Indira dan Keynand berjalan berdampingan. Mereka menuju kelas Indira, tentunya karena Keynand ingin mengantarkan gadis itu sampai ke kelas. Tak seperti biasa, Indira menurut untuk kali ini. Tidak bisa dipungkiri kalau dia juga merindukan sosok Keynand. Teman baiknya (?).
Lelaki itu---Keynand---dia juga tampak bahagia bisa bertemu lagi dengan Indira. Semenjak kejadian di kafe, selama itu dia belum bicara. Jadi, Keynand pikir takdir berpihak kepadanya untuk kali ini.
Keynand sudah tahu apa yang terjadi kepada Indira. Beasiswa belum bisa berada di genggaman gadis itu. Di perpustakaan tadi, dia berusaha menenangkan Indira. Dia meyakinkan Indira, kalau suatu saat nanti pasti bisa mendapatkannya kembali.
“Maaf soal sikap gue beberapa hari yang lalu. Lo enggak tau apa pun, gue harusnya maklum.” Indira menunduk, menyadari kesalahan sambil meminta maaf kepada seseorang di sebelahnya.
Senyum tulus selalu diberikan oleh Keynand untuk Indira. Dia menggenggam erat tangan Indira, kemudian menjawab, “Lupain aja, In. Toh, gue juga salah. Tapi gue masih heran, sih, kenapa lo bersikeras enggak mau temenan sama Ona.” Keynand melirik Indira, menyadari ekspresi gadis itu, segera dilanjutkan ucapannya. “Eh, enggak, ding. Jangan marah lagi, gue mohon.”
Tanpa sadar Indira terkekeh, seolah lupa begitu saja atas segala kecewa yang kini dirasa. “Gue enggak marah,” kata Indira.
Mereka lanjut berjalan sampai di depan kelas Indira. Keynand menahan tangan Indira ketika hendak masuk ke kelas. Refleks Indira berbalik dan melemparkan tatapan tanya kepada Keynand.
Bukan segera menjawab, Keynand malah menyengir. Beberapa detik kemudian, dia berkata, “Gue enggak tau sampai berapa hari lagi gue ada di sekolah ini. Apa lo enggak mau bolos sehari buat temenin gue?”
Kalimat yang membuat hati Indira menjadi sesak. Namun, dia tidak menunjukkan rasa itu pada ekspresi wajah. Indira menatap Keynand sebentar, sekarang yang ada di pikirannya hanya bayangan hal buruk. Tentang bagaimana harinya jika tidak ada Keynand, tentang kepada siapa dia bisa tersenyum lega jika tidak dengan Keynand.
Tangan yang melambai di depan mata Indira membuat gadis itu tersadar. Dia menggeleng. “Gue enggak mau.”
Sebenarnya kalau ingin, Indira bisa saja mengeluarkan air mata saat itu juga. Akan tetapi, dia tahu tempat dan saat. Ini masih di sekolah. Dia tidak mau jadi pusat perhatian.
Wajah Keynand berubah menjadi murung. “Iya, lo enggak suka bolos. Kalau pas pulang sekolah apa lo juga sibuk?”
Indira mengangguk. “Sibuk bantu ibu.” Teramat sesak ketika Indira mengatakan hal itu.
Bukannya dia ingin menolak ajakan Keynand, tetapi dia hanya tidak mau membuat banyak kenangan. Dia sangat ingin pergi dengan Keynand. Namun, Bagaimana jika nanti dia rindu dengan Keynand, sedangkan Keynand saja sudah tidak ada di dunia? Katakanlah Indira jahat berpikiran seperti itu. Akan tetapi, dia hanya menyiapkan hati supaya tidak terlalu bersedih nanti.
Yang Indira tahu, kepergian orang terdekat adalah hal yang paling menyedihkan seumur hidup. Dia sudah kehilangan sang ayah. Untuk kehilangan Keynand, Indira tidak akan sanggup. Namun, kembali lagi ke takdir. Siapa yang bisa membantah?
“Jadi, enggak ada waktu buat gue?” tanya Keynand.
“Gue enggak mau lo pergi,” ucap Indira sambil menghindari kontak mata dengan Keynand.
Dengan tenang Keynand tersenyum. “Mau lo setuju atau enggak, gue bakal tetep pergi. Maka dari itu, ayo habisin waktu bareng sebelum lo enggak bisa ketemu gue,” ujarnya, “Jangan nangis, deh. Enggak cocok, jadi jelek.” Lelaki itu masih sempat-sempatnya mengejek Indira ketika melihat rautnya.
Sedangkan Indira bertambah masam wajahnya. “Kalau gue banyak waktu sama lo, kenangannya bakal banyak, dan itu bakal nyakitin gue. Lo mau gue sakit?”
Gelengan cepat diberikan oleh Keynand. “Lo sakit karena rindu dan enggak bisa ketemu gue. Gitu maksud kalimat tadi?”
“Itu lo tau.”
