Beberapa jam lalu, Sarah menelepon Indira. Dia mengatakan kepada putrinya, bahwa dirinya sudah boleh pulang. Meski awal Indira mengatakan tunggu dia pulang saja baru pulang ke rumah, tetapi Sarah menolak.
Dia enggan lebih jauh menyusahkan anaknya itu. Sarah paham betul bahwa sang anak pasti beberapa hari ketika dirinya di rumah sakit sangat sibuk.
Sarah berjalan menyusuri koridor rumah sakit. Dia harus menunggu angkutan umum di depan rumah sakit ini.
***
Indira menarik napas panjang saat baru saja menutup telepon dari sang ibu. Dia takut keadaan ibunya belum begitu baik, tetapi mau bagaimana lagi? Dia tak bisa menjemput ibunya di rumah sakit.
Indira kembali membaca bukunya usai menyimpan gawai ke dalam saku. Kini dia tengah berada di perpustakaan. Beberapa hari ini dia begitu sibuk belajar untuk mempersiapkan tes beasiswanya. Memang ujian semester ini masih beberapa bulan, tetapi seleksi beasiswa untuk semester depan sudah begitu dekat.
Pekerjaan rumah yang biasanya menjadi pekerjaan ibunya, diambil alih sepenuhnya oleh gadis itu. Terkadang di tengah kesibukan masaknya dia menghafal berbagai rumus serta materi lainnya.
Tidak mudah memang, tetapi Indira tak boleh mengeluh. Dia harus mendapatkan beasiswa di Jewel High School hingga tamat dari SMA ini.
Sesekali Indira menutup mulut dan mengelus keningnya. Kepalanya pusing menahan kantuk. Tentu saja waktu tidur gadis itu berkurang dari biasanya.
Dia menopang kepalanya dengan tangan di atas meja. Sembari membuka lembar-lembar buku Biologi. Kantuk benar-benar menghampirinya. Diliriknya jam yang menggantung di dinding perpustakaan ini menunjukkan pukul 12.05 dan waktu istirahatnya masih tersisa sekitar sepuluh menit.
Indira tidak bisa lagi mentoleransi kantuknya. Dia bisa menggunakan sisa waktu istirahatnya untuk tidur sejenak. Diletakkannya kepala di atas lengan yang berbaring di meja, lalu perlahan matanya mulai tertutup.
Gadis itu tak sama sekali memikirkan pendapat semua siswa yang tengah mengunjungi perpustakaan ini. Toh, dia selamanya selalu bersikap bodoh amat dengan semua mata yang ditujukan penghuni sekolah ini padanya, 'kan?
Indira benar-benar terlelap.
***
Keynand baru saja dari kelas Indira, tapi tak menemukan gadis itu. Dia justru bertemu dengan Ona ketika belum jauh dari pintu kelas IPA 2.
“Tunggu.” Perkataan Ona menghentikan langkahnya yang semula ingin berlalu saja dari gadis itu.
Keynand menoleh. “Kenapa?”
“Gue mau bicara. Sebentar.” Mendengar perkataan Ona, Keynand bersedia.
“Gue tau lo lagi deket sama Indira.” Ona berbicara ketika mereka berdua duduk di bangku yang tak jauh dari kelas XI IPA 2.
Sejujurnya Keynand tak peduli orang menafsirkan kedekatannya dan Indira seperti apa, tetapi kali ini dia justru penasaran. Gadis di sampingnya saat ini melihat kedekatan mereka dari sisi apa.
“Dekat dalam artian?” tanya Keynand.
“Ya dekat ....” Ucapan Ona terhenti.
“Andaikan gue bisa dekat sama Indira layaknya lo,” lanjut gadis itu.
Keynand hanya mendengarkan saksama apa yang Ona bicarakan. Dia ingat waktu itu Ona pernah mengajaknya untuk bekerja sama supaya bisa menjadi teman Indira. Apa sampai saat ini gadis itu belum berhasil?
Ona menoleh sambil tersenyum. “Enggak tahu kenapa gue percaya banget Indira sosok teman yang langka di dunia ini. Gue terinspirasi banget sama dia sejak pengumuman kalau dia rangking paralel angkatan. Gue ngerti dia memang dapat beasiswa dan wajar dia dapat rangking paralel, cuma ya ... gue tertarik banget sama dia yang seolah menutup diri dari orang-orang atau siswa Jewel.” Ona diam sebentar sebelum kembali melanjutkan perkataannya.
