Episode 30

44 13 0
                                    

Jam sudah menunjukkan pukul 16.50. Keynand terperanjat, kemudian mengusap keringat yang membasahi dahinya. Dia mengecek ponsel sebentar. Sudah ada banyak pesan dari Ona.

Tanpa membuka pesan tersebut, Keynand segera menuju kamar mandi. Dia sudah berjanji akan menemani Ona sore ini. Jadi, dia akan berangkat. Toh, kondisinya sedikit membaik meskipun dadanya masih sesak sedikit.

Selesai mandi, Keynand cepat memantaskan diri di depan cermin. Dia menyisir rambut, lalu menyambar ponsel. Keynand menghubungi Ona akan tiba sebentar lagi. Dia yakin kalau gadis itu sudah menunggu terlalu lama.

Bagaimanapun juga Keynand tidak mau celaka sekarang. Dia berinisiatif menyuruh sopir di rumahnya mengantarkan dia dan Ona untuk jalan-jalan. Keynand tidak mau mati dulu, dia masih ingin tahu lebih tentang Indira.

Keynand menuruni anak tangga, tetapi mamanya sudah menunggu di bawah dengan raut cemas. Begitu Keynand sampai di bawah, Bu Anit menghampiri putranya.

Raut cemas berganti terkejut lantaran Keynand sudah berpakaian rapi.

“Mau ke mana? Tadi habis kambuh, jangan pergi dulu,” ucap Bu Anit.
Ketika Keynand menelepon, Bu Anit tengah berada di kamar mandi. Setelah melihat banyak panggilan tak terjawab dari Keynand, beliau bergegas menuju kamar sang putra. Raut sesal terpampang ketika terlambat datang.

Untung Keynand tidak begitu parah.

Menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, Keynand bingung. Namun, dia harus jujur. Bisa-bisa perjalanannya tidak berkah kalau tidak dapat izin dari mama. “Itu … Keynand mau ketemu sama Ona. Sebelum kambuh tadi kita udah janjian mau pergi bareng. Keynand enggak bisa ingkar gitu, Ma. Lagi pula ada hal penting yang mau dibicarain.”

Bu Anit masih khawatir. “Kamu belum sembuh, lho. Mama yakin Ona pasti ngerti kondisi kamu. Istirahat dulu, ya? Mama khawatir sama kamu, Key.” Beliau berusaha membujuk putranya.

Keynand tersenyum, dia memegang pundak mamanya. Lalu, dia berkata, “Ma, tenang aja. Keynand udah mendingan, Cuma sesak dikiiit aja, kok. Lagian Keynand enggak pergi sendiri. Keynand suruh antar Pak Ranto. Tenang, ya, Ma. Kali ini aja, please.” Setelahnya dia menangkupkan tangan di depan dada.

Melihat Keynand yang bersikeras meminta izin, Bu Anit sedikit luluh. Meski dia khawatir, tetapi sepertinya Keynand ada keperluan penting juga. Dengan sedikit ragu, dia mengangguk.

“Jangan sampai capek, tapi. Kalau ada apa-apa cepet bilang sama Pak Ranto. Mama kasih izin untuk kali ini, obatnya dibawa juga. Jangan beli makanan sembarangan. Kalau mau apa-apa, pokoknya bilang aja sama Pak Ranto. Ja—”

“Iya, Ma, Iya. Keynand tau, kok. Sayang banget, deh, sama Mama.” Keynand terkekeh melihat mamanya yang super cerewet ketika menaruh perhatian kepada dia. Dia suka hal ini, selalu suka.

Setelah berpamitan, Keynand segera bergegas. Dia akan bertemu dengan Ona, mungkin gadis itu perlu tenang setelah kejadian tadi pagi (?). Namun, ada yang ingin Keynand tanyakan juga. Semoga itu tidak mengganggu Ona.

***

Mobil hitam itu sudah berhenti di depan gerbang rumah milik keluarga Pak Marva. Keynand keluar, tetapi langsung disambut oleh Ona yang ternyata sudah siap di sana.

“Diantar sama Pak Ranto, enggak apa, ya, Na? Biar lebih aman aja,” kata Keynand.

Ona bingung, lalu tersadar. “Lo habis kambuh? Kalau iya kenapa enggak bilang aja? Gue bakal ngerti, kok. Pulang aja, Key. Gue enggak masalah. Istirahat aja,” balas Ona yang tak kalah cerewet dari Bu Anit.

Lagi-lagi Keynand terkekeh. Dia seperti menemui dua orang dengan sifat sama di waktu yang berdekatan. “Cerewet banget, sih. Gue udah baikan. Udah sampai sini, apa iya lo tega suruh gue pulang? Enggak ngehargain banget lo.”

Dengan cepat Ona menggeleng. “Enggak gitu! Gue takut lo kenapa-napa. Lebih baik mencegah, ‘kan? Sana pulang!”

“Sini masuk!”

Nahasnya Keynand menarik tangan Ona terlebih dahulu untuk masuk ke dalam mobil. Gadis itu sedikit terkejut, untung tidak terjatuh. Dia menatap Keynand penuh tanya.

“Santai aja, percaya sama gue. Gue tau lo butuh tenang … buruan masuk!”

Begitu ucapan Keynand ketika menyuruh Ona masuk. Dengan gampangnya, Ona mengangguk dan menurut. Sekarang mereka sudah di dalam dan bersiap pergi.

Mobil dilajukan sesuai arahan dari Ona. Keynand tidak tahu mereka akan ke mana, dia hanya menurut saja. Di sepanjang perjalanan, Keynand memilih diam dengan memainkan ponsel. Sedangkan Ona lebih sibuk melihat jalanan melalui jendela mobil.

