Episode 8

56 13 0
                                    

"Jika setiap manusia diberikan selembar kertas kosong oleh Tuhan dan bebas ingin menuliskan takdirnya, maka tidak akan kulakukan. Aku hanya berharap Tuhan menuliskan takdir terindah untukku. Hidupku dan duniaku."
-Indira

***

Sarah pulang dengan pikiran yang berkecamuk di kepalanya. Mengingat kejadian bertemu dengan orang-orang itu beserta tindakan yang Bu Naya lakukan tadi, membuat Sarah khawatir akan mempersulit keadaan dia dan juga putrinya berada di dalam rumah ini.

Sarah memahami betul sikap orang-orang yang tinggal di sini. Jika Bu Naya dan Ona dikatakan baik, tidak dengan Pak Marva. Bukan, bukan berarti Pak Marva jahat. Akan tetapi, Sarah paham betul bahwa pria setengah paruh baya itu bukan tipikal orang yang loyal. Bisa menumpang di rumah ini saja sudah suatu keberuntungan yang bisa dia dan Indira rasakan.

Lalu sekarang, istrinya mengeluarkan uang sebanyak itu untuk pembantu rumah tangga mereka. Meski ini atas dasar peminjaman, pasti Pak Marva jika mengetahui hal ini tidak akan mengizinkan. Semua sudah terjadi seperti ini, Pak Marva memang tidak akan mungkin tidak mengizinkan, tetapi bisa saja perkataannya akan terkesan begitu menyakitkan.

Sarah tak apa jika perkataan itu nanti hanya dirinya yang akan menerima, tetapi mengingat bagaimana cara dia memperingati Indira di hari pertama mereka kemari membuat Sarah ragu. Indira pasti akan menerima perkataan tak mengenakkan itu nanti, atau bahkan bisa lebih menyakitkan dari yang dia terima.

Wanita itu terduduk di kursi dapur, memijit pelipisnya sambil memejam. Ini semua salahnya karena sudah membawa Indira dalam lingkaran keluarga Pak Marva. Dirinya begitu meyakini bahwa putri semata wayangnya itu sangat tidak betah dan tidak nyaman berada di rumah ini.

Maafin Ibu, In, batinnya.

***
Indira berjalan menyusuri jalanan di Taman Mini Indonesia Indah. Diliriknya sekitar, tidak begitu ramai, tetapi masih lebih dari lima orang berada di sini. Di bawah terik sinar matahari, Indira menyaksikan berbagai macam kegiatan orang. Ada yang tengah berpiknik bersama anaknya, ada anak yang tengah memilah mainan yang ingin dibeli, ada juga pengunjung yang tengah berfoto bersama badut kelinci.

Tanpa sadar lengkungan terukir di wajah gadis itu. Dia ingat dulu ketika kecil ayahnya beberapa kali mengajaknya kemari. Entah hanya untuk melihat-lihat, membeli mainan atau berjalan-jalan saja jika hari libur. Rindu itu kembali meyerang segenap raga juga rasanya.

Sebenarnya Indira tidak punya tujuan khusus ke sini. Dia hanya tidak ingin pulang lebih cepat ke rumah besar itu. Dia tak mau Ona lagi dan lagi mencari celah untuk bisa mengobol denganya. Mengingat kejadian Risa ulang tahun tadi, Ona yang masih begitu kentara membelanya di depan Sandra dan Melisa. Itu membuat Indira menyimpulkan, bahwa gadis itu belum juga membenci dirinya atas apa yang sudah Indira katakan. Besar kemungkinan, Ona akan kembali mecari cara untuk berinteraksi banyak hingga bisa menjadi temannya.

Sembari berpikir, Indira melihat badut kelinci berwarna ungu itu tengah bertepuk-tepuk tangan menghadap anak kecil itu. Sudah pasti anak kecil itu riang. Jelas terpacar dari wajahnya. Tiba-tiba Indira terpikirkan untuk menjadi badut. Itung-itung hasilnya bisa membantu sang ibu untuk melunasi utang almarhum ayahnya.

Begitu melihat anak itu tadi sudah pergi dari hadapan badut, Indira segera menghampiri badut itu. Namun, sebelumnya dia membeli sebotol mineral.

“Maaf, saya bisa bicara sebentar?” tanyanya begitu di hadapan sang badut.

Badut itu mengangguk-angguk lalu berjalan menuju tempat yang sedikit lebih teduh.
Betapa terkejutnya Indira ketika badut itu mebuka kostum kepala kelinci yang dia gunakan. Ternyata isi dari dalam kelinci besar itu adalah seorang ibu-ibu. Indira mendadak teringat ibunya. Betapa sulitnya para wanita hebat itu mencari nafkah.

Tabula Rasa (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang