"Buka mata, pasang telinga, dan dengarkan aba-aba. Satu, dua, dan di hitungan ke tiga, kamu harus siap untuk segera berlari meraih cita."
***
Beruntung hari ini hari Minggu. Indira punya banyak waktu untuk menunggu sang ibu. Namun, sebelum dia di rumah sakit sepanjang hari, dia harus pulang terlebih dahulu. Menyiapkan makanan di rumah Ona, membersihkan rumah itu, dan mengambil pakaian untuk dibawa ke rumah sakit.
Dengan berat hati, Indira pergi. Di satu sisi ingin berada di samping Sarah, tetapi di sisi lain dia juga tidak mau keluarga kecilnya diiinjak harga diri oleh Pak Marva. Gadis itu segera turun dari angkot ketika sudah sampai di depan gang rumah Ona.
Buru-buru dia kembali ke rumah kecil itu. Mandi, sarapan dengan telur, kemudian memasukkan beberapa pakaian ibu ke dalam tas. Setelah itu, barulah dia pergi ke rumah Ona.
Jam baru menunjukkan pukul 06.15. Pikir Indira, ini sudah terlalu siang untuk memasak di keluarga ini. Dia mulai dari memasak nasi, kemudian membuatkan lauk sekenanya. Setelah urusan dapur selesai, Indira segera membersihkan rumah itu.
“Ibu lo sakit, pasti butuh ditemenin. Biar gue yang nyapu, lo ke rumah sakit aja.” Suara seseorang dari belakang, membuat Indira tidak menghentikan aktivitasnya. Daripada menanggapi, dia lebih ingin segera menyelesaikan pekerjaan.
Merasa diabaikan, Ona merebut sapu dari Indira. Decakan keluar dari Indira, dia menatap Ona lekat. “Tolong balikin sapunya. Lo mau gue nunggu ibu, ‘kan? Maka dari itu, kembaliin biar gue cepet selesai,” ujar Indira.
Melihat raut tak bersahabat dari Indira, Ona mengembalikan sapu tersebut. Dia sangat ingin membantu, tetapi Indira tidak mau. Ona jadi serbabingung.
“Ona, ayo sarapan! Biar Indira selesaikan pekerjaannya. Itu tugasnya, kamu hanya perlu menikmati yang ada.” Begitu kata Pak Marva yang baru saja turun dari tangga.
Ona menghela napas kesal. Perkataan-perkataan dari sang ayah, dia pikir itu yang membuatnya jauh dari Indira. Namun, ingin membantah juga tidak ada gunanya. Yang Ona inginkan hanya bisa berteman dengan Indira. Ayah tidak akan mendengarkan.
Di samping Ona yang tengah bergelut dengan pikiran, Indira mengusap keringat. Sedikit lagi selesai dan dia bisa cepat pergi ke rumah sakit. Tinggal teras yang belum disapu, dia harus semangat.
***
Di tempat lain tepatnya rumah sakit, dua orang lelaki berada di sebuah ruang. Satu orang berada di kursi roda dan satu orang lagi tengah merapikan beberapa peralatan.
“Mereka udah nunggu di rumah ternyata. Pantes enggak ke sini,” ucap Keynand seraya membaca pesan dari ponselnya.
Noval tengah membantu Keynand yang akan kembali ke rumah. Di hari Minggu begini, orang tua Keynand sering mendapat panggilan mendadak tentang pekerjaan. Barusan papanya dipanggil untuk rapat besok ke Jawa Timur dan mamanya harus menemani sang papa. Untung Keynand punya teman yang baik. Orang tua Keynand menitipkan anaknya kepada teman-teman Keynand.
Seperti Noval saat ini dan beberapa temannya yang menemani Nimi dan menunggu Keynand di rumah. Mereka seperti keluarga karena sudah lama bersama.
“Pulang sekarang, Key?” tanya Noval sembari membawa tas yang berisi pakaian Keynand.
Keynand terlihat berpikir. Dia punya rencana ingin menjenguk ibu Indira. Sepertinya ini waktu yang pas mumpung dia belum kembali ke rumah.
Gelengan diberikan oleh Keynand. “Enggak dulu, kita perlu jenguk seseorang. Anterin gue, ya?”
“Hm. Gue taruh tas lo di mobil dulu.”
Setelah menjawab Keynand, Noval keluar untuk meletakkan barang-barang Keynand. Tidak lama, hanya butuh beberapa menit saja dia sudah kembali.
