Episode 21

38 10 0
                                    

Seperti biasanya, rumah Keynand menjadi tempat berkumpul untuk teman-temannya. Hampir setiap hari mereka di sana. Terlebih jika ada tugas banyak. Biasanya mereka malah menginap di rumah itu.

Sekarang mereka tengah bermain voli bersama pemuda di perumahan Keynand. Kebetulan sekali rumah Keynand berada di samping lapangan milik perumahan tersebut. Sudah hampir satu jam mereka di sini, tetapi belum juga mengambil istirahat.

Keynand menyingkir untuk mengelap keringat. Dia minum air putih yang tadi dibawa, kemudian bergabung lagi ke dalam lapangan. Napasnya terengah-engah, tetapi dia belum mau istirahat juga.

Mario menyadari itu. Dia mendekat ke arah Keynand, sambil berbisik, “Lo istirahat aja, Key. Kemarin baru beres cuci darah juga.”

Tubuh Keynand kembali tegap. Dia menepuk pundak Mario dua kali. “Justru gue harus olahraga biar pola hidupnya sehat. Gimana, sih, lo?”

Mendengar ada sedikit keributan, Riko menghampiri Keynand dan Mario. “Bener apa kata lo, Key. Tapi enggak gini juga. Kita enggak mau lo kenapa-kenapa karena kecapaian. Sono pulang!” perintahnya.

Decakan kecil keluar dari bibir Keynand. “Padahal gue masih pengin main, tapi—”

“Ayo, balik! Gue mau ambil tas di rumah lo terus cabut. Mama barusan telepon, suruh gue pulang cepet,” kata Noval sambil menarik tangan Keynand.

Keynand tidak bisa membantah. Mario dan Riko tersenyum, kemudian melanjutkan permainan yang belum selesai. Masih ada pemain cadangan, yaitu Anand dan satu pemuda dari kompleks Keynand. Permainan berlanjut setelah Keynand dan Noval pergi.

Sesampainya di rumah Keynand, Noval langsung mengambil tas dan berpamitan kepada pemilik rumah. Keynand menahan lelaki itu supaya istirahat sebentar, tetapi Noval bersikeras untuk segera pulang.

Menyalakan sepeda motor, kemudian melaju dengan kecepatan cukup tinggi. Sore ini jalanan cukup sepi. Jadi, tidak perlulah dia terhalang oleh yang namanya macet.

Di jalan, Noval memperlambat kecepatan motor. Bukan karena ada kemacetan, tetapi dia melihat seseorang yang sepertinya dikenali. Noval menyipitkan mata, dia melajukan motor lebih dekat dengan perempuan tersebut.

Tak ingin larut dalam ketidakpastian, Noval berniat mengikuti perempuan tersebut. Sebelum itu, dia berhenti untuk mengirim pesan kepada sang mama untuk mengulur waktu kepulangannya.

Noval membelokkan motor di sebuah gang. Gang tersebut sempit, tak mungkin dia membawa motor. Dititipkan motor di sebuah toko, kemudian dia berjalan setengah lari untuk mengikuti orang tadi.

Belum pernah Noval ke daerah ini. Dia penasaran dan semakin penasaran ketika perempuan itu berhenti di sebuah TPU. Noval memperhatikan dari jauh, perempuan tadi sempat menoleh. Ternyata benar dugaan Noval. Dia adalah gadis yang pernah diantar pulang oleh Noval.

Tak ingin penasaran lebih jauh, tetapi juga ada sesuatu yang mendorong Noval untuk mendekat ke sana. Dengan hati-hati, dia berjalan dan masuk ke pemakaman tersebut. Noval berdiri dari balik pohon, memperhatikan Indira yang tengah menaburkan bunga di atas gundukan tanah.

“Yah, Indira harus berbuat apa, ya, supaya bisa bantu ibu? Kerjaan Indira enggak sepadan sama utang-utang itu. Indira pengin cepet bantu ibu buat lunasin utang di Pak Marva. Tapi, apa yang harus Indira lakuin?” tanyanya kepada tanah tak bernyawa. “Indira harus kejar beasiswa juga. Enggak mungkin kalau terus-terusan kerja, karena waktu Indira buat belajar juga cukup lama.”