“Dia di sekolah ini sendiri. Bahkan lo tau sendiri di sekolah ini kentara banget perbedaan kasta. Tapi, dia bisa berdiri tegap di antara perbedaan itu. Dia enggak tumbang dan tetap bersinar walau selalu dianggap redup. Apa lagi akhir-akhir ini gue semacam lebih tahu kehidupan Indira. Dia dekat banget tapi sulit banget buat digapai.” Ona tertawa miris mengingat betapa tebal sekat yang memisahkan mereka meski tinggal dalam satu kawasan pagar.
“Dulu gue juga gitu, tapi bedanya gue lebih cepat buat dekat sama dia. Lo juga bisa. Pasti.” Keynand menanggapi.
Ona mengangguk beberapa kali sampai akhirnya dia tersenyum manis sembari menatap cowok itu. “Gue minta bantuan lo, ya?”
Keynand menaikkan alisnya sebelah.
“Gue bisa dapat informasi dia dari lo. Kalau perlu lo bisalah bujuk dia buat mau temenan sama gue? Bisa, kan?” Ona menatap Keynand penuh harap.
“Bisa-bisa aja. Gue coba dulu. Hasilnya kita lihat sama-sama,” jawab Keynand.
“Yes! Ada harapan, mumpung masih tinggal bareng,” gumam Ona antusias.
“Apa?” tanya Keynand yang tidak begitu mendengar jelas perkataan Ona barusan.
Ona menoleh canggung. Meneguk saliva sekali, kemudian dia menggeleng dan tersenyum kaku. Dia baru saja keceplosan bahwa Indira berada di rumahnya. Bagaimana pun dia tak akan memberi tahu hal ini kepada siapa pun. Mungkin saja Indira akan keberatan dan justru tambah menjauhinya, 'kan?
***
Keynand belum lama tak bersama Indira di sekolah ini, tapi seolah dia sudah begitu lama tak bersekolah menjumpai Indira. Sampai dia lupa bahwa tempat ternyaman Indira adalah perpustakaan.
Dia bergegas menyusul ke sana. Gara-gara Ona yang mengajaknya berbincang waktu istirahat tinggal lima menit lagi dan itu artinya wakti dirinya bersama Indira akan begitu sebentar.
Begitu memasuki perpustakaan dia menyusuri setiap celah yang menjadi pemisah antara rak buku mencari keberadaan gadis itu.
Namun, begitu sampai di dekat rak buku nomor tiga dia bisa melihat seorang perempuan tertidur di meja seberang sana. Ada sua siswa juga, tetapi lumayan jauh dari bangku Indira.
Keynand urung menyusuri semua celah pemisah rak buku dan justru menghampiri Indira. Dia menarik kursi di samping Indira lalu duduk sambil menopang dagu, memandangi wajah Indira yang tertidur.
Senyuman terukir di wajah lelaki itu. Mengapa dia begitu bahagia hanya dengan melihat wajah gadis ini?
Diliriknya buku yang masih setia di di genggaman Indira. Rupanya gadis itu tengah belajar Biologi. Keynand paham betapa Indira berjuang untuk beasiswa ini.
Diambilnya buku Biologi tersebut kemudian menggaris bawahi dengan pensil bagian-bagian materi yang penting, yang sekiranya dimasukkan di tes beasiswa nanti.
Keynand tidak tahu mengapa dia melakukan ini. Dia hanya berpikir jika dia sudah mencarikan pokok-pokok penting dari materi ini, Indira tidak akan repot membaca semua materi ini secara keseluruhan.
Belum lama bel masuk berbunyi diikuti dengan pengumuman bahwa semua siswa akan dipulangkan cepat karena dewan guru akan berkunjungan ke salah satu rumah guru yang terkena musibah.
Keynand tersenyum puas karena itu berarti Indira tak perlu bangun dari tidurnya dulu. Diambilnya ponsel di saku celana kemudian menelepon Anand untuk mengambilkan tasnya juga tas Indira dan dibawakan ke perpustakaan.
Lalu, Keynand kembali menggaris bawahi materi Biologi itu.