Tak lama kemudian, mereka sudah sampai. Ternyata Ona mengajaknya ke taman. Tamannya cukup sepi, mungkin ini akan nyaman bagi Ona juga. Itu pikir Keynand.

Mereka keluar dari mobil. Baik Ona maupun Keynand sama-sama menghirup udara dalam-dalam sebelum berjalan ke taman tersebut. Kemudian, mereka berjalan bersisian.

“Den, kalau ada apa-apa cepet bilang saya, ya!” pesan Pak Ranto sedikit berteriak.

“Siap!” jawab Keynand.
Mereka lanjut berjalan, Ona menunjuk sebuah bangku di samping bunga-bunga. Keynand menurut dan mereka duduk di sana.

“Huf, masih enggak nyangka kalau Indira ngomong gitu ke gue.” Ona berucap sembari tersenyum miris. “Untuk kali ini gue mau bilang kalau dia jahat. Maaf, In, tapi sikap lo tadi bener-bener keterlaluan.”

Membiarkan Ona bicara, Keynand mendengarkan. Dia tahu, pasti Ona sangat sedih. Orang yang selama ini dianggap baik dan berusaha diajak berteman, ternyata malah menuduhnya yang tidak-tidak.

“Lo enggak marah kalau gue bilang Indira itu jahat?”

Pertanyaan Ona membuat Keynand menoleh dan mengernyit. “Selama itu fakta, gue terima aja. Gue pikir dia tadi juga keterlaluan, tapi ….”

Ucapan Keynand menggantung, membuat Ona penasaran. Dia melempar tatapan seolah bertanya tentang apa kalimat selanjutnya.

“Gue penasaran kenapa dia bisa bilang kayak gitu. Gue boleh tanya?”
Otomatis Ona mengangguk. Ini kesempatan Keynand.
“Gue lihat lo banyak tau tentang Indira. Lo tau kenapa tadi dia bersikap kayak gitu?"

Sial, ini pertanyaan yang sulit untuk bisa Ona jawab. Dia sendiri juga tidak tahu kenapa Indira bisa berlaku seperti itu kepadanya. Selama ini, Ona rasa dia tidak pernah berbuat kesalahan fatal kepada gadis itu. Yang Ona inginkan hanya menjadi teman Indira.

“Gue juga enggak tau tentang itu. Dulu sewaktu dia belum pindah ke rumah gue, dia cukup ramah. Tapi semenjak kejadian itu … ya, kayak yang lo lihat biasanya sikap dia ke gue gimana,” jawab Ona panjang dan lebar.

“Bisa jadi dia takut gue bocorin ke temen-temen kalau dia anak pembantu. Padahal, mah, gue enggak bakal lakuin itu. Intinya untuk alasan yang pasti gue enggak tau.”

***

Pelanggan cukup ramai kali ini. Indira senang bisa melayani dengan sepenuh hati, kecuali Noval. Dia sekarang tengah membawa minuman untuk sepasang kekasih di meja nomor dua.

Melihat dua orang itu, Indira tiba-tiba memikirkan Keynand. Dahulu dia pernah membayangkan kalau selamanya bisa bersama Keynand. Akan tetapi, itu dahulu. Sekarang tidak ada lagi yang bisa diharapkan, mungkin. Kalimat Keynand di sekolah seolah menegaskan kalau sudah ada jarak jelas bagi mereka. Jelas.

Indira tersenyum sangat singkat, seperti waktunya bersama Keynand. Hanya beberapa bulan dan belum sampai ribuan pertemuan. Apakah sekarang Indira sudah akan dihadapkan dengan perpisahan? Sontak Indira menggeleng, dia belum siap. Setidaknya dia harus mengucapkan terima kasih kepada Keynand.

Rani menyentuh pundak Indira, membuat gadis itu berhenti memikirkan Keynand.

“Ada pelanggan, kayaknya lagi sakit, deh. Cuma pesen air putih doang soalnya. Kamu yang antar, ya?” ujar Rani dengan ekspresi wajah seidikit panik.

Kernyitan muncul di dahi Indira sembari mengangguk. Dia menyiapkan segelas air putih, kemudian meletakkan ke atas nampan. Indira berjalan ke pelanggan tersebut.

Akan tetapi, belum sempat sampai di tempat mereka, Indira mendadak berhenti. Sudut matanya basah melihat apa yang terjadi di sana. Keynand sepertinya sedang menahan sakit, ditemani Ona yang berusaha menghubungi seseorang.

Bergegas Indira kembali ke belakang dan menyerahkan air itu kepada Rani. Dia pergi ke toilet, bersembunyi di sana dan berharap Keynand tidak melihatnya tadi.

Rani bingung, seperti ada yang salah melihat Indira sedikit ketakutan. Dia mengantarkan air tersebut sembari memperhatikan pemuda di depannya. Apakah teman Indira? Rani pikir.

Mati-matian Keynand menahan sesak di dadanya. Dia ingin sekali tumbang di sini, tetapi itu hanya akan menciptakan masalah. Melihat Indira sekilas membuatnya sedikit tenang. Indira tampak kelabakan ketika melihatnya tadi. Meski ada rasa kecewa, tetapi dia lega bisa melihat Indira. Satu fakta yang sudah dia tahu, Indira bekerja di sini.

Setelah itu, yang Keynand lihat hanya kegelapan. Suara bising dari orang-orang yang mulai mendekat membuat Keynand sadar banyak orang baik di dunia ini. Setelahnya, dia tidak tahu apa-apa. Ruangan berbau obat akan segera menyambutnya.

***

Hai, enggak sampai lima episode lagi Tabula Rasa akan tamat. Jangan pergi dulu, ya.

Silakan tinggalkan jejak, terima kasih^^

With luv,
maeskapisme & NunikFitaloka

Tabula Rasa (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang