Ona berjalan menuju dapur berharap kalau Indira ada di sana. Sesuai dengan yang Keynand katakan tadi sebelum cuci darah bahwa Indira kini pasti sibuk mencari pekerjaan tambahan. Ona sudah berusaha lebih tadi dengan membuka laman sosial media yang berinfokan lowongan kerja paruh waktu.
Langkahnya terhenti ketika mendapati Indira yang tengah termenung di bangku dapur sambil memegangi gelas.
“In,” panggilnya sambil ikut duduk di bangku yang tersedia di hadapan gadis itu.
Indira masih diam membuat Ona akhirnya menyentuh bahu gadis itu sekilas. “Indira.”
Sontak Indria menoleh kepada Ona dengan raut wajah yang penuh tanda tanya.
“Lo ngelamunin apa, sih?” Ona bertanya.
Indira menggeleng lalu menghela napas. “Bukan apa-apa. Kenapa lo ke sini?”
Senyuman di wajah Ona terukir, dia mengeluarkan ponsel lalu memperlihatkan sesuatu kepada gadis di hadapannya itu.
“Gue bawa kabar gembira buat, lo.” Diberikannya ponsel tersebut dan disambut dengan Indira.
Lama mengamati akhirnya Indira mengembalikan ponsel milik Ona tersebut. Sebuah banner lowongan pekerjaan paruh waktu, tetapi Indira tak sama sekali paham maksud Ona memberikan itu padanya.
“Lo coba dulu datang, In. Siapa tau rezeki, ya, 'kan?”
“Lo tau gue mau cari kerjaan dari siapa? Atau dari mana?” tanya Indira merasa aneh dengan sikap Ona yang tiba-tiba memberinya informasi lowongan pekerjaan.
“Eum. Ya, gue cuma nebak aja, sih.”
Indira memicingkan matanya merasa tak percaya dengan penjelasan gadis itu. Namun, karena ditatap begitu Ona langsung saja berdiri dari duduknya. “Ya udah, kalau nanti lo butuh gue kirim aja lewat WA, ya. Gue ngantuk banget tiba-tiba. Duluan, ya.” Lalu gadis itu pergi begitu saja.
Indira masih heran di tempatnya. Memang dia butuh pekerjaan, tetapi tadi setelah masuk ke dalam kafe itu dia sudah menemukan pekerjaan untuknya. Dia hanya perlu memikirkan ulang apakah nanti dia bisa mengatur jadwal sekolah dan juga bekerjanya dengan baik.
Terlepas dari itu semua, diam-diam Indira tersenyum melihat sikap Ona. Gadis itu selalu beritikad baik padanya.
***
Hari ini hari libur maka Indira sudah memikirkan jadwalnya satu hari penuh. Dia akan membantu ibu mengerjakan semua pekerjaan rumah lalu sore nanti akan ke kafe kemarin untuk memberikan kepastian mengenai keputusannya.
“In, Ibu minta tolong, ya. Kamu ke warung dulu tadi pas ke pasar Ibu lupa beli gula.” Sarah menemui putrinya yang baru saja habis mandi.
Indira dengan cepat mengangguk, lalu bergegas ke warung sesuai perintah sang Ibu.
Baru sampai di gerbang Indira dikejutkan dengan kehadiran Ona yang tiba-tiba datang. Gadis itu sudah dibalut dengan pakaian yang begitu rapi beserta wajah yang sudah dipoles sedemikian rupa.
“Lo mau ke mana pagi-pagi?” tanya Indira.
“Mau ke rumah sakit.”
“Ke rumah sakit? Ngapain?” tanya Indira lagi.
“Jengung Keynand. Lo mau sekalian?” Kini justru Ona yang balik bertanya.
Indira diam. Dia bahkan tidak tahu bahwa Keynand sedang dirawat. Ada gejolak kecewa dalam dirinya, tetapi seharusnya dia tidak begitu, 'kan?
Ona sontak melambaikan tangan di depan wajah Indira melihat gadis itu tak merespons tawarannya. Indira menampilkan wajah persis seseorang yang baru saja sadar dari lamunan lalu berkata, “Enggak. Gue mau ke warung ada pesanan ibu.”
“Ya udah kalau gitu, gue duluan, ya. Nanti gue infoin deh keadaannya Keynand.” Ona menampilkan senyum manisnya dan hanya dibalas dengan senyum singkat nan kaku oleh Indira.
***
Sora hari Indira kembali ke kafe yang ia datangi kemarin. Dia sudah memutuskan untuk menjadi pelayan di sana. Hanya itu lowongan yang tersedia dan gajinya lumayan untuk membantu ibu membayar uang semester depan.
Manager kafe tersebut tak kalah ramah dengan Bang Turo. Indira senang setidaknya dia bekerja pada orang yang sepemahaman dan ramah. Ini akan mempermudah pekerjaannya yang mungkin sewaktu-waktu bisa saja terasa begitu berat.