Sayup-sayup Noval mendengar pembicaraan tersebut. Dia berniat memberitahukan kepada Keynand kalau orang yang disukai berada di sini, tetapi tangannya urung mengambil ponsel. Bisa jadi ini privasi Indira yang belum Keynand ketahui. Dia hanya perlu cukup tahu. Akhirnya, Noval hanya kembali melihat Indira.

Terlihat Indira mengangkat tangan, seperti mengusap air mata. “Indira minta doa, ya, Yah. Semoga kali ini Indira dapat beasiswa itu. Seandainya Indira enggak dapat, Indira enggak pernah bisa sekolah lagi.”

Perasaan yang biasanya tidak acuh, sekarang berubah menjadi kepedulian. Mendengar keluh kesah Indira kepada sang ayah yang sudah tiada, membuat Noval tidak tega. Ingin sekali memberitahu Keynand kalau Indira seperti butuh teman. Namun, Noval tidak bisa melakukan itu. Selain alasan tadi, Keynand juga masih perlu istirahat. Dia tidak mau terjadi apa-apa kepada sahabatnya.

Noval berpikir, apa yang harus dia lakukan. Dia meraba saku jaket, menemukan sapu tangan belum terpakai di sana. Lalu, apa yang selanjutnya akan dia lakukan? Menghampiri Indira? Oh, tidak. Noval belum pernah melakukan ini sebelumnya.

Akan tetapi, Indira seperti perlu ditemani (?).

Menggeser sedikit gengsi, Noval berjalan mendekat. Dia menarik napas, kemudian mengembuskannya sebelum memberikan sapu tangan itu kepada Indira.

“Usap air mata lo,” ucap Noval.

Dapat dilihat Indira tampak terkejut. Dia buru-buru berdiri dan mengusap sisa air mata dengan punggung tangan. “Lo? Kok, bisa di sini? Lo denger semua yang gue ucapin tadi? Lo ngikutin gue? Kok, lo enggak sopan, sih.” Belum jadi apa-apa, Indira sudah emosi duluan.

Indira … Indira benar-benar waswas karena ada yang mendengar keluhannya selain Keynand. Di dalam hati dia panik, apakah setelah ini identitas aslinya akan diketahui oleh penghuni JHS? Tidak bisa dibayangkan.

“Tunggu, gue bingung. Lo tanyanya kebanyakan.” Noval mengambil tangan Indira, lalu meletakkan sapu tangan merah di tangan itu. “Usap dulu, baru gue jelasin. Gue enggak berniat jahat, serius.”

Menurut saja. Indira tidak suka banyak basa-basi. Apalagi di dalam situasi seperti ini.

“Udah, jadi? Beneran lo ngikutin gue? Kenapa? Gue salah sama lo sampai lo ikutin gue karena mau balas dendam? Atau lo minta uang bensin pas nganter gue saat itu?” Indira menatap Noval tajam. “Kalau karena yang terakhir, gue lagi enggak punya uang. Lain kali gue ganti.”

Dorongan dari mana dan karena apa Noval tidak tahu. Yang jelas dia bisa tersenyum saat ini. Namun, tatapan tajam Indira membuatnya memadamkan senyum. “Gue bisa jelasin. Tapi, enggak di sini juga.”

“Ya, terus di mana? Alasan aja lo.”
Noval berdecak. Indira sangat keras kepala. “Enggak percayaan banget jadi orang. Ayo, ikut gue!” Dia menarik tangan Indira.

Sementara Indira bertambah kesal. Dia berujar, “Tadi lo ngikutin gue, sekarang lo mau culik gue ke mana? Jangan tambahin beban hidup gue, dong!”

“Makanya nurut aja! Gue bukan penjahat juga sampai mau culik lo.” Noval tetap menyeret tangan Indira.
Tak bisa berbuat apa-apa, Indira hanya bisa diam. Akan tetapi, kekhawatiran di hati tetap saja ada. Dia takut kalau Noval … menjadi penyebab murid JHS tahu siapa dia yang sebenarnya.

Mereka sampai di warung bakso yang tak jauh jaraknya dari pemakaman. “Kalau sambil makan, ceritanya lebih enak,” kata Noval.

Ini hanya membuang waktu saja. Indira punya banyak pekerjaan. “Gue enggak bisa, gue punya banyak pekerjaan di rumah.” Dia menjeda kalimat, kemudian melanjutkan, “Gue minta tolong sesuatu boleh?”

Noval mengangkat sebelah alis.

“Tolong jangan kasih tau ke siapa pun tentang apa yang lo denger di makam tadi. Terserah lo ngikutin gue atau mau nagih uang bensin, yang penting … gue minta tolong jangan kasih tau siapa pun, bisa?”

***

Hari baru tiba. Tidak ada yang berubah banyak bagi Indira. Kesehariannya, ya, begini-begini saja. Tidak ada yang menyenangkan di sekolah, kecuali mendapat nilai bagus dan … ada Keynand. Membayangkan saja Indira sudah tersenyum.

“Sadar, In.” Dia menegur dirinya sendiri.

Indira berjalan menuju kelas dan meletakkan tas di meja. Rencananya dia akan pergi ke perpustakaan untuk mengembalikan buku. Sudah satu minggu buku tersebut dia bawa. Kini, ada buku lain yang harus dia pinjam.
Sedikit lagi dia sampai di perpustakaan. Akan tetapi, pemandangan yang jarang dilihat menyapa mata. Keynand dan Ona tampak asyik di depan perpustakaan. Setahu Indira, mereka tidak pernah mengobrol sedekat ini. Baru kali ini Indira melihat hal seperti itu.

Tak mau ambil pusing, Indira melanjutkan langkah. Mungkin ada hal yang mengharuskan mereka berbicara berdua. Toh, Indira sadar dia ini siapa. Dia dan Keynand hanya berteman. Indira tidak berani mengharap lebih. Lalu, bagaimana jika hatinya dengan lancang menaruh rasa yang seharusnya tidak ada?

Mendadak Indira berhenti di dekat mereka. Melihat Keynand cukup lama, sampai sadar ketika Ona menyapa.
“Sejak kapan datang, In?” tanya Ona. Indira tahu itu basa-basi.

Bersikap senormal mungkin, kemudian Indira menjawab, “Baru aja. Gue duluan ke dalam.”

Tak peduli apa yang terjadi selanjutnya. Indira langsung terpana dengan buku yang berada di rak-rak tersebut. Dia sudah menyelam ke sana, tidak ingin tahu lebih tentang percakapan Ona dan Keynand.

Di depan perpustakaan, Ona berulang kali berdecak kesal. Selalu saja Indira tidak meresponsnya dengan ramah.
“Lo lihat sendiri, ‘kan, Key? Cuek banget dia itu sama gue,” keluhnya kepada Keynand.

Keynand terkekeh. “Lo aja yang kurang usaha,” balasnya.

Ona semakin kesal. Dia menepuk kepala Keynand dengan buku yang berada di tangan. Keynand mengaduh, meski tidak sepenuhnya sakit.

“Pokoknya gue harus bisa jadi temen Indira. Enggak peduli, gue harus berusaha lagi. Bantu gue, please!” Gadis itu memohon kepada Keynand.

Anggukan diberi. "Gue udah ngomong kalau gue mau bantu sebisanya. Tenang aja, nanti sepulang sekolah ikut gue. Kita pergi bareng Indira!"

***

Halo, Guys!
Maaf datang telat karena kemarin aku banyak tugas ㅠㅠ

Seperti biasa, jangan lupa tinggalin jejak, ya.

Sampai jumpa!

With luv,
maeskapisme & NunikFitaloka

Tabula Rasa (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang