"Mimpi yang terus berjuntaian diringi dengan asa yang selalu tiba. Tidak peduli seberapa banyak yang sudah kukorbankan, kuupayakan tetap saja semua berujung pada pilu yang mendalam."
-Indira***
Hari berikutnya suasana sekolah tetap sama. Indira yakin bahwa selama tiga tahun di tempat ini dia tidak akan pernah mencetak kenangan tawa atau semacamnya. Bermalam-malam dia memikirkan apa yang bisa dilakukan di sekolah selain dari membaca buku guna menghindari kenyataan bahwa dirinya memang tak memiliki satu pun teman.
Ketika langkahnya mendekati arah mading membuat rasa ingin tahunya memuncak karena mading dipenuhi dengan gerombolan siswa. Beruntung tubuhnya kecil sehingga tak sulit jika hanya menyempil diantara orang-orang itu.
Dilihatnya begitu tepat berada di depan mading itu. Tidak ada hal yang menarik sama sekali. Lalu apa yang membuat mereka semua bergerumbul di sini?
Indira mengembuskan napasnya dengan kasar. Dia sudah berusaha menyelip, tetapi justru tak ada hal penting apa pun di mading itu. Akhirnya menjauhkan diri dari kerumunan, itu yang Indira lakukan. Namun, belum terlalu jauh, dirinya mendengar salah satu siswa berkata, "Gue mau deh coba calonin jadi bendahara ekskul basket. Kali aja bisa dapat doi."
Indira mengangguk paham, rupanya itu berita yang ada di mading? Langkahnya yang sempat terhenti kini kembali melangkah. Sebenarnya lima menit lagi jam pelajaran Olahraga akan dimulai.
Harusnya gadis itu sudah mulai ke ruang ganti untuk mengganti seragam olahraga, tetapi Indira masih berleha-leha di koridor ini.
Sejujurnya dia tidak menyukai pelajaran itu karena merasa begitu menguras tenaga. Akan tetapi, daripada dia harus mendengar ocehan Pak Gamma, maka dia harus lebih cepat ke loker mengambil baju.
***
Semua siswa kelasnya sudah berbaris di lapangan. Namun, wujud Pak Gamma belum juga hadir di antara mereka. Indira mengubah tempo langkah kakinya sedikit lebih cepat.
"Kata Pak Gamma, kita disuruh pemanasan mandiri dulu nanti beliau ke sini. Ayo baris!" Itu suara Akbar yang merupakan ketua kelas XI IPA 2.
Pemanasan yang dipimpin oleh Akbar pun akhirnya dimulai. Waktu demi waktu terus berlalu dan Pak Gamma belum kunjung tiba. Akhirnya Akbar mengambil inisiatif bahwa mereka akan olahraga bebas. Sebagian ada yang bermain badminton, basket, voli atau hanya duduk manis di pinggir lapangan yang tidak terkena sinar matahari. Pada umumnya ini adalah kaum hawa, termasuk Indira. Dia hanya duduk manis sembari memperhatikan semua kegiatan di lapangan tersebut.
Tidak sepenuhnya lapangan itu dipenuhi kelas XI IPA 2. Di sebelah kanan Indira ada lima orang siswa laki-laki yang lengkap dengan seragam abu-abunya yang terkesan berantakan sedang memantulkan bola basket.
Indira menggeleng-geleng, merasa takjub dengan mereka yang tahan dengan bau keringat bercampur matahari hingga pulang sekolah. Sementara dirinya terus memperhatikan permainan di lapangan sana. Ona berhasil duduk di sampingnya.
"Enggak mau main, In?" tanyanya yang membuat Indira langsung menoleh.
Indira hanya menggeleng sebagai respons.
Ona mengangguk-angguk sambil memiringkan bibirnya. Merasa Indira tak nyaman akan kehadirannya. Apa memang kepribadian gadis ini begitu? Cuek.
Merasa diacuhkan, Ona memperhatikan pergerakan mata Indira yang terus memperhatikan permainan basket lima siswa di lapangan. Mata Ona akhirnya ikut memperhatikan bebrapa menit sebelum akhirnya berkata, "Lo suka, ya, sama salah satu dari mereka?"
Sontak Indira menoleh denga raut wajah tak mengerti.
"Mereka anak XI IPA 4. Riko, Anand, Mario, Noval dan ..." Mata Ona mengikuti pergerakan siswa yang kini tengah mendrible bola kemudian memasukkannya ke ring.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tabula Rasa (TAMAT)
Teen FictionManis tak selamanya manis, pahit pun sama. Terang tak selamanya benderang, gelap pun sama, tak selamanya gulita. Suatu hubungan yang terjadi dalam sebuah kehidupan, di dalamnya tidak mungkin hanya ada kata harmonis. Pasti ada suatu persoalan yang me...