"Apa yang ada di kepalamu, orang-orang tidak tahu. Jadi, kamulah satu-satunya yang bisa mewujudkan apa yang beredar di kepalamu."
***
Setelah mendapat pekerjaan untuk dirinya, Indira pergi rumah tempat dia mendaftar pekerjaan. Dia sangat senang karena hari Minggu nanti dia sudah bisa mulai bekerja. Itu artinya, Indira bisa lebih cepat menabung untuk membantu sang ibu.
Sembari menunggu waktu lebih sore sedikit, Indira memilih untuk berjalan-jalan. Sudah lama dia tidak menikmati suasana kota. Jalan raya yang macet, orang-orang di halte bus, juga beberapa pedagang di samping gang. Meski pemandangan selalu seperti itu, tetapi Indira tidak akan pernah bosan.
Ketika melewati toko aksesori, Indira sempat tertegun dengan beragam warna, bentuk, dan karakter boneka yang terpajang di depan. Indira yakin kalau bahan-bahan boneka tersebut kualitasnya tidak rendah. Dilihat saja sudah bisa dipastikan kalau bahannya bagus. Seperti ketika disentuh akan memberikan kesan lembut. Tak hanya itu, beberapa aksesori mewah juga dapat ditangkap oleh mata Indira.
Dia tahu dia tidak akan pernah bisa memiliki beragam aksesori mahal tersebut. Namun, tidak tahu dorongan dari mana Indira berjalan memasuki toko. Setidaknya dia bisa menuntaskan rasa penasarannya terhadap apa saja yang ada di dalam sana. Jujur, terakhir kali Indira pergi ke toko seperti ini bersama ayahnya dulu. Dulu sekali sewaktu kota belum sebesar ini dan toko-toko belum semewah ini. Mungkin ketika Indira masih kelas satu SMP.
Indira sampai di dalam. Rasa yang berbeda antara di dalam dan luar. Saat dia masuk, ada rasa dingin yang langsung menyambutnya. Ruangan ini seakan tidak mengizinkan siapa pun yang ada di dalam kepanasan. Berbanding terbalik dengan Indira yang wajahnya sudah kusut sebab debu. Namun, apa peduli? Indira langsung menyusuri isi toko tersebut.
Seperti melihat keajaiban, Indira sempat kagum saat tahu ternyata tidak hanya aksesori yang dijual di sana. Ada alat tulis yang sangat lucu juga alas kaki. Ah, situasi seperti ini membuatnya berandai-andai memiliki uang banyak, kemudian bisa membeli semua ini untuk dia sendiri dan ibunya. Bagaimanapun, Indira juga perempuan yang memiliki ketertarikan tersendiri dengan benda-benda lucu.
Dia terus menyusuri ruangan itu. Sesekali dia menyentuh kalung sampel, topi, bandana, atau alat tulis semacam pulpen dengan motif yang lucu.
"Boro-boro mau beli, In. Kamu harus kerja dulu supaya bisa membebaskan ibu dari utang biadab itu. Huf." Dia memperingati dirinya sendiri.
Indira kembali berjalan. Kedua mata yang berlarian di sekeliling ruangan, kini berhenti di sebuah kertas yang digantung. Di kertas itu tertulis: Diskon 50%. Suatu nikmat, karena Indira bisa mempertimbangkan untuk membeli salah satu aksesori dengan uang tabungannya. Sebelum mendekati barang-barang yang memiliki diskon, Indira mengecek jumlah uang terlebih dahulu.
"Syukurlah, seenggaknya cukup atau malah sisa kalau cuma beli barang satu." Setelah mengatakan itu, barulah dia bergerak ke arah tadi.
Dia melihat-lihat benda apa saja yang sedang mendapat potongan harga. Alat make up, Indira tidak bisa menggunakan itu. Bandana, Indira rasa dia juga tidak terlalu butuh. Jepit rambut, dia juga sudah punya beberapa di rumah. Indira masih melihat-lihat, kemudian dia menemukan barang apa yang bisa dia beli secara murah.
Ada jam tangan yang cukup cantik juga sedang mendapat potongan harga. Indira mengambilnya, kemudian melihat berapa harga asli. Dia tersenyum senang ketika mengetahui kalau dia bisa membeli benda tersebut. Jika dia membeli itu, uang tabungannya masih sisa setengah. Tidak begitu merugikan karena jam juga bermanfaat.
Akhirnya, dia memutuskan untuk membayar. Belum sampai di tempat kasir, Indira berhenti karena dia melihat sebuah benda yang mengingatkannya akan suatu hal. Boneka Kaikai kiki berukuran besar mengingatkan dia akan sang ayah. Dulu, ayahnya pernah membelikan boneka persis seperti itu. Indira bahkan masih menyimpannya. Dia mengambil boneka itu dari tempatnya, nahas lengan kanan menyenggol barang, dan membuat barang itu terjatuh.
Indira berdecak ringan. Ketika hendak mengambil, barang yang jatuh tadi sudah duluan diangkat oleh tangan mungil. Indira menatap orang itu, seorang anak perempuan yang tengah tersenyum kepadanya dengan tangan menyerahkan barang tadi.
Dengan membalas senyum singkat, Indira berucap, "Terima kasih." Dia meletakkan barang tadi ke tempatnya, tetapi seseorang membuat dirinya refleks berhenti.
