“Indira!”
Tiba-tiba Ona berteriak, membuat Indira segera mengalihkan pikiran. “Kuping gue belum mau rusak tau, Ona.”
“Sorry, In. Hehe. Coba lo cek gue udah selesai. Nih.” Gadis itu menunjukkan hasil pekerjaannya. Setelah diteliti oleh Indira, jawaban Ona benar. Tentu saja itu membuat Ona berteriak girang, bahkan sampai memeluk Indira.
“Aaa!!! Senangnyaaa.”
Sekali lagi, gadis itu tengah memeluk Indira dari samping. Tanpa sepengetahuan mereka, di tangga ada seseorang yang tengah memperhatikan.
Tatapan tak suka ditunjukkan dengan jelas oleh Pak Marva. Lumayan lama dia memperhatikan kedua gadis tersebut. Cukup geram juga dengan sikap Indira yang menerima Ona.
Dari kejauhan, Pak Marva berdeham sambil berjalan menuju dapur. Sebenarnya tidak ada tujuan untuk ke dapur. Itu hanya ingin memberi peringatan kepada Indira. Dari kemarin-kemarin, dia sudah memberi peringatan yang jelas kepada anak pembantu. Akan tetapi, ternyata tidak begitu mempan. Terbukti dia masih berani dekat-dekat dengan Ona hari ini. Marva pikir, dia harus memberi peringatan yang lebih dari sebelum-sebelumnya.
Indira sadar. Dia menjadi kikuk. Bergeser sedikit, dia mencipta jarak dengan Ona. Sedangkan, Ona tidak begitu peduli. Dia masih bahagia karena berhasil mengerjakan barang satu soal. Sekarang dia tengah membereskan buku-buku, ternyata begini rasanya belajar bersama orang pandai. Cepat selesai.
Ketika Ona selesai merapikan bukunya, dia menoleh kepada Indira. Kendati sudah selesai, Indira masih saja membaca buku. Melihatnya membuat Ona jenuh. Apa tidak lelah terus-terus belajar seperti ini? Dia saja belajar setengah sudah kehilangan setengah tenaga.
“Makan dulu, yuk, In! Pasti lo juga lapar habis ngerjain tugas,” ajak Ona. Dia sudah beranjak, serta menarik sebelah tangan Indira.
Indira berdercak, karena buku yang berada di pangkuan terjatuh. Dia melepaskan tangannya dari tangan Ona. Memasukkan buku-buku ke dalam tas, kemudian ikut berdiri.
Mengingat sikap Pak Marva barusan, ada baiknya Indira segera pergi dari sini. Dia tidak ingin menumbuhkan masalah lebih. Hidupnya sudah sulit, semoga tidak tambah rumit.
“Enggak perlu, Na. Gue balik aja, lagian ibu juga pasti udah masak. Duluan.” Tanpa menunggu jawaban dari Ona, Indira menuju ke belakang. Dia akan melewati pintu belakang untuk sampai ke rumah kecil milik keluarga Ona.
Saat melewati dapur, Indira berhenti mendengar Pak Marva memanggil namanya. Dia tahu, bukan hal baik yang akan terjadi selanjutnya.
“Berapa kali sudah saya peringatkan untuk tidak dekat dengan anak saya? Apakah kalimat-kalimat saya sebelumnya tidak membuatmu jera?” Pak Marva berdiri, dia mendekati Indira. “Tidak tahu diri.”
Berada di waktu seperti ini, Indira ingin sekali menjawab kalimat Pak Marva. Dia tidak tahan dengan … ya, dengan semua ucapan majikan ibunya. Kalau saja ada tempat nyaman yang lain untuk ibu bekerja selain di sini, Indira sudah menyuruh ibunya pindah sekarang juga. Ah, pindah juga tidak membawa efek besar. Masih ada dua belas juta yang harus dikembalikan kepada keluarga Pak Marva.
“Ini peringatan terakhir. Sebelum dekat dengan Ona, saya mohon kamu berkaca siapa dirimu, dari mana asalmu, dan punya apa kamu. Oh, atau jangan-jangan kamu tidak punya kaca?” Kekehan ringan terdengar. Indira semakin jengkel. “Berani-beraninya berteman dengan orang yang tidak sepadan. Apa kamu tidak punya malu? Anak pembantu sepertimu, bermain haha-hihi dengan anak majikannya? Berdiri di samping Ona saja sudah kentara sekali perbedaannya.”
Sudah, ini cukup keterlaluan bagi Indira. Dia manusia, apakah keluarga ini bukan manusia, sehingga dia tidak bisa dekat dengan Ona? Mungkin keterlaluan, tetapi Indira tidak bisa untuk tidak memberi label kepada Pak Marva kalau majikan ibunya itu … berhati iblis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tabula Rasa (TAMAT)
Teen FictionManis tak selamanya manis, pahit pun sama. Terang tak selamanya benderang, gelap pun sama, tak selamanya gulita. Suatu hubungan yang terjadi dalam sebuah kehidupan, di dalamnya tidak mungkin hanya ada kata harmonis. Pasti ada suatu persoalan yang me...