"Sama-sama tidak saling tahu; apa yang sedang dirasa dan tulus atau tidaknya sebuah rasa."
***
Lima belas menit yang lalu, Indira sudah menapakkan kaki di sekolah. Seperti biasa, dia tadi pergi ke kelas sendiri, membaca buku, membuka sosial media sebentar, sampai kelas semakin terisi. Ketika semua murid sudah ada di dalam kelas, suasana berubah ramai. Namun, yang Indira rasakan hanya kesunyian.
Tidak ada yang menarik, meski ramai, tetapi tidak memiliki teman mengobrol?
Untuk memecah sunyi pada Indira, Ona menghampirinya. Dia duduk, membuat India melihat ke samping. Melihat Ona, Indira teringat perkataan Pak Marva dua hari yang lalu. Indira belum sempat menanyakan hal itu kepada sang ibu, tetapi dia yakin ... kalau dirinya dan ibu sedang berada dalam masalah. Indira tidak bertanya, sebab dia tahu sang ibu berusaha menyembunyikan itu darinya.
Di samping itu, semalam Ona selesai berdebat dengan ayahnya. Pak Marva selalu mengatakan kalau Ona harus menjaga jarak dengan orang yang tak sepadan. Namun, Ona sendiri menentang perintah tersebut. Bukan menggurui ayah, tetapi Ona berusaha menjelaskan kalau semua orang layak dijadikan teman, asalkan dia baik. Debat itu diakhiri dengan Ona yang langsung masuk ke dalam kamar.
"Gue udah ke sini, taunya dianggurin," gerutu Ona, "lo enggak ada niat ngajak gue ngomong, In?" Dia bertanya kepada Indira, yang sama sekali tidak membuka suara tadi.
Senyum tipis nan masam digambar Indira. Ona tidak sempat melihat itu. "Gue enggak nyuruh lo ke sini. Jadi, gue rasa gue enggak perlu ngajak lo bicara," balas Indira. Dia kembali menatap buku di depannya.
Mendengar itu, Ona cemberut. "Gue tau lo kesepian, In. Makanya, gue ke sini tanpa harus lo suruh. Gue mau jadi temen lo." Begitu penjelasan dari Ona.Indira tidak peduli. Peringatan-peringatan dari ayah Ona membuat tutup mata kalau Ona benar-benar tulus ingin berteman dengannya. Hidup akan semakin sulit kalau dia sampai berteman dengan Ona. Oleh karena itu, segala perkataan Ona membuat Indira muak. Sungguh, dia ingin gadis di depannya menjauh darinya.
Indira berdiri, membuat bunyi pada kursi yang bergesek dengan lantai. Suara itu sedikit keras, orang di kelas itu mengalihkan pandangan ke arah Indira.
"Seberapa lo tau tentang gue? Lo siapa berlagak sok tau tentang perasaan gue? Berhenti sok peduli, karena gue udah muak dengan hal itu." Setelah selesai berucap, Indira pergi keluar kelas.
Dia yakin seratus persen kalau di dalam banyak yang membicarakan tentang sikapnya. Tidak peduli disebut; tidak tahu diri, sombong, kejam, Indira tidak peduli. Dia hanya butuh Ona menjauh darinya. Setelah itu, dia akan tenang.
Sementara Ona juga manusia. Siapa yang tidak sakit hati mendapat perkataan seperti itu? Meskipun niat Ona tulus, tetapi Indira tidak tahu, tepatnya terpaksa untuk tidak mengetahui. Ona tersenyum, dia masih belum menyerah. Dia ikut berdiri, hendak mengejar Ona. Di belakang, Sandra dan Melisa sudah melarang, tetapi Ona hiraukan.
"Gue harus kebal sama omongan Indira yang ngeri itu," ucapnya kepada diri sendiri.
Ketika sampai depan pintu, seseorang menarik lengan Ona. Laki-laki yang Ona tahu, ralat, hampir satu sekolah tahu. Sekarang, Ona berhadapan langsung dengannya. Sedikit salah tingkah, ketika sadar Ona melepas lengan dari cekalan lelaki tesebut."Ada perlu apa, Key?" tanya Ona. Meskipun dia bersama Keynand, tetapi ada Indira yang perlu dikejar. Toh, Keynand idola ratusan murid. Ona tahu dirilah kalau ingin bersanding dengan lelaki tersebut.
Keynand menggaruk kepala bagian belakang. Bingung, apakah harus memberitahukan kepada Ona atau tidak. Namun, dia tidak ada jalan lain. Demi Indira, dia akan mencari sekutu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tabula Rasa (TAMAT)
Fiksi RemajaManis tak selamanya manis, pahit pun sama. Terang tak selamanya benderang, gelap pun sama, tak selamanya gulita. Suatu hubungan yang terjadi dalam sebuah kehidupan, di dalamnya tidak mungkin hanya ada kata harmonis. Pasti ada suatu persoalan yang me...