Episode 16

43 12 2
                                    

"Kisah-kisah lama berlapis luka dan tawa. Semua itu disimpan dan ditata rapi di dalam sana. Dengan seenaknya, ada yang merenggut paksa tawa dan membuat tumbuh kembali si luka."

***

Tepat ketika azan subuh berkumandang Indira terbangun. Dia menatap ke samping, heran dengan sang ibu yang masih tertidur di ranjang. Indira berniat membangunkan, tetapi ketika dilihat-lihat wajah Sarah tampak pucat. Dengan segera, disentuh dahi Sarah, kemudian Indira bergeming sesaat.

"Ibu demam, enggak usah bangunin dulu kali, ya?" Dia bingung. "Kasihan ibu, pasti capek banget. Mending enggak usah bangunin dulu, biar ibu istirahat. Untuk siapin sarapan di rumah Ona, aku masih sempet."

Indira bergegas mengambil air wudu, kemudian melaksanakan salat Subuh. Ketika sudah selesai, perlahan-lahan dia membuka pintu, supaya ibu tidak mendengar. Dia berjalan ke rumah Pak Marva untuk segera memasak sarapan.

Kunci belakang rumah Pak Marva dipegang oleh Sarah. Sengaja mereka memberikan itu, supaya Sarah mudah ketika ingin meminta bantuan atau bekerja lebih awal sebelum mereka bangun. Beruntung Indira tahu di mana ibunya sering menyimpan kunci itu.

Sampai di dapur, Indira membuka lemari es. Dia melihat hanya ada telur dan beberapa sayuran. Sebenarnya dia tidak terlalu pandai memasak. Namun, kalau hanya membuat telur balado dia sanggup.

Tak ingin membuang waktu, pertama Indira merebus air untuk memasak nasi. Kemudian, dia mencuci beras. Sembari menunggu air mendidih, Indira menyiapkan bumbu untuk telur balado. Setelah selesai meracik, Indira memanfaatkan tungku yang kosong untuk merebus telur.

Pukul 05.05 nasi sudah siap. Indira hanya kurang menyiapkan lauknya. Hanya tinggal mengangkat dari wajan ke piring, setelah itu selesai. Yap, tepat pukul 05.10 pekerjaan ibu yang digantikan Indira selesai. Dia tersenyum bangga.

Indira mencuci peralatan yang habis digunakan untuk memasak. Setelah itu, dia menyapu rumah besar ini. Belum semua tempat, hanya beberapa yang sekiranya penting. Sebab, waktu sudah mulai siang dan Indira juga harus sekolah. Setelah menyapu ruang tamu, Indira kembali ke belakang. Dia harus mandi.

"Enggak makan dulu, In? Lo yang siapin ini semua, 'kan? Bi Sarah di mana?" Baru hendak pergi, Indira ditahan dengan rentetan pertanyaan dari Ona.

Dia berhenti, kemudian menoleh. "Ah iya, ibu kayaknya demam. Sementara ini, gue kerjain kerjaan ibu dulu secukupnya waktu. Nanti habis sekolah gue lanjut. Titip pesan ke mama lo, ya, kalau ibu sakit. Soal makanan, beres. Gue udah siapin. Gue pergi."

Bersiap dengan tergesa, sarapan dengan lauk semalam, kemudian meninggalkan secarik kertas di meja. Sarah belum bangun juga, Indira tidak tega untuk membangunkan.

Dia berangkat sekolah setelah menulis di kertas yang ditinggal. Sebelum itu, dia menyalami tangan sang ibu yang hangat dengan hati-hati. Hari ini, ada tiga hal penting yang Indira harus lakukan: Membelikan obat ibu, bekerja di rumah Ona, dan bekerja menjadi badut.

"Semangat, Indira!" serunya sambil berjalan menuju tempat pemberhentian angkutan umum.

***

"Tugas hari ini, udah gue titipin ke lo kemarin. Awas kalau enggak lo kumpulin. Terus tolong catatin tugas yang ada hari ini, kirim ke nomor gue. Makasih banyak, Noval Sayang!"

"Berisik, gue tau. Sekali lagi lo bilang sayang, gue enggak mau nolongin lo lagi."

Sembari menyisir rambut, Keynand terkekeh. Dia memperhatikan pantulan diri di cermin, kemudian tersenyum. "Gitu doang, padahal."

Decakan terdengar dari seberang. Suka sekali Keynand mengganggu Noval yang notabenenya pendiam. Meskipun terlihat pendiam, tetapi Noval sangat pengertian. Terbukti, dia mau direpotkan Keynand tentang tugas-tugas ketika Keynand berangkat cuci darah. Bagaimana Keynand tidak bersyukur dikelilingi orang baik seperti mereka?

Tabula Rasa (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang