Episode 26

32 9 0
                                        

Melawan terik matahari, Indira berjalan berdampingan dengan debu. Sudah setengah jam dia berada di jalan, masuk dari toko satu ke toko lain untuk mencari pekerjaan. Mau tidak mau dia harus melakukan ini. Kalau hanya mengandalkan job badut, itu tidak banyak membantu. Biaya sekolah Indira besar. Jadi, dia akan mencari pekerjaan tambahan. Tentu Sarah sudah tahu dan dengan bujukan Indira, dia memberikan izin.

Toko baju, toko kue, toko mainan, beberapa sudah Indira masuki. Dia bertanya, tetapi tidak ada lowongan kerja di sana. Indira mengelap keringat di dahi dengan punggung tangan. Ingin menyerah, tetapi rasanya belum pantas. Pasalnya baru sebentar berjalan.

Indira menghela napas. Di seberang jalan ada beberapa kafe. Dia hendak ke sana, tetapi ragu sekaligus penasaran ada lowongan pekerjaan atau tidak. Akan tetapi, sedetik kemudian rasa ragu itu ditendang jauh-jauh. Kalau dia tidak bertanya ke sana, dia tidak bisa menuntaskan rasa penasarannya.

Lampu lalu lintas masih berwarna hijau dan dua detik lagi berganti merah. Ketika kendaraan berhenti, Indira menyeberang. Dia berhenti di sebentar, melihat ada dua kafe yang tidak begitu mewah, tetapi terlihat indah di depannya.

“Kanan atau kiri?” tanyanya kepada diri sendiri. “Kanan dulu, deh.”

Kemudian, dia menuju bangunan bercat putih. Indira mendorong pintu, di dalam hanya ada tiga orang pelanggan. Dengan segera, dia menuju ke penjaga toko dan lekas bertanya.

“Ada yang bisa saya bantu?”

***

Di rumah besar ini, Ona merasakan kehangatan yang hampir sama dengan di rumahnya sendiri. Keluarga Keynand adalah orang baik. Buktinya Ona disambut dengan hangat ketika tiba di sana. Bahkan, mama Keynand tak segan mengajaknya menyiapkan makan untuk sang putra.

Sekarang Ona tengah berada di ruang tamu sembari menunggu Keynand makan. Sejak lima belas menit yang lalu, lelaki itu belum juga menghabiskan makanan. Pasalnya, Keynand makan sembari memainkan ponsel.

“Harus berapa lama lagi gue nunggu lo makan?” Ona tampak jengah, akhirnya dia bersuara.

Keynand mengangkat wajah, kemudian terkekeh. “Sorry, game-nya seru. Gue enggak boleh mati di level ini,” jawabnya, “Nah, udah selesai.”

Embusan napas kesal diberikan Ona. Kemudian, dia membuka ponselnya sendiri. Tak berselang lama, Keynand sudah selesai makan dan mereka akan memulai pembicaraan.

“Indira enggak curiga sama lo pas lo bilang kalau gue udah stadium lima?” Keynand bertanya kepada Ona, sedangkan Ona menyimak baik-baik pertanyaan dari lelaki itu.

Gelengan diberi oleh Ona, kemudian berkata, “Dia cuma agak kaget. Tapi gue yakin dia kaget banget. Saat lihat ekspresinya, gue pengin peluk dia. Pengin bilang kalau semua bakal baik-baik aja. Sayangnya Cuma jadi keinginan gue aja, sih. Dia aja enggak mau ngomong banyak sama gue.” Perkataan Ona disertai kekehan sumbang. Lantas dia meminum jus jeruk yang tadi dibuatkan oleh mama Keynand.

Keynand mengangguk-angguk paham. “Gue bingung kenapa dia segitunya sama lo. Lo tenang aja, gue masih mau bantu lo, kok.” Lelaki itu berusaha menenangkan Ona. “Gue kadang juga ragu, dia sebenarnya suka sama gue atau enggak.”

“Dih. Ya, lo tanya aja,” sahut Ona. Sepertinya dia heran dengan Keynand.

Seperti biasa, Keynand tertawa. “Di satu sisi gue pengin tau jawaban dari Indira, tapi gue takut. Di sisi lain gue juga enggak mau mati penasaran.”

Sontak Ona memukul lengan Keynand dengan majalah fashion yang ada di meja. “Mulut lo jelek banget ngomongnya!”

