Kafe baru dekat Jewel High School belum ramai pengunjung. Oleh karena itu, Keynand mengajak Indira datang ke sana. Cukup sulit Keynand membujuk Indira, tetapi akhirnya gadis itu mau juga. Sekarang mereka berdua saling diam di sana.
Keynand tidak suka sepi jika bersama dengan Indira. Dia diam untuk memikirkan topik apa yang akan dibicarakan sambil menunggu Ona. Ayolah, biasanya Keynand tidak pernah kehabisan bahan obrolan. Kenapa kali ini bersama Indira dia bingung hendak berbicara apa?
Lelaki itu baru ingat sesuatu. Dia baru akan bertanya, tetapi Indira terlebih dahulu bersuara. “Sebenarnya kita ke sini mau ngapain, sih, Key?” tanyanya.
Mulut Keynand yang semula terkatup, akan terbuka. Namun, dia berpikir ulang. Apakah dia akan mengatakan kalau Keynand mengajak Ona ke sini juga? Tidak, tidak. Bisa-bisa Indira kabur sebelum Ona datang.
“Enggak apa-apa, gue lagi pengin ditemenin sama lo. Lo masih keberatan, ya?” balas Keynand.
Indira menghela napas. Dia sebenarnya tidak keberatan, tetapi … waktu tes beasiswa tinggal beberapa hari lagi. Indira teramat perlu persiapan yang matang dan sekarang malah waktunya terbuang. Akan tetapi, hatinya juga tidak bisa untuk tidak mengiakan permintaan Keynand meski otaknya menolak keras.
Seakan tahu apa yang Indira pikirkan, Keynand menggenggam tangan Indira. “Maaf, tapi gue mohon untuk kali ini aja. Selepas ini, gue enggak bakal sering ganggu waktu lo buat belajar. Tinggal sebentar lagi, ‘kan, tes itu?” Keynand menatap Indira teduh. Dia menyalurkan kehangatan dan kekuatan dari genggamannya.
Tatapan dan rasa ini membuat Indira nyaman. Dia tersenyum dan mengangguk. Diam-diam dia berdoa supaya waktu bersama Keynand bisa lebih lama, atau kalau boleh selamanya. Hanya Keynand yang bisa menerimanya; menjadi teman tanpa syarat dan ketentuan. Itu yang dipikirkan Indira saat ini, belum tahu ke depannya seperti apa. Yang jelas, dia hanya mau menikmati yang sekarang. Nanti, ya, nanti.
Tak jauh berbeda dari Indira. Keynand juga menyelipkan harapan supaya waktu di dunia bisa lebih lama. Kalau boleh menawar, Keynand belum siap tidur panjang dalam waktu dekat. Dia masih ingin melihat senyum mama, papa, adik, sahabat, dan Indira. Dia juga masih ingin bermain basket dan game bersama teman satu timnya. Akan tetapi, sesuatu yang sudah ditetapkan sejak dia belum lahir, apakah bisa ditawar?
Keduanya tersadar ketika salah satu waiters mengantarkan pesanan mereka. Indira tampak canggung, begitu juga dengan Keynand. Namun, bukan Keynand namanya kalau bertahan lama dengan kata salting.
“Ekhem.” Dia berdeham. “Lo mikirin gue, ya, pas diem tadi? Ngaku aja, In.” Keynand berucap dengan kepercayaan diri yang seperti biasa, tinggi.
Mata Indira bergerak ke sana dan ke sini tak nyaman. Bagaimana Keynand bisa tahu? Pipi Indira panas, dia malu sendiri. “E-enggak. Ada-ada aja lo.” Keynand terkekeh mendengar itu. “Jadi, sampai kapan kita bakal di sini?” tanya Indira berusaha mengalihkan arah pembicaraan.
Melirik arloji di tangan sekilas, Keynand menggeleng. Sudah cukup lama, kenapa Ona belum datang juga? Dia bertanya dalam hati.
“Bentar lagi, deh. Janji enggak sampai sore, kok,” jawab Keynand diangguki Indira. “Oh iya, In. Ibumu gimana keadaannya?”
“Udah baikan, kok. Tapi, ya, gitu … masih perlu banyak istirahat. Jadi, gue juga sibuk ganti kerjaan ibu. Gue enggak mau ibu sakit lagi karena beliau satu-satunya yang gue punya.” Indira menerawang ke depan, sambil tersenyum. “Gue tau ibu kerap kali nangis di tengah malam. Ibu berusaha nangis diam-diam, tapi percuma. Gue tau semua. Mungkin, gue adalah alasan satu-satunya untuk ibu bertahan. Kalau gitu, sama. Ibu adalah satu-satunya alasan buat gue bertahan. Bertahan dari semua, termasuk beasiswa nanti.”
Keynand mengangguk, dia semakin kagum dengan Indira. Namun, dia masih belum tahu sepenuhnya. Sebenarnya, apa yang membuat Indira harus melakukan ini? Juga … sebenarnya ibu Indira kerja apa? Rasanya Keynand ingin menanyakan hal itu. Akan tetapi, seseorang datang dan menunda banyak tanya di kepala Keynand tentang Indira.
Ona ada di belakang Indira, berbicara dengan isyarat tangan. Telunjuk Ona menempel di bibir, menandakan kalau Keynand harus diam. Diam-diam, Ona menutup mata Indira dengan kedua tangan, sehingga membuat Indira terkejut.
“Lo siapa?” Indira meraba tangan di atas matanya.
“Coba tebak siapa dia, In,” perintah Keynand.
“Siapa, sih? Enggak usah buang waktu, deh, cepet singkirin tangan lo!” ujar Indira dan pandangannya perlahan kembali, tetapi masih kabur-kabur.
Indira mengucek matanya, kemudian menoleh. Dia cukup terkejut melihat Ona tersenyum lebar kepadanya. Lantas, Indira menatap Keynand penuh tanya. Kenapa Ona bisa di sini?
“Biar kalian lebih deket aja, sih, In. Ona baik, enggak masalah juga kalau dia jadi temen lo.” Keynand berdiri dan menggeserkan kursi untuk Ona. Kemudian, gadis itu duduk di sana.
“Maaf, nunggu lama. Tadi cukup macet soalnya,” ujar Ona.
Tanpa sadar, tangan Indira mengepal di bawah meja. Dia tidak suka dengan ini semua. Bagaimana kalau Pak Marva tahu dia di sini bersama Ona? Bisa-bisa ibunya terkena marah oleh Pak Marva lagi. Indira benci itu, dia tidak suka direndahkan, meski keluarganya tidak setinggi Ona.
“Dari tadi ternyata cuma nungguin dia?” Sekali lagi Indira menuntut jawab kepada Keynand. Lelaki itu mengangguk. “Lo tau waktu gue terbuang sia-sia? Ditambah ada dia … gue rasa cukup di sini pertemuan kita. Ada banyak hal yang perlu gue lakuin dan lo berdua udah buang waktu gue,” lanjutnya.
Indira berdiri. “Gue pergi.”
Akan tetapi, belum banyak langkah yang Indira ambil dia kembali berhenti karena Keynand mengadangnya. “Gue mohon jangan pergi dulu untuk kali ini. Gue cuma pengin kalian berteman baik, ini salah satu jalannya,” jelas Keynand.
Decakan keluar dari mulut Indira. “Alasan lo ngelakuin ini apa? Lo disuruh Ona?” Indira menunjuk Ona yang dari tadi diam.
Sekarang, Keynand juga ikut diam. Ona tidak bersalah di sini, dia yang meminta Ona datang, meskipun kemarin Ona meminta bantuan untuk bisa berteman dengan Indira.
“Enggak, In. Jangan salahin Ona, ini semua rencana gue. Please, jangan pergi dulu. Ona orang baik, lo enggak sepantasnya juga tolak dia jadi temen lo.” Begitu penjelasan dari Keynand.
Entah kenapa, kali ini Indira sedikit kecewa dengan Keynand. Dia tidak menyalahkan Keynand sepenuhnya karena lelaki itu juga tidak tahu kenapa dia tidak ingin dekat dengan Ona. Akan tetapi, Indira pikir Keynand sejauh ini telah mengambil keputusan sepihak.
“Lo enggak tau, Key. Lo enggak tau apa pun soal gue sama Ona. Jadi, gue juga minta tolong sama lo, jangan pernah minta gue buat temenan sama gue lagi.” Indira menangkupkan tangan di depan dada, dengan ujung mata yang basah.
Melihat ini, rasa serbasalah muncul di hati Keynand. Apakah tindakannya ini salah? Kenapa Indira sangat menolak?
“In,” panggil Ona, “gue salah apa sampai lo enggak mau berteman sama gue?” Akhirnya Ona berani bertanya itu lagi. Dia ikut berdiri.
Senyum kecut diberikan Indira kepada Ona. “Rupanya lo enggak sadar juga. Selama ini lo ngapain? Otak lo enggak kerja juga, ya?”
Baik Keynand maupun Ona sama-sama tersentak. Baru kali ini Keynand melihat Indira berbicara dengan nada dan kata seperti itu. Di samping Keynand, Ona menunduk. Dia hanya ingin berteman, apa salahnya?
Merasa Indira keterlaluan, padahal hanya masalah sepele---menurut Keynand---dia menggenggam tangan Ona. Dia tahu betul bagaimana perasaan Ona. Sayangnya, Keynand tidak terlalu pandai memahami dua perasaan sekaligus. Di sisi lain Indira yang kecewa bertambah kecewa melihat apa yang terjadi di depannya. Parahnya Keynand tidak sadar itu.
“Gue pikir lo udah keterlaluan, In,” ucap Keynand, “Cuma masalah kayak gini, kenapa lo berkata kasar ke Ona?”