Kursi roda yang ditumpangi Keynand didorong oleh Noval. Sembari berjalan, Keynand mengingat-ingat di depan ruang apa dia dan Indira bertemu. Keynand berharap dia bisa memberi semangat kepada gadis itu. Dia juga ingin melihat senyum Indira, meski ini hari Minggu.
Noval berhenti. “Bener ini ruangnya, Key?” tanyanya, “Siapa yang sakit?”
Mungkin Noval heran, tentang siapa yang ingin dijenguk Keynand di sini. Pasalnya, jika kerabat seperti tidak mungkin. Dapat dilihat, bukan, dari kelas ruangannya? Jelas, ini bukan ruang yang bisa dibilang bagus.
“Lo udah tau Indira? Ibunya sakit, sekarang di sini. Gue pengin ketemu,” jawab Keynand.
Semakin tidak paham, Noval memperdalam kerutan di dahi. Jadi, ibunya Indira? Tapi, kenapa di sini? Sebenarnya Indira itu siapa? Sepertinya Noval cukup peka dengan keadaan. Dengan waktu singkat, otaknya mampu menggabung-gabungkan beberapa kemungkinan tentang Indira.
Ah, tetapi apa gunanya memikirkan semua? Noval kembali mendorong kursi roda Keynand ke dalam ruangan. Awalnya Keynand bingung yang mana ibu Indira, karena di sini tidak hanya ditempati satu orang. Namun, setelah bertanya kepada salah satu suster yang lewat---dengan menyebutkan ciri-ciri Indira---Keynand berhasil menemukan.
Dari balik tirai yang sedikit terbuka, mereka berdua melihat seorang wanita duduk di brankar sedang memakan semangkuk bubur. Dengan jelas Keynand bisa melihat kalau ibu itu sangat kelelahan. Tak hanya dia, Noval pun sama. Berbagai pertanyaan muncul, tetapi tidak begitu dipikirkan sekarang.
Menarik napas, kemudian Keynand berkata, “Permisi, Bu.”
Mendengar seperti ada yang memanggil, Sarah mengalihkan perhatian. Tidak jauh dari tempatnya ada dua orang pemuda yang tidak dikenali. Dia meletakkan bubur, kemudian membalas sapaan Keynand.
“Silakan masuk, Nak. Ada yang bisa saya bantu?” tanya Sarah.
“Oh, enggak, Bu. Perkenalkan, saya Keynand dan ini teman saya … Noval. Kami teman Indira. Semalam saya lihat Indira di luar dan katanya ibunya sakit. Jadi, saya mau jenguk bentar.” Keynand menjeda ucapannya. “Tapi, saya enggak bawa oleh-oleh, Bu. Maaf sekali.”
Setelah mengucap kata “oh”, Sarah terkekeh. Sedikit bagian dari hatinya merasa senang. Iya, dia senang karena tahu kalau putrinya punya teman di sekolah. Indira jarang menceritakan tentang teman-teman di sekolah. Cerita sekolahnya hanya tentang nilai bagus yang didapat. Selebihnya Sarah tidak pernah mendengar putrinya bercerita.
“Enggak apa, Nak Keynand. Ibu malah yang mau berterima kasih sama kalian, udah repot-repot jenguk segala. Tapi maaf, ya, Indira-nya lagi pulang. Jadi, Cuma ada saya di sini.”
“Bukan masalah besar, Bu. Toh, saya mau jenguk Ibu, bukan Indira. Hehe.”
Kalimat yang diucapkan Keynand membuat Noval mengerling malas. Tadi saja sangat bersemangat ingin bertemu Indira. Giliran bertemu dengan ibunya, yang diucapkan beda lagi. Dasar, Keynand.
“Ibu senang kalau Indira punya teman. Dia enggak pernah cerita sama Ibu soalnya,” ungkap Sarah. Dia menyendok bubur di mangkuk.
Cukup mengejutkan. Keynand tidak menyangka kalau Indira juga sependiam itu di rumah. Dia jadi semakin berpikir kalau bisa dekat dengan Indira adalah suatu kebahagiaan tersendiri. Keynand tersenyum samar.
“Parah banget Indira. Masa punya temen cakep begini enggak diceritain sama ibunya.” Keynand mengakhiri dengan kekehan.
Mereka berdua lanjut mengobrol, sedangkan Noval hanya menanggapi jika perlu. Menurut Noval sekarang, sikap Indira tidak sama seperti ibunya. Indira cuek, sedangkan Sarah ramah. Namun, banyak pertanyaan juga yang menghampiri pikiran Noval. Dia juga bingung sendiri kenapa pertanyaan-pertanyaan itu muncul di kepalanya. Seharusnya di kepala Keynand saja.
