Sejak pulang sekolah, Keynand mengunci diri di kamar. Kendatipun sang mama memanggil untuk makan siang, dia tetap tidak keluar. Dia diam, tetapi isi kepalanya ramai dengan beribu pertanyaan. Keynand masih kaget dengan apa yang terjadi di sekolah tadi.
Notifikasi dari ponsel membuat pikiran Keynand buyar. Dia membuka pesan dari Ona, yang meminta ditemani sore ini. Keynand asal mengiakan. Dia tidak mau berdebat untuk kali ini saja.
Tangannya memencet tombol keluar dari room chat Ona. Namun, dia melihat kontak yang dipaku paling atas. Nama Indira ada di sana, dengan satu simbol hati berwarna biru. Dahulu Keynand memberi simbol itu karena dia pikir warna biru sesuai dengan kepribadian Indira, tenang.
Keynand refleks membuka room chat itu. Dia membaca dari pertama mengirim pesan kepada Indira. Gadis yang dingin, keras kepala, tetapi perlahan menjadi hangat dan mulai dekat dengannya. Rasa di hati Keynand semakin mantap, tetapi dia tetap menciptakan batas di hati. Dia dan Indira tidak akan pernah bisa selamanya bersama; kenyataan.
Sampailah dia di pesan terakhir. Pesan berisi peringatan sarapan darinya untuk Indira yang hanya dibaca oleh gadis itu. Keynand tersenyum kecil. Setelah ini ... apakah semua kembali seperti dulu lagi? Sekat-dekat-sekat, begitulah polanya? Keynand tidak tahu, yang jelas dia masih kecewa.
Kala matanya memejam, wajah Indira memenuhi pikirannya. Lelah penuh emosi tergambar di wajah Indira tadi pagi. Sedikit bagian dari hati Keynand merasa bersalah. Bukannya ucapan tadi terlalu kasar, ya?
“Di satu sisi gue masih enggak percaya dengan apa yang Indira lakuin tadi pagi, gue jelas kecewa. Tapi, di sisi lain gue juga enggak mau jauh dari Indira. Semu banget, siapa yang bener?” Dia bertanya kepada dirinya sendiri di dalam cermin.
Keynand mengacak rambut, lalu tiba-tiba merasakan hal aneh di tubuhnya. Sesak itu kembali, keringat dingin sudah datang lagi. Keynand tahu apa yang akan terjadi kali ini.
Buru-buru dia menghidupkan ponsel, kemudian mencari nomor mamanya. Untuk berteriak dia tidak yakin bisa, apalagi berjalan. Maka dari itu, dia menelepon saja.
Namun, telepon tidak diangkat. Keynand pikir mamanya sedang beristirahat. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Yang bisa dilakukan sekarang adalah dia merebah di kasur. Harap-harap cemas masih bisa melihat dunia ketika dia bangun nanti.
Membantu ibu sudah dilakukan Indira. Sekarang dia berada di perjalanan menuju kafe untuk bekerja. Meskipun hatinya masih belum siap, tetapi dia tidak mau kehilangan kesempatan ini. Dia tidak akan menyia-nyiakan hal yang harus didapat untuk bisa terus bersekolah.
Indira turun dari angkutan umum berwarna kuning. Sore ini cukup ramai kendaraan. Dia harus menunggu lampu merah dahulu supaya bisa menyeberang. Tak berselang lama, lampu merah pun menyala dan Indira langsung menyeberang.
Kafe tidak begitu ramai. Hanya ada satu sampai empat mahasiswa yang sepertinya sedang mengerjakan tugas di situ. Ya, di kafe ini ada layanan Wi-Fi gratis. Jadi, untuk berlama-lama di sini cukup betah dan nyaman. Apalagi jika sambil mengerjakan tugas yang butuh banyak paket data.
“Indira enggak telat, ‘kan, Mbak?” tanya Indira kepada salah satu pekerja di toko itu. Rina namanya.
Rina menggeleng. “Enggak, kamu malah datang lima menit lebih awal. Karena belum ada yang datang, sana ganti baju. Semangat kerjanya!”
Indira memasang tangan untuk sikap hormat. “Siap, Mbak!”
Dia akan bersemangat untuk bekerja, persetan dengan apa yang dialaminya tadi. Indira tidak mau hal itu mengganggu lama-lama.
Selesai mengganti baju dengan seragam kafe, Indira langsung menempati posisinya. Tepat saat itu ada pelanggan yang baru saja masuk. Seorang lelaki duduk di meja nomor 04.