Hati Keynand merasa hangat. Sadar atau tidak Indira mengucapkan itu, tetapi Keynand tahu kalau Indira pasti tulus. “Gue harap lo mau sehari aja jalan sama gue. Seenggaknya ada waktu luang bareng untuk yang terakhir, mungkin.”***
Siang sudah datang beberapa jam tadi. Sekarang waktu pulang hadir untuk membawa kembali para siswa ke rumah masing-masing. Indira berjalan di koridor dengan tatapan kosong. Dia bingung, apa yang harus dilakukan untuk bertahan di sekolah ini?
Sementara berpikir itu, Indira juga memikirkan tentang Keynand. Ketika dia keluar kelas, Keynand sudah berada di depan kelasnya. Wajah pucat menggantikan wajah ceria yang biasanya dia pakai. Melihat itu kecemasan Indira meningkat.
“Sayang banget enggak bisa antar lo pulang, padahal gue pengin ketemu sama ibu lo. Gue udah enggak boleh naik sepeda, maaf, ya, In. Papa udah nunggu di depan. Jaga diri baik-baik, gue duluan.”
Itu kalimat yang Indira ingat ketika mereka berpisah di depan kelas Indira. Terkadang dia berpikir, apa Keynand sudah separah itu? Sekarang saja dia sudah tidak diberi izin pergi sendiri.
Indira menatap sekeliling. Sekolah ini belum terlalu sepi. Masih ada beberapa siswa yang berada di sini. Akan tetapi, Indira merasa sedikit aneh. Seperti ada yang mengikuti, tetapi ketika Indira lihat ke belakang tidak ada siapa-siapa.
“Mungkin cuma pikiran gue aja. Gue lagi banyak pikiran gini,” gumamnya, lalu lanjut berjalan.
Kantin sekolah masih ramai. Ada Sandra dan Melisa juga di sana. Mereka tampak mengobrol serius. Sebelum akhirnya, Ona datang dan mereka mengubah ekspresi.
“Kalian lihat Indira?” tanya Ona begitu sampai di depan kedua sahabatnya.
Mendengar pertanyaan seperti itu, Sandra dan Melisa langsung memasang muka kesal.
“Ngapain, sih, cari Indira? Kurang kerjaan banget, deh, lo,” ujar Sandra dan disetujui oleh Melisa.
Ona duduk di kursi yang kosong, kemudian menghela napas. “Kalian gimana, sih? Gue mau temenan sama Ona. Wajar kalau gue cari dia,” jawabnya.
“Gini, ya, Na. Lo itu sadar enggak? Dia belagu banget. Masuk ke sini Cuma karena beasiswa, sikapnya sombong, kalau dia orang baik ... enggak mungkin nolak lo buat jadi temennya.” Seperti biasa, Sandra selalu yang banyak bicara dan Melisa yang mengiakan.
“Jangan asal ngomong, deh. Gue tau dia baik, lo tau apa soal dia?” Tampaknya Ona merasa kesal dengan perkataan Indira. Dia berdiri, mungkin berniat pergi.
“Gue tanya balik. Lo tau dia baik dari mana? Emangnya lo siapanya?” timpal Sandra.
Ona tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut. Dia tidak mungkin terang-terangan mengatakan siapa itu Indira. Daripada menanggapi pertanyaan Sandra yang itu, lebih baik mengalihkan topik pembicaraan.
“Ya, gue tau. Udahlah, capek. Kalian apa enggak mau pergi bareng? Kalau mau, kali ini gue yang bayar semua,” kata Ona.
Kalau saja tidak untuk menghindari pertanyaan macam-macam dari Sandra, dia tidak sudi menghabiskan uangnya dengan sia-sia. Kali ini saja, Ona akan boros.
“Tumben banget lo. Tapi enggak mungkin juga kita nolak. Jadi, ayo pergi!” Melisa berucap, dia paling bersemangat. Berbeda dengan Sandra yang mungkin merasa aneh dengan sikap Ona.
Baru saja Sandra akan membuka mulut, Melisa sudah menarik tangan sahabatnya.
“Nolak rezeki itu enggak baik.”***
Hai, halo! Apa kabar kalian? Puasanya lancar, 'kan? Semoga lancar dan sehat selalu. Aamiin.
Kira-kira Tabula Rasa tamat di episode berapa, ya? 🤔
Yuk, share cerita ini ke temen-temen, saudara, atau tetangga. Jangan lupa juga untuk meninggalkan jejak. Terima kasih banyak!^^
Sampai jumpa! 💙
With luv,
maeskapisme & NunikFitaloka
KAMU SEDANG MEMBACA
Tabula Rasa (TAMAT)
Teen FictionManis tak selamanya manis, pahit pun sama. Terang tak selamanya benderang, gelap pun sama, tak selamanya gulita. Suatu hubungan yang terjadi dalam sebuah kehidupan, di dalamnya tidak mungkin hanya ada kata harmonis. Pasti ada suatu persoalan yang me...