Dengan seru, Keynand menceritakan kepada Sarah tentang pertemuan dengan Indira pertama kali. Juga tentang sikap pendiam Indira di sekolah. Sarah hanya bisa tersenyum. Sepertinya memiliki teman seperti Keynand, mampu membuat sekolah Indira sedikit berwarna. Itu yang dipikirkan Sarah saat ini, ketika melihat kalau Keynand anak yang baik.
Obrolan mereka berhenti, ketika ada yang memanggil Sarah. Indira sudah datang dengan wajah setengah terkejut.
“Kok, lo bisa di sini? Lo juga.” Dia menunjuk Noval, setelah menunjuk Keynand.
Belum jadi dijawab Keynand, Sarah berkata, “Kenapa, In? Mereka temenmu, disambut bukannya ditanya kayak gitu. Niat mereka baik mau jenguk Ibu. Kamu ini.”
Indira kikuk sendiri. “Maksud Indira … ehm, okelah. Makasih udah repot-repot ke sini.”
Melihat Indira, Keynand langsung tersenyum. “Santai, In. Apa pun tentang lo, gue enggak ngerasa repot.”
Deg!
Di sini ada ibu dan sekarang Indira malu. Dia menatap sekeliling dengan canggung.
***
Napas yang dibuang sembarang terdengar ngenas. Indira mematung di depan mading. Setelah membaca pengumuman di sana, rasanya dunia seakan berhenti.
Tes beasiswa akan diadakan satu minggu lagi. Dari itu, Indira belum mempersiapkan secara maksimal. Jantungnya kini berdegup kencang. Segala pikiran-pikiran buruk mengusik ketenangan. Yang saat ini Indira rasakan hanyalah … takut.
Indira memejamkan mata. Perlahan ketakutannya sirna mengingat sang ibu berbaring di rumah sakit. Dia ingat kerja keras ibunya selama ini, kasih sayang, dan lelah yang datang hanya untuk Indira. Sekarang dia sadar, kalau saat ini bukan waktunya memikirkan rasa takut. Dia hanya perlu bersungguh-sungguh dalam seminggu ini. Untuk impian dan ibu. Ya, dia pasti bisa.
“Jangan berharap lebih, beasiswa ini kecil kemungkinan ada di tangan lo,” celetuk seseorang dari belakang.
Indira membalikkan tubuh, dia mendapati Sandra di sana. Berdiri angkuh dan menatap dengan tatapan remeh.
“Kecil kemungkinan bukan berarti enggak bisa, maaf,” balas Indira tenang, meski hatinya bergemuruh.
Sandra tersenyum culas. “Ada baiknya lo enggak dapat lagi beasiswa ini. Gue muak lihat lo di sini, enggak layak aja, sih.”
Tak mau kalah, Indira menjawab, “Gue juga muak denger omongan sampah lo. Tapi, gue punya mimpi dan ada ibu yang perlu gue banggain tanpa perlu peduliin omongan enggak berguna lo itu.”
Merasa geram, Sandra mendekat kepada Indira. Dia mencengkeram kuat kerah seragam gadis itu. “Sombong banget, lo. Lo belum lihat seberapa bisa gue hancurin impian lo dalam sekejap. Lihat aja!”
Cengkeraman terlepas, Indira sedikit mundur beberapa langkah. Sandra pergi dari sana dengan perasaan kesal. Akan tetapi, sepertinya ada ancaman lain yang datang kepada Indira. Sungguh, Indira menyesal meladeni Sandra tadi.***
Hai, balik lagi di cerita ini.
Kok, update hari Selasa?
Oke. Jadwal update Tabula Rasa, sekarang berubah menjadi hari Selasa, Kamis, dan Sabtu. Insyaallah, jika tidak ada halangan cerita ini akan update di tiga hari tersebut.Doakan kami lancar nulis dan jangan lupa tinggalkan jejak.
Sehat dan bahagia selalu, see you! 💙
With luv,
maeskapisme & NunikFitaloka
KAMU SEDANG MEMBACA
Tabula Rasa (TAMAT)
Teen FictionManis tak selamanya manis, pahit pun sama. Terang tak selamanya benderang, gelap pun sama, tak selamanya gulita. Suatu hubungan yang terjadi dalam sebuah kehidupan, di dalamnya tidak mungkin hanya ada kata harmonis. Pasti ada suatu persoalan yang me...