Sekarang, Indira menatap bergantian dua orang di depannya. "Keynand?" Indira mulai berpikiran yang tidak-tidak melihat Keynand menyengir. Sembari memutar bola mata jengah, dia bertanya, "Apa enggak ada kerjaan lain selain nguntit gue?"
Mendengar pertanyaan seperti itu, anak perempuan yang tadi membantu Indira mendongak, menatap Keynand. "Sejak kapan mama mengajari Kakak untuk nguntit?" tanyanya.
"Heh? Kakak enggak pernah nguntit, deh. Kamu tau sendiri, 'kan, kalau Kakak nganterin kamu ke sini buat beli boneka?" balas Keynand.
Indira paham, ternyata anak itu adik dari Keynand. Pantas saja jika diperhatikan lagi, wajah mereka cukup mirip. Dari hidung, mata, dan alis. Sadar telah memperhatikan lelaki itu, Indira memalingkan pandangan ke arah lain.
"Jadi, yang di sekolah tadi namanya bukan nguntit, ya?" Indira berpura-pura bertanya untuk menutupi sindiran. Bahkan, Indira masih ingat dengan jelas pengakuan Keynand di sekolah.
Keynand gelagapan sendiri, bingung ingin menjawab apa. Akhirnya, dia mengalihkan topik dengan berkata, "Eh, bonekanya lucu banget. Lo mau beli itu, In? Gue lihat tadi lo mau ambil itu."
"Enggak, gue cuma lihat-lihat." Indira menjawab apa adanya.
"Kenapa enggak dibeli? Sayang, padahal lucu. Kalau mau, ambil aja. Gue yang bayarin. Hitung-hitung tanda pertemanan kita." Kalimat Keynand diakhiri dengan cengiran lagi. Ketika seperti ini, Indira bisa dengan jelas melihat kalau mata Keynand bisa hilang ketika sedang menyengir atau tersenyum.
Persetan, Indira hampir lupa kalau dia tidak bisa dekat-dekat dengan anak di sekolahnya. Untuk mengakhiri pertemuan yang menyebalkan ini, Indira akan segera pergi. "Gue enggak pengin beli boneka itu. Kemudian, gue enggak ngerasa kita temenan ... jadi, enggak perlu repot-repot bayarin buat gue. Mending beliin buat adik lo. Satu lagi, jangan bicara sama gue lagi. Thanks."
Setelah mengatakan itu, Indira bergegas ke kasir dan membayar. Kemudian, gadis itu keluar dari toko meninggalkan Keynand yang masih terdiam di tempatnya.
"Kak Keynand ... suka, ya, sama kakak tadi?"
***
Setelah beberapa menit berada di dalam angkot, Indira akhirnya sampai di rumah. Ralat, tepatnya di rumah milik keluarga Ona. Indira baru sadar kalau langit mulai gelap. Ternyata dia selama itu jalan-jalan hari ini. Tak apa, untuk sesekali itu perlu.
Indira berjalan santai di halaman. Namun, suara klakson mobil dari belakang cukup mengejutkannya. Buru-buru dia menyingkir, kemudian spontan berbalik untuk memastikan mobil siapa yang membuatnya terkejut.
Ketika melihat warna mobil itu, Indira sudah bisa mengenali siapa yang akan keluar dari dalamnya. Juga, Indira berpikir kalau hatinya akan tergores lagi sore ini. Kenapa kebetulan seperti ini ada? Indira berniat menghindari Ona tadi, sekarang malah bertemu dengan ayahnya.
"Hei, Anak Pembantu! Dari mana saja kamu? Orang sepertimu tidak pantas bersenang-senang sampai sore hari seperti ini. Dapat uang dari mana untuk bisa pulang sesore ini?" Begitulah pertanyaan dari Pak Marva.
Tak berniat menjawab, Indira hanya menunduk. Ada banyak kalimat yang dia simpan di dalam hati sebagai jawaban dari pertanyaan Pak Marva. Namun, jika dia menjawab akan semakin mengundang masalah. Jadi, lebih baik dia diam.
Dapat didengar suara sepatu Pak Marva mendekat ke arahnya. Mungkin sekarang mereka hanya berjarak lima langkah. Dari jarak itu, Pak Marva berkata, "Harusnya kamu tambah sadar diri. Lagi-lagi, kalian memiliki utang kepada keluarga ini. Dua belas juta bukan jumlah yang sedikit, Indira."
Deg!
Dua belas juta?
Tak peduli apakah Pak Marva masih ada di sana atau tidak. Yang ada di pikiran Indira saat ini adalah ... apakah ibunya meminjam uang kepada Pak Marva untuk melunasi utang?
***
Halo! Ketemu lagi dengan Indira. Yuk, tinggalin jejak!
Sampai jumpa hari Jumat!
With luv,
maeskapisme & NunikFitaloka
KAMU SEDANG MEMBACA
Tabula Rasa (TAMAT)
Teen FictionManis tak selamanya manis, pahit pun sama. Terang tak selamanya benderang, gelap pun sama, tak selamanya gulita. Suatu hubungan yang terjadi dalam sebuah kehidupan, di dalamnya tidak mungkin hanya ada kata harmonis. Pasti ada suatu persoalan yang me...