat dan paham betul saat mengerjakan tes hanya beberapa soal yang menghambat dan selebihnya mampu dikerjakan dengan baik. Apa mungkin yang lolos memang menghasilkan nilai sempurna? Tak ada cacat sedikit pun? Mampu menjawab soal seluruh dan tak ada yang salah satu pun?
Indira menghapus air mata dengan kasar lalu memijat pelipisnya yang terasa pening. Bisa dibayangkan betapa kecewa sekaligus pusingnya ibu begitu tahu kabar ini. Dia bahkan belum sempat memberi tahu bahwa ada tes beasiswa untuk semester depan, karena dalam pikirannya selama ini jika memberitahu akan membuat ibunya semakin banyak pikiran. Lagi pula dirinya cukup yakin dengan kemampuannya sebelum perkataan Sandra sempat mengganggu waktu itu. Tetap saja ini salahnya. Indira akan kembali menyusahkan sang ibu. Penderitaan ibunya akan bertambah karena dirinya. Mengapa semua begitu tak adil untuknya?
Sambil terus menyesali dan menyalahkan kehidupan, Indira terus berjalan tanpa dan memang tak berniat untuk pulang dengan angkutan umum. Dia akan terus berjalan hingga menuju rumah.
***
Begitu sampai di rumah, Indira masuk ke dalam rumah kecil yang diberikan Pak Marva untuk mereka tinggali dengan perasaan tak menentu.
Pintu terbuka menampilkan Sarah yang tengah melipat pakaian mereka. Dia menoleh begitu putrinya di ambang pintu.
“Baru pulang, In?” tanyanya sambil melanjutkan melipat pakaian.
Indira masuk sambil menghela napas, lalu duduk di samping ibunya. Di jalan tadi dia sudah memikirkan apa perlu memberi tahu Ibu atau tidak. Dan keputusannya ....
“Bu, aku ingin jujur.” Indira memulai percakapan.
Sarah yang mengerti mungkin putrinya akan membahas hal yang serius pun menghentikan kegiatan melipat pakaian itu. Dia mengubah posisi duduknya menghadap Indira lalu menatapnya. “Jujur tentang apa, In?”
Indira bisa merasakan hawa kecewa dalam dirinya semakin membesar ketika menatap mata Sarah. Dia tak tega.
Menelan saliva, Indira akhirnya bicara, “Indira gagal dapat beasiswa semester depan.” Usai mengatakan itu dia menunduk dalam-dalam. Dia tak sanggup melihat tatapan kecewa itu. Dia tak sanggup.
Mata gadis itu terasa panas. Dia ragu bisa menahan tangis ini, tapi dia harus tetap menahan. Tak perlu kelihatan lemah di depan ibunya.
Perlahan Indira merasa tangan Sarah memegang lengannya dan mengelusnya berkali-kali. Diberanikannya mengangkat kepala dan melihat wajah sang Ibu.
“Maafin Indira, ya, Bu,” katanya.
Sarah tersenyum sembari menggeleng. “Enggak perlu minta maaf. Kamu enggak salah, kamu udah berusaha. Mungkin ini bukan milik kamu. Kamu yang sabar dan harus tetap semangat.” Sarah beralih memeluk putrinya itu dan tepat ketika itu air mata Indira berhasil mengaliri pipi.
Sarah melepaskan pelukan itu lalu menghapus air mata di wajah putrinya. “Udah jangan nangis. Nanti jelek, lho, anak Ibu.” Sarah terkekeh.
“Ibu enggak marah sama In?” tanya Indira menatap mata ibunya.
“Lho? Marah kenapa? Memangnya kamu habis bunuh anak orang?”
Indira mengerucutkan bibirnya.“Ibu ... Indira udah ngecewain Ibu, Indira juga udah bohong soal sekolah yang ngadain tes beasiswa lagi untuk semester depan. Indira bukan anak yang baik,” ucapnya.
Sarah mengelus pundak purtinya sambil tersenyum. “In, kamu enggak boleh berpikiran begitu. Kamu anak Ibu yang paling Ibu banggain. Mana mungkin Ibu kecewa sama kamu. Ibu bangga karena anak Ibu sudah lakukan yang terbaik.”
Indira tersenyum, lalu memeluk ibunya lagi. Saat itulah Sarah mengelus rambut Indira sembari berkata, “Ibu tau dari Non Ona kalau kamu ada tes beasiswa tempo hari makanya belajar terus.”
Indira sontak mendongak dalam dekapan Sarah. “Emang iya?” tanyanya.
Sarah mengangguk sebagai jawaban. “Soal urusan biaya sekolah kamu nanti Ibu yang urus yang penting kamu harus tetap belajar, ya?”
Tak ada jawaban dari gadis itu. Dia hanya menghela napas sembari terus berpikir. Mungkin itu akan menyulitkan untuk ibunya jika dia terus bertahan di Jewel High School.
***
Indira menyeruput air dalam gelas itu, lalu mencucinya. Saat ini dia tengah berada di dapur rumah Pak Marva, baru saja dia menyelesaikan pekerjaan cuci piringnya lalu Ona tiba-tiba menghampirinya.
“Hai, In.” Ona menyapa seolah Indira tak pernah berkata kasar atau menyinggungnya tempo hari. Apa gadis ini begitu murah hati?
Indira menoleh sambil meletakkan gelas. “Hai,” balasnya.
Ona sampai terkejut melihat respons dari Indira. Mungkin ini aneh, tak biasa, 'kan, Indira begitu ke Ona?
Namun, tak ingin terus terkejut Ona kembali berbicara. “Gue udah lihat pengumuman hasil tes beasiswa. Lo tetap semangat, ya.”
Indira diam sbentar, lalu tersenyum. “Makasih,” jawabnya kemudian.
Ona mengangguk. “Kita bisa bicara sebentar?” tanyanya.
Indira melirik Ona juga pintu mengarah ruang keluarga rumah ini sekilas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tabula Rasa (TAMAT)
Teen FictionManis tak selamanya manis, pahit pun sama. Terang tak selamanya benderang, gelap pun sama, tak selamanya gulita. Suatu hubungan yang terjadi dalam sebuah kehidupan, di dalamnya tidak mungkin hanya ada kata harmonis. Pasti ada suatu persoalan yang me...