Dia pelanggan pertama yang Indira layani. Indira membawa menu ke meja itu, kemudian menyerahkan dengan sopan daftar menu tersebut.
Namun, ketika pelanggan itu menoleh, Indira sempat terkejut. Dia mengenal pelanggan ini. Sontak, daftar menu yang akan di serahkan si pelanggan terjatuh. Cepat-cepat Indira mengambilnya.
“Ma-maaf, pesanan akan datang secepatnya. Silakan ditunggu.” Indira hendak pergi dari sana, tetapi suara Noval membuatnya berhenti.
“Ternyata bener yang dikatakan Sandra tadi. Emang enggak tau diri. Gue nyesel pernah ngira lo orang baik-baik. Lucu banget pikiran gue waktu itu,” kata Noval.
Helaan napas dikeluarkan Indira. Dia tidak menyangka Noval juga akan terpengaruh. Sejujurnya dia juga sakit dituduh yang bukan tindakannya. Namun, itu tidak penting juga. Memangnya Noval siapa? Dia hanya orang yang sekali lewat di kehidupan Indira.
“Mungkin alasan ayah lo pergi karena malu sama sikap lo yang kayak gitu. Tau gini dulu enggak usah repot-repot gue samperin ke makam.”
Kalau untuk ini, air mata Indira menetes sekali. Indira sangat sensitif jika ada yang membicarakan tentang kepergian sang ayah. Apalagi yang berbicara Noval---orang yang sangat baru dan asing di lingkungan Indira. Seharusnya, lelaki itu diam saja. Ah, tetapi untuk sekarang, Indira bersuara pun tidak ada gunanya.
Indira berlalu, dia tidak mau menanggapi Noval. Wajah Indira yang mudah kentara usai menangis walau sebentar, disadari oleh Rina.
“Ada masalah apa, In? Ada pelanggan yang enggak sopan?” tanyanya.
Indira menggeleng cepat. “Ehe, enggak, Mbak. Cuma kelilipan aja. Aku antar dulu pesanannya, ya.”
“Rencana kita berhasil. Lihat aja, Indira enggak bakal betah di sekolah ini.”
Di rumah Sandra, ada Melisa yang main ke sana. Mereka tengah menyusun rencana-rencana untuk menjatuhkan Indira lebih dalam. Namun, sebelum itu mereka melakukan perayaan kecil untuk ‘kemenangan’ tadi pagi.
“Kasihan sebenarnya. Tapi gue enggak suka sama sikap dia. Gue juga enggak suka Ona terus berusaha deketin dia,” celetuk Melisa.
Sandra mengangguk. “Toh, dia enggak pantas ada di Jewel High School. Apa enggak malu-maluin sekolah kalau orang luar tau di Jewel High School ada orang enggak mampu? Gue rasa, Indira keluar adalah jalan yang tepat.”
“Woah, bener juga. Gue kira dia dapat beasiswa karena prestasi. Taunya karena enggak punya duit. Mending enggak usah sekolah sekalian biar jadi gelandangan.”
Mendengar perkataan Melisa, Sandra tertawa. Melisa pun menyusul dengan tawanya. Hal ini tentu tanpa sepengetahuan Ona. Kalau perempuan itu tahu, pasti Ona sudah meninggalkan persahabatan ini. Mereka berdua sudah menanti hal ini sejak lama dan akhirnya terjadi juga.
Setelah segelas kopi dingin dihabiskan keduanya, mereka kembali menyusun rencana. Mungkin mereka tidak sadar kalau hukum alam beneran ada. Mungkin juga mereka tidak percaya dengan karma. Dualisme masih berlaku. Tawa mereka suatu saat nanti akan diganti dengan derita, siapa yang tahu?
Sejatinya, yang baik akan dibalas dengan hal baik. Begitu dengan sebaliknya. Benar?***
Sebentar lagi tamat, yuhuuu!
Tetap pantau Tabula Rasa dan janga lupa meninggalkan jejak. Terima kasih.
With luv,
maeskapisme & NunikFitaloka
![](https://img.wattpad.com/cover/257888941-288-k719472.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Tabula Rasa (TAMAT)
Teen FictionManis tak selamanya manis, pahit pun sama. Terang tak selamanya benderang, gelap pun sama, tak selamanya gulita. Suatu hubungan yang terjadi dalam sebuah kehidupan, di dalamnya tidak mungkin hanya ada kata harmonis. Pasti ada suatu persoalan yang me...