“Kenyataan, enggak usah dielak.”

Setelah itu, ada suasana hening untuk beberapa saat. Ona yang masih berpikir tentang bagaimana cara berteman dengan Indira. Sedangkan Keynand juga berpikir akan hal yang sama. Namun, dia juga berpikir tentang perasaannya kepada Indira. Apakah gadis itu mempunyai rasa yang sama?

“Na, gue bakal bantu lo deket sama Indira sebisa mungkin. Kalau suatu saat gue udah enggak ada, lo orang baik yang bakal ada di saat Indira sedih maupun senang.”

***

Hari sudah berganti. Matahari menggantikan tugas bulan kali ini. Sinarnya memberi hangat kepada siapa saja, hingga dia merasa bersemangat. Seperti lelaki di depan cermin itu.

Nyatanya sakit parah tidak membuat senyumnya luntur, hanya wajah pucat yang mendominasi. Dia berdiri di depan cermin, berulang kali menata rambut supaya rapi. Tak lupa dia mengecek ponsel satu sampai dua atau bahkan tiga kali.

“Mau cuci darah aja dandannya lama. Gimana kalau nge-date?” Seseorang berceletuk di depan pintu. Keynand menoleh dengan sedikit terkejut.

Mengetahui siapa yang ada di sana, dia tersenyum. “Hehe, enggak apa-apa kali, Ma. Siapa tau dokter cantiknya kecantol sama Key.”

Setelah mengatakan itu, Keynand mendapat jeweran ringan dari sang mama. Dia meringis, berpura-pura sakit karena aslinya tidak terasa. Keynand meminta ampun, barulah jeweran itu terlepas.

“Dokter cantik, dokter cantik. Itu si siapa? In … yang kamu ceritain ke Mama tempo hari itu, lho. Siapa, sih, Key?” Bu Anit terlihat kesusahan mengingat nama seorang gadis yang pernah diceritakan putranya.

Malu-malu Keynand tersenyum. Ya, dia menceritakan semua kepada mama dan papanya kalau dia mengenal seseorang yang telah membuatnya jatuh hati. Awalnya Keynand takut kalau orang tuanya akan marah. Namun, ternyata tidak. Mereka malah menertawakan Keynand. Setelah sekian lama, ternyata putra mereka bisa jatuh cinta juga.

“Kak Indira, Ma.” Nimi muncul dari belakang Bu Anit. Anak perempuan itu mengejek kakaknya yang tengah tersipu.

“Ah, iya. Indira … jadi, kapan kamu mau bawa dia ketemu Mama? Mama penasaran, deh. Mama yakin dia cantik. Tapi Mama heran, dia kenapa bisa mau sama kamu?” Baik Bu Anit dan Nimi tertawa setelah itu.

Keynand pura-pura cemberut karena tahu ini lelucon. Di dalam hati dia sangat senang karena bisa melihat senyum keluarganya sekarang. Keynand tidak tahu kapan lagi dia bisa merasakan ini semua. Yang jelas, sekarang dia bahagia. Andai dia bisa menghentikan waktu ketika orang yang dia sayangi tersenyum. Hanya andai.

“Ma, Key, Nimi! Ini Nak Ona udah datang, Keynand suruh siap-siap cepat!”

Teriakan dari Pak Himzan menghentikan kegiatan mereka. Waktunya Keynand melakukan rutinitasnya untuk bertahan hidup, meski tidak tahu sampai kapan waktunya untuk bertahan.

Pelan-pelan Keynand berjalan menuruni tangga. Dia tersenyum melihat Ona yang sudah siap mengantarnya untuk cuci darah. Andai saja dia bisa membawa Indira, pasti akan merasa tenang. Namun, Keynand tidak mau membuat Indira khawatir ketika menemaninya berobat.

“Maaf, gara-gara gue lo jadi sering bolos,” ucap Keynand ketika sudah berada di dalam mobil bersama Ona.

“Santai aja kali. Anggap aja ini balasan gue atas semua bantuan lo nanti,” balas Ona, “tapi gue enggak enak sama Indira. Harusnya dia yang nemenin lo di sini.”

Keynand menggeleng. Dia menatap lurus ke depan. “Gue enggak mau dia khawatir.”

***

Udah berapa lama, ya, enggak update? Semoga masih ada yang mau baca, hehe.

Jangan lupa tinggalin jejak, ya. Sampai jumpa!  💙

Tabula Rasa (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang