"Sesering kubuat sekat, semakin cepat kamu mendekat. Apa yang bisa aku perbuat?"
***
Berangkat ke sekolah, membantu ibu, mengerjakan tugas, sendiri, selalu seperti itu siklus keseharian Indira. Oh, kurang satu. Ternyata, Ona belum juga kapok dengan kalimat-kalimat pedas dari Indira. Anak dari majikannya masih mencoba mendekat. Hal itu membuat Indira muak sekaligus takut. Ah, tepatnya dia malas jika harus mendengar perkataan Pak Marva.
Hari ini Indira berangkat ke sekolah dengan semangat. Pagi tadi, ibunya masak nasi goreng. Nasi goreng ditambah telur, rasanya sangat lezat bagi Indira. Sebenarnya, semenjak dia pindah rumah, ada yang sedikit berubah. Pola makannya meningkat meski hanya semili. Itu karena terkadang, ibu Ona memberikan beberapa sayuran--meski tidak banyak--tetapi itu sudah sangat membantu bagi mereka.
Seperti yang bisa Indira lihat, istri Pak Marva tidak seperti suaminya. Bu Naya sifatnya jauh berbeda dengan Pak Marva. Kemarin, ketika Indira bantu-bantu ibu di dapur, Ona kembali mendekat. Indira waswas karena Bu Naya duduk di meja makan, yang tak jauh dari mereka. Akan tetapi, ternyata bukan masalah besar. Bu Naya malah tersenyum senang ketika Ona mencoba berbaur dengan Indira.
Mendapat sifat seperti itu, Indira juga bingung harus melakukan apa. Alhasil, semalam dia harus pura-pura bersikap tulus kepada Ona. Tak enak kalau bersikap ketus di depan Bu Naya yang baik kepadanya.
Saat ini waktu istirahat sudah tiba. Indira pergi ke kantin sendiri. Meski banyak murid yang dilewatinya, tetapi tidak ada yang menyapa atau pun Indira sapa. Lebih baik dia diam daripada ketika bicara nanti dia tidak dianggap. Membayangkan saja sudah miris sekaligus malu.
Sesampainya di kantin, Indira membeli sebungkus roti dan beberapa makanan ringan. Dia belum begitu lapar. Air minum juga dia membawa dari rumah, sebab itu lebih hemat. Setelah membayar, Indira mencari bangku kosong. Ketemulah. Dia duduk di bangku yang sedikit jauh dari keramaian.
“Bagus, enggak ramai. Selamat makan dengan tenang, Indira!” Gadis itu berucap kepada dirinya sendiri, kemudian mulai membuka bungkus roti tersebut.
Satu suapan pertama sudah ditelan usai dikunyah. Lalu, dia mulai melanjutkan makan dengan tenang. Sampai ketika dia sudah menelan bagian terakhir, seseorang datang membuat Indira ingin segera pergi dari sini.
“Yah, ternyata udah selesai makannya. Aku telat, sih.” Ona menggerutu sendiri. Dia duduk di depan Indira sembari meletakkan kotak makan. Indira tebak, itu buatan ibunya. Hm, terkadang Indira iri. Anak orang bisa makan bekal buatan ibunya, tetapi dia sendiri malah tidak bisa. Namun, dia juga tidak bisa melakukan apa-apa.
Atas perkataan Ona tadi, Indira tidak menanggapi apa-apa. Setelah minum, dia akan pergi dari sana. Namun, Ona mencekal tangannya.
“Mau ke mana, In? Enggak mau nemenin gue makan dulu? Buru-buru banget, lagian,” kata Ona.
Helaan napas ringan dikeluarkan Indira. Dia lantas menjawab, “Enggak. Gue mau belajar, nanti ada ulangan.” Indira melepas cekalan tangan. Setelah terlepas, cepat-cepat Indira pergi tanpa pamit. Terserah bagaimana tanggapan Ona. Yang terpenting, dia tidak berurusan lagi dengan gadis itu.
Sementara itu, Ona lagi-lagi kesal dengan sikap Indira. “Tuh, kan. Ada aja alasannya. Salah gue apa, sih. Gue Cuma pengin temenan sama dia, padahal.” Dia melahap makanannya. Setelah menelan, dia lanjut berkata, “Tapi gue enggak boleh nyerah. Gue harus bisa temenan sama Ona. Harus!”
Tanpa Ona sadari, kedua temannya sudah berada di belakang dari tadi. Mereka memperhatikan interaksi antara Ona dan Indira. Sandra dan Melisa heran, kenapa bisa Ona sangat berteman dengan Indira.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tabula Rasa (TAMAT)
Teen FictionManis tak selamanya manis, pahit pun sama. Terang tak selamanya benderang, gelap pun sama, tak selamanya gulita. Suatu hubungan yang terjadi dalam sebuah kehidupan, di dalamnya tidak mungkin hanya ada kata harmonis. Pasti ada suatu persoalan yang me...