***
Indira menggeser kepalanya sedikit, tetapi matanya belum juga membuka. Beberapa kali mengedipkan mata untuk mengumpulkan kesadarannya lalu dia mengubah posisinya menjadi duduk tegap.
Dibenarkan rambutnya yang sebelah kanan kemudian menoleh ke kiri dan betapa terkejutnya dia melihat Keynand sudah duduk di sana sambil menopang dagu serta senyuman khas pria itu.
Indira pikir ini mimpi membuat beberapa kali dia mengusap matanya.
“Bukan mimpi atau khayalan, kok.” Suara Keynand barusan membuat Indira benar meyakini bahwa ini memang bukanlah mimpi.
“Lo, kok, bisa di sini?” tanyanya.
“Karena gue sekolah di sini.”
Indira mengerutkan keningnya. Namun, tak ambil pusing atas jawaban cowok itu. Dia melihat buku biologinya yang sudah tertutup. Kemudian baru menampilkan ekspresi baru sadar akan sesuatu.
Dilihatnya jam di dinding sudah menunjukkan pukul 12.40 itu artinya dia sudah terlambat masuk kelas. “Astaga. Mampus gue,” lirihnya.
Dengan cepat dia mengambil buku lalu berdiri.
“Lo mau ke mana, sih?” tanya Keynand ikut berdiri.
“Gue ada kelas,” jawab Indira langsung saja berlari meninggalkan Keynand yang terkekeh di bangku.
Berikutnya, Keynand menyusul Indira sembari membawa tas gadis itu.
***
Indira menambah keterkejutannya ketika melihat kelasnya sudah sepi menyisakan bangku-bangku kosong.
Dia menuju bangkunya untuk mencari tasnya. Dia baru menyadari bahwa sepanjang koridor memang tak melewati siswa satu pun. Apa sudah pulang?
Belum lama Keynand sampai di ambang pintu dan Indira menoleh, tasnya bersama cowok itu. Indira langsung saja menghampiri Keynand.
“Kok, bisa sama lo?” Indira kembali bertanya.
Keynand lagi-lagi terkekeh. “Gue yang bawa tadi karena hari ini pulang cepat.”
Indira akhirnya mengangguk paham. “Coba aja lo bilang dari perpus tadi, jadi gue enggak perlu lari. Capek banget.”
Keynand segera menjawab, “Gimana mau kasih tau lo langsung pergi gitu aja.”
Indira kembali mengingat dan memang benar adanya perkataan Keynand. “Iya, sih. Ya udah, makasih, ya.”
Keynand mengangguk. “Gue antar pulang?”
Indira menggeleng. “Enggak usah. Gue bisa sendiri, kok.”
“Oke,” jawab Keynand.
Indira akhirnya berjalan duluan, tetapi dicegah oleh Keynand yang menautkan tangannya ke tangan milik Indira.
Spontan gadis itu menoleh ke tangannya yang digenggam cowok itu, kemudian menatap Keynand yang besejajar di sampingnya saat ini.
Keynand membalas tatapan Indira. “Jalan barengan aja sampai parkiran.”
Indira masih dalam keterpakuannya hanya ikut berjalan. Digenggam begini membuat ada yang berbeda dari perasaannya. Sekilas dia tersenyum melihat dari samping ke arah Keynand. Sejak kapan jantungnya berdebar lebih cepat jika sedekat ini dengan Keynand?
Sementara perasaan aneh yang dirasakan Indira dua orang yang tak diketahui tengah mengawasi mereka bahkan hingga Indira tiba di rumah Pak Marva. Senyum licik dua orang itu terbit di wajah masing-masing begitu melihat Indira memasuki gerbang rumah Pak Marva.***
Sweet banget si Keynand. Jadi, pengin karungin dan bawa pulang, tapi takut disemprot sama Indira:(
Guys! Jangan lupa tinggalin jejak dan sampai jumpa!
With luv,
maeskapisme & NunikFitaloka
KAMU SEDANG MEMBACA
Tabula Rasa (TAMAT)
Teen FictionManis tak selamanya manis, pahit pun sama. Terang tak selamanya benderang, gelap pun sama, tak selamanya gulita. Suatu hubungan yang terjadi dalam sebuah kehidupan, di dalamnya tidak mungkin hanya ada kata harmonis. Pasti ada suatu persoalan yang me...