"Mereka tak tahu seberapa besar cintanya kepadaku. Mereka tak tahu seberapa banyak kasihnya untukku. Terima kasih, Ibu."
***
Ketika yang lain bersenda gurau dengan teman, tidak dengan Indira. Gadis itu hanya diam, membaca buku, sesekali mencuri dengar suara berisik yang disebabkan oleh murid di kelasnya. Sekarang jam kosong, tidak. Sebenarnya, saat ini jadwal mata pelajaran Olahraga Teori. Akan tetapi, guru yang mengajar sering tidak memasuki kelas. Mungkin, beliau bosan juga dengan materi yang setiap tahunnya hampir sama.
Bukan masalah besar bagi Indira. Dia tidak terlalu memikirkan materi-materi dalam olahraga, sebab setiap praktik dia melakukannya dengan baik. Justru, dengan adanya jam kosong dia bisa belajar materi mapel lain yang belum dikuasai.
Namun, jam kosong ini menjadi peluang besar bagi murid-murid di kelasnya. Terlebih, hari ini ada salah satu siswi yang tengah berulang tahun. Mungkin karena mereka mengira hari ini jam kosong, mereka sudah menyiapkan acara tersebut.
Tentunya acara tersebut berlangsung sekarang. Jam kosong menjelang waktu istirahat, bukankah sangat mengasyikkan?Lihatlah, bagaimana senangnya siswi yang berulang tahun itu meniup lilin. Ya, dia membawa kue ke sekolah untuk dirayakan dengan teman sekelas. Sudah menjadi kebiasaan bagi kaum perempuan di kelas ini, kecuali Indira. Tanggal lahirnya saja tidak ada yang tahu. Balik ke gadis itu lagi. Mekipun sebagian wajah tercoret krim, dia tetap terlihat cantik. Siapa juga yang tidak cantik kalau setiap minggu melakukan perawatan?
Semua bersorak, kecuali Indira. Dia hanya diam, ingin bergabung pun enggan. Dia tidak diajak, lancang kalau datang tidak diundang. Maka dari itu, earphone dan buku menjadi temannya saat ini. Kendati sudah mengenakan earphone, Indira masih bisa menangkap bisik-bisik sayatan hati dari mulut mereka. Lagu diputar tidak begitu keras, Indira bisa mendengar mereka mengatainya.
"Apa dia enggak punya rasa simpati buat ikut ngerayain ulang tahun lo, Ris?" Seorang siswi bertanya kepada siswi yang sedang berulang tahun, Risa.
Dikenal dengan sifat lembutnya, Risa menggeleng dan tersenyum menanggapi pertanyaan siswi tadi. "Pasti punya. Gue samperin dia dulu, kue bagian dia belum diambil."
Semua mata tertuju kepada Risa yang berjalan mendekati Indira. Seketika kelas hening melihat Riza yang dengan sabar memberikan kue tersebut kepada Indira.
"Thanks. Selamat ulang tahun." Hanya kalimat itu yang diterima Risa. Akan tetapi, itu cukup baik daripada Indira terus diam.
Banyak yang menggeleng heran melihat kejadian tadi. Ada yang segera melanjutkan kegiatannya, ada juga yang malah membicarakan Indira. Indira juga tidak begitu peduli, dia sudah biasa dengan tatapan dan ucapan-ucapan tadi.
"Sombong banget, sih. Temennya ulang tahun cuma diucapin gitu doang," celetuk Sandra. Dia selalu kepanasan menyangkut sesuatu tentang Indira.
Begitu juga dengan Melisa yang mengiakan kalimat Sandra. Dia berucap, "Harusnya dia doain yang baik-baik buat Risa. Udah enggak ikut gabung, cuma ngasih ucapan gitu doang lagi. Masih baik nasibnya dikasih Risa kue."
Setelah kalimat Melisa selesai diucapkan, Ona berdecak kesal. Dia menatap kedua sahabatnya. "Kalian itu, ya. Kalau enggak bisa ngomongin hal baik tentang orang lain, lebih baik diem, deh. Ini hari baiknya Risa. Daripada lo berdua ngomongin soal Indira, lebih baik berdoa buat Risa." Menjeda ucapannya, kemudian melanjutkan. "Lo juga, Mel. Emang lo tau apa sampai bilang, 'harusnya doain'? Doa harus gitu, ya, diucapin di depan muka orangnya? Siapa yang tau Indira udah doain Risa, 'kan?" Tampaknya, Ona tersulut emosi. Telinganya sedikit gatal ketika kedua sahabat terus membicarakan hal buruk dari Indira.
Merasa dipojokkan, Melisa berucap sinis, "Lo, kok, bela Indira? Ngapain juga nyalahin gue?"
"Gue enggak bela Indira, tapi benerin apa yang salah. Gue cuma ngasih tau lo, bukan nyalahin," jawab Ona santai. Setelahnya, dia menegak air putih dari botol yang dia bawa dari rumah.
"Udah, enggak usah bertengkar. Kalian ngeributin hal yang enggak berguna kayak dia, cih."
Ucapan Sandra barusan, mendapat pelototan dari Ona.