Indira berdiri setelah menghantarkan lamaran dan di wawancara sedikit oleh manager. “Terima kasih, Pak,” ucap gadis itu seraya berjabatan tangan.
“Sama-sama. Besok senin sudah mulai masuk, ya, In?” Pak Banu bertanya untuk terakhir kalinya, lalu Indira pulang setelah memberikan anggukan sebagai persetujuan.
Tidak disangkanya dia akan semudah ini mendapatman pekerjaan tambahan. Beruntung bekerja di kafe ini tidak di hari minggu. Jadi, dia masih bisa bekerja menjadi badut bila ada panggilan dari Bang Turo.
Perlahan Indira melangkah dengan riang menuju rumah. Rasa sakit serta kecewanya beberapa hari perihal beasiswa seolah terbalaskan sudah. Di tengah langkah riang gadis itu dikejutkan oleh kehadiran Ona. Dia tak tahu mengapa Ona bisa di daerah yang sama dengannya.
“Lo dari mana? Kok, bisa di daerah sini?” tanya Indira langsung pada intinya.
“Gue enggak sengaja lihat lo pas di depan gang sana tadi.” Ona berbalik badan menunjuk sebuah gang tak jauh dari tempatnya berdiri.
“Lho? Kenapa lo dari gang sana?” Lagi-lagi Indira bertanya.
“Habis dari rumah Keynand. Rumah Keynand tu di daerah sini, In. Enggak jalan jauh, kok, dari gang itu.” Ona memberikan penjelasan.
“Keynand udah keluar?” Sebenarnya Indira tak ingin bertanya lagi, tetapi ada rasa penasaran dalam diri yang memaksa mulutnya kembali bicara.
Ona menggeleng. “Belum. Gue ke sana di suruh Tante Anit tadi mampir pas dari rumah sakit karena kemarin udah janji mau cobain masakannya.”
Indira terdiam. Dia selalu saja diam bila mendengar penuturan Ona yang mengisyaratkan bahwa gadis itu sudah sedekat itu dengan Keynand pun keluarganya.
Kemarin? Tunggu. Kini pikiran Ona sudah ada berbagai kemunginan. Mungkinkah Ona tidak masuk atau bolos waktu itu karena ke rumah Keynand?
Ona bergerak mengeluarkan ponselnya. Dia membuka galeri lalu menunjukkan sebuah foto. Itu foto Ona dan Keynand. Tampak Keynand yang sengaja menampilkan wajah jeleknya lengkap dengan seragam rumah sakit di atas brankar dan cairan infus menggantung yang dihubungkan selang ke tangannya. Sedangkan gaya Ona begitu manis karena gadis itu tersenyum.
“Keadaan Keynand kayaknya udah lumayan baik, kok. Mungkin sebentar lagi juga sekolah. Dia bosan banget tadi makanya gue iseng ngajakin foto.” Tanpa Indira bertanya, Ona sudah lebih dulu menjelaskan.
Ona menoleh melihat Indira yang masih diam tak mengeluarkan suara. “Lo denger gue, 'kan?”
Indira mengangguk sambil tersenyum. “Lo keliatan deket banget sama Keynand.”
Ona seketika terdiam. Namun, segera Indira bicara lagi. “Gue mau pulang. Lo mau bareng?”
Ona tentu saja mengangguk dengan cepat. Kesempatan begini sungguh langka maka tidak boleh disia-siakan, 'kan?
Lalu dengan bersama mereka pulang menaiki angkutan umum.
Hingga matahari mulai bersembunyi di balik bumi bergantian dengan bulan. Malam kembali menghampiri dan Indira tetap pada rutinitasnya yang membereskan piring keluarga Pak Marva usai mereka makan malam.
Gelas di tangannya hampir saja jatuh begitu dia menyadari sepatu seseorang sudah berada di sampingnya.
Perlahan dia menoleh dan menemukan Pak Marva tengah berdiri dengan tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana. Dia menatap Indira dengan tatapan yang begitu sulit Indira tebak. Namun, jika sudah didatangi begini pasti ada hal yang mendesak yang ingin pria paruh baya itu sampaikan. Indria spontan meneguk saliva. Dia merasa pasokan udara di paru-parunya kurang. Lalu gemetar menunggu kata apa yang akan Pak Marva katakan padanya. Sebuah permintaan, pemaksaan atau penghinaan?
***
Pagi-pagi sekali Indira sudah tiba di JHS. Seperti biasa jika pertama kali sampai tempat yang akan dikunjunginya adalah perpustakaan.
Betapa terkejutnya gadis itu begitu melihat Keynand sudah menyender di dinding depan perpustakaan sambil menyilangkan tangan di dada. Masih seperti yang lalu-lalu, Keynand selalu menampilkan senyum terbaiknya.
“Jantung gue hampir mau copot,” protes Indira.
“Copot karena dag dig dug jatuh cinta sama gue?” Indira membulatkan matanya mendengar perkataan Keynand.
“Ish. Apaan, sih, Key?"
Keynand mengubah posisinya menjadi berdiri. Lalu menatap Indira sambil terkekeh. “Canda, In.”
“Lo kenapa udah masuk? Bukannya kemarin masih di rumah sakit?” tanya Indira.
“Semalam gue minta keluar. Lo tau gue kemarin di rumah sakit dari mana? Jangan bilang lo stalker gue, ya?” Dengan nada percaya diri Keynand berkata demikian.
Indira menghela napas."Kurang-kurangin, deh, Key pedenya.”
“Kalau lo bukan stalker dari mana lo tahu? Hm?” Keynand menatap gadis itu dengan tatapan introgasi.
“Dari Ona. Dia yang bilang tanpa gue tanya," balas Indira.
“Oh. Kok, tapi lo bisa ketemu Ona? Lo udah ngubah pikiran buat jadi temen dia, ya? Bagus, In. Harusnya dari kemarin lo ....”
“Gue enggak berniat sama sekali untuk mengubah pikiran gue.” Indira menyela ucapan Keynand.
“Eum. Iya, itu hak lo, sih. Seenggaknya lo kasih dia kesempatan. Ona baik, kok, anaknya. Gue juga yakin dia beda dari anak Jewel kebanyakan. Lo hanya perlu kenal dia lebih dekat. Mungkin.”
Indira diam.
“Enggak baik juga kalau ....”
“Gue emang enggak sedekat lo sama dia. Dan kayaknya gue udah bilang berkali-kali kalau gue punya alasan tersendiri?” Ona kembali menyela.
Kini giliran Keynand yang diam.
Tak lama sosok yang mereka bicarakan datang tiba-tiba menghampiri. “Haiii. Kalian pagi-pagi udah so sweet aja.”
Indira menolah kepada Ona. “Eh? Lo udah sehat Key?” Ona kembali bicara.
Keynand menjawab dan Indira langsung mengubah mimik wajahnya. Mengapa dia terlihat begitu asing di antara mereka?
“Gue duluan.” Indira membalik badan lalu meninggalkan Ona dan Keynand yang masih berbicara. Namun, dari belakang dia bisa mendengar bahwa kedua orang itu mengikutinya hingga di koridor IPA Indira menghentikan langkah sontak Ona yang tadi memanggil nama Indira pun ikut berhenti. Keynand masih cukup jauh dari mereka.
Siswa Jewel High School satu persatu mulai berdatangan. Indira menoleh ke sekitar bahwa ada beberapa dari mereka yang memperhatikan dia juga Ona ya g berhenti di koridor.
“Lo kenapa, sih, enggak pernah bosan ngikutin gue?” Indira bertanya dengan nada suara yang kesal.
Ona cukup lama berpikir karena kemarin sore Indira dan dia baik-baik saja. Mereka masih pulang bersama. Kemudian Ona menjawab, “Masih sama. Karena gue mau temenan sama lo.”
Indira tertawa miring. “Lo mau jadi cewek munafik?” tanya Indira yang begitu membuat Ona terkejut.
“Sok-sokan mau temenan sama orang yang enggak selevel sama lo? Biar apa? Biar semua orang nganggap lo malaikat?” Indria berkata dengan begitu lantang.
“In ....” Ona ingin bicara mengapa Indira mendadak begini, tetapi Indira sudah lebih dulu menyela.
“Lo enggak perlu pencitraan. Lo sama kayak temen-temen lo bahkan semua siswa yang ada di sini. Menomor satukan harta, kekuasaan. Sombong, angkuh, manja yang tukang ngabisin duit orag tua. Tapi bego, ya, bangga karena kaya, padahal sama sekali bukan hasil lo? Apa bedanya sama parasit?”
Kali ini semua siswa dengan sengaja berkumpul di dekat mereka. Semua penasaran mengapa mereka ribut demikian. Pun dengan Keynand.
“In, lo salah ....”
“Jangankan berteman sama lo. Dengar suara lo pun gue jijik rasanya. Gue enggak perlu temen yang cuma pencitraan. Gue enggak bego percaya sama muka dua lo!”
“In, cukup! Lo kenapa, sih? Enggak gini harusnya.” Keynand mendekat.
Indira hanya menatap sekilas. Lalu kembali menatap Ona. “Jangan pernah sok-sok baik depan muka gue. Gue muak!”
Lalu Indira meninggalkan kerumunan begitu saja. Sayup-sayup dia mendengar ada beberapa siswa yang terang-terangan mengatainya tak tahu diri padahal tak punya apapun apalagi kekuasaan. Tak Indira hiraukan dia tetap melangkah pergi.***
Double up! Mendekati ending, apa udah siap?
Sampai jumpa!
With luv,
maeskapisme & NunikFitaloka

KAMU SEDANG MEMBACA
Tabula Rasa (TAMAT)
Teen FictionManis tak selamanya manis, pahit pun sama. Terang tak selamanya benderang, gelap pun sama, tak selamanya gulita. Suatu hubungan yang terjadi dalam sebuah kehidupan, di dalamnya tidak mungkin hanya ada kata harmonis. Pasti ada suatu persoalan yang me...