Mendengar pertanyaan Keynand, Indira tertawa sumbang. “Gue pikir lo juga keterlaluan, Key. Di sini lo enggak tau apa pun tentang gue sama Ona. Tanpa izin gue, lo berusaha deketin gue sama Ona?”
“Tapi niat gue baik. Gue juga enggak bakal salah ngenalin orang,” sangkal Keynand.
“Benar, lo enggak salah. Ona baik, gue tau. Tapi di balik ini, lo enggak tau apa yang terjadi. Lo enggak tau apa yang bakal dialamin gue, ibu, dan masa depan gue. Lo Cuma temen gue, jangan bertindak lebih, Key,” pinta Indira. Dia kembali memohon.
“Jadi, Cuma temen?” Sangat lirih Keynand bertanya, tetapi Ona mendengar itu.
Ona menarik napas, ini salahnya. Seharusnya dia tidak meminta Keynand melakukan hal ini karena bisa menggangu hubungan Keynand dan Indira. “Oke, cukup. Kalian enggak perlu bertengkar lagi. Gue minta maaf, gue emang bener pengin berteman sama lo, In. Kalau lo emang enggak mau … ya, udah. Gue enggak bakal maksa lagi. Jangan marah sama Keynand, gue minta maaf.”
Lagi dan lagi Indira tersenyum miris. Dia mengatakan ini sebelum pergi, “Lo tau, itu basi.” Setelah itu, dia keluar dari kafe.
Ona hanya bisa tersenyum, meski hatinya sakit. Sedangkan Keynand, lelaki itu di ambang kebingungan. “Maaf dan makasih, ya, Key. Gue juga pulang dulu.”
Melihat dua orang keluar dari kafe, Keynand semakin bingung. Dia … harus menyusul Indira atau Ona? Sangat ingin mengejar Indira, tetapi Keynand tidak ingin membuat Ona merasa bersalah di sini. Akhirnya, dia pergi untuk menemui Ona. Setidaknya dia tidak akan membiarkan Ona menyerah begitu saja.
***
Tinggal dua hari menuju tes beasiswa. Indira semakin waswas. Malam ini, dia belajar sampai tengah malam. Dia menghafal segala bentuk rumus dan nama-nama latin. Tak lupa, dia mengasah skill speaking berbahasa Inggris dan menambah beberapa kosa kata baru.
Sabtu adalah hari yang Indira nanti. Dia akan bersungguh-sungguh, tidak akan melewatkan kesempatan emas ini. Indira sudah berjanji demi ibunya untuk menyabet beasiswa lagi. Tak henti-henti Indira merapal doa di sela-sela belajar.
Ponsel di sebelah Indira berbunyi satu kali. Dia melirik, ada pesan masuk dan itu dari Keynand. Kecewa masih mengelilinginya, sehingga dia tidak membuka pesan tersebut. Kejadian beberapa hari yang lalu masih membuat Indira enggan mengingat Keynand. Dia juga tidak bertegur sapa di sekolah. Lelaki itu tidak tahu apa pun, tetapi tetap saja Indira tidak suka.
Di tempat lain, ada Keynand yang menatap ponsel dengan tatapan sayu. Dia menunggu Indira membuka atau membalas pesannya. Namun, sampai tengah malam pun gadis itu belum juga membalas, meski terkadang Keynand melihat tulisan online.
Keynand jadi berpikir, apa kesalahannya sangat fatal? Hanya mengenalkan Ona kepada Indira, kenapa Indira sebegitu menolaknya? Keynand tidak tahu. Di benak lelaki itu hanya ada kebaikan mungkin. Dia bahkan masih memberi semangat kepada Ona untuk bisa berteman dengan Indira. Tentu ada rencana lain yang Keynand siapkan.
Malam ini sepertinya Keynand habiskan untuk berpikir. Dia juga merasa aneh dengan ucapan Indira waktu itu. Kenapa dengan ibu dan mimpi-mimpinya jika dia berteman dengan Ona? Ona orang baik, seharusnya itu tidak berpengaruh buruk. Namun, Keynand tetap saja penasaran. Pasti ada alasan lain kenapa Indira berucap seperti itu. Tentu saja alasannya tidak diketahui oleh Keynand.
Ponsel di tangan Keynand terjatuh begitu saja. Dia memegangi dada dan bergantian dengan perut sebelah kirinya. Sakit, tidak seperti biasanya. Senyum tipis terukir, apakah memang benar-benar tinggal sebentar?***
Hey, update! Ayo, share cerita ini dan series yang lain ke temen-temen kalian. 🤗
Jangan lupa tinggalin jejak dan sampai jumpa!
With luv,
maeskapisme & NunikFitaloka
KAMU SEDANG MEMBACA
Tabula Rasa (TAMAT)
Teen FictionManis tak selamanya manis, pahit pun sama. Terang tak selamanya benderang, gelap pun sama, tak selamanya gulita. Suatu hubungan yang terjadi dalam sebuah kehidupan, di dalamnya tidak mungkin hanya ada kata harmonis. Pasti ada suatu persoalan yang me...