Semua itu Indira dengar, tetapi dia pura-pura tutup telinga. Cukup sakit, sebenarnya. Namun, dia juga sudah terbiasa. Dipandang sebelah mata seperti ini ... bukan hal yang asing lagi. Indira berusaha tidak peduli, yang perlu dia lakukan adalah berusaha semaksimal mungkin untuk dirinya sendiri.
"Cukup belajar dan lulus dengan baik, itu udah yang terbaik. Fokus!" katanya kepada diri sendiri.
***
Membersihkan dapur dan mencuci beberapa peralatan memasak, kemudian duduk sebentar untuk beristirahat. Sarah terlihat penat, tetapi dia harus tetap semangat. Ada sebuah alasan yang membuatnya harus bertahan dengan beberapa cobaan. Namanya saja kehidupan.
Sembari menunggu Bu Naya keluar dan memintanya menemani berbelanja, Sarah mengupas beberapa bawang putih untuk memasak makan siang. Dia menyiapkan beberapa bumbu-bumbu sampai sang nyonya selesai bersiap."Ayo, Sarah. Banyak yang harus dibeli, takut waktunya enggak keburu." Begitulah ajakan ibu besar.
Sarah mengangguk, dia pamit pergi ke rumah kecilnya terlebih dahulu. Dia juga ingin membelikan Indira sesuatu. Jadi, dia perlu mengambil uang. Ketika sampai di depan rumah, dia terkejut melihat dua pria berwajah garang berdiri di depan pintu. Sarah menelan ludah, tahu betul apa yang akan terjadi setelah ini.
"Nah, ini orangnya. Cepat bayar utangmu!" kata salah satu prias sembari mendekati Sarah.
Dengan gugup, Sarah menjawab, "Maaf, Pak. Saya belum punya uang lebih. Saya janji akan membayar secepatnya, tetapi tidak sekarang."
"Alah, alasan! Cepat lunasi utang-utang suamimu. Dasar, tidak berguna. Sudah berapa tahun utang itu belum dilunasi. Kami juga perlu uang." Pria yang satunya lagi berucap.
Inilah saat-saat yang Sarah benci. Menumpuknya utang dari almarhum sang suami, membuat dia dan Indira menderita. Sarah tidak sepenuhnya menyalahkan Ayah Indira. Akan tetapi, dia merutuk kenapa dulu dia tidak bisa memahami suaminya dan suaminya tidak bercerita apa pun. Kalau saja, dulu ada kejujuran. Pasti beban di pundak Sarah sekarang sedikit berkurang.
Saat ini Sarah hanya memiliki uang pas. Ada lebih sedikit, itu untuk membelikan sepatu Indira. Kemarin dia melihat kalau sepatu putrinya sudah lusuh. Mumpung hari ini dia pergi, dia akan membelikannya. Ini hak Indira, dia tidak akan menyerahkan uang itu kepada penagih utang ini."Saya mohon, Pak. Saya tidak ada uang lebih. Ada sedikit, itu untuk biaya sekolah anak saya. Saya akan bayar secepatnya!" Sarah berusaha meyakinkan, tetapi dua pria itu tetap tidak mau mengerti.
Salah satu dari mereka malah berkata, "Oh, biaya sekolah anakmu? Yang perempuan itu? Apakah utang ayahnya bisa dibayar oleh dia? Gampang, serahkan saja anakmu kepada kami. Hidupmu akan tenang setelah ini."
Gila, batin Sarah. Mana ada ibu yang tega melepas anaknya demi melunasi utang? Kalau dia berani, dia akan membakar mulut pria yang berucap barusan.
Baru Sarah akan menjawab, seseorang datang dari belakang. "Berapa utang yang perlu dibayar? Saya yang akan bayar, beri tahu saja berapa jumlahnya." Itu suara Bu Naya. Sarah membelalak terkejut. Tidak, ini akan semakin menyulitkan Indira kalau sampai ayah Ona tahu.
"Tidak perlu, Nyonya. Saya akan sangat merepotkan Nyonya nanti. Saya mohon, tidak perlu," ujar Sarah.
"Udah miskin, sok nolak rezeki. Syukur ada yang mau bayar utang suamimu," kata pria itu, "semua utangnya ... sepuluh juta ditambah bunga dua juta."
"Oke, saya akan bayar nanti. Setelah ini, jangan ganggu keluarganya lagi atau saya lapor ke polisi."
Sarah menunduk. Dia tidak habis pikir dengan jalan yang diberikan semesta untuknya. Apa yang akan terjadi setelah ini, Sarah rasa akan menyusahkan putrinya.
***
Wah, update agak telat dari jam biasanya, hehe. Jadi, gimana kesan untuk part ini? Tulis di kolom komentar, Gaiseu!
Sampai jumpa!
With luv,
maeskapisme & NunikFitaloka
KAMU SEDANG MEMBACA
Tabula Rasa (TAMAT)
Novela JuvenilManis tak selamanya manis, pahit pun sama. Terang tak selamanya benderang, gelap pun sama, tak selamanya gulita. Suatu hubungan yang terjadi dalam sebuah kehidupan, di dalamnya tidak mungkin hanya ada kata harmonis. Pasti ada suatu persoalan yang me...