Hari tes beasiswa sudah tiba. Indira berangkat ke sekolah dengan rasa gugup yang bukan main. Dia selalu memanjatkan doa agar semuanya berjalan dengan lancar.
Sejak hari Keynand mempertemukannya dengan Ona, Indira belum sama sekali bertemu dengan Keynand lagi. Dia terlaku fokus dengan tes beasiswa ini. Indira menyadari mungkin dia sudah keterlaluan kepada Keynand. Tidak seharusnya dia begitu waktu itu, Keynand tak tahu apa pun.
Sama seperti Keynand, Indira juga tak pernah terlibat dalam pembicaraan apa pun dengan Ona. Bahkan di rumah Ona yang biasanya akan terlihat selalu mengajaknya bicara, kini justru acuh. Mungkin Ona sudah mengubah pikirannya untuk berteman baik dengan Indira. Indira tidak masalah akan hal itu.
Indira baru saja sampai di kelas dan merasa heran melihat bangku Ona tak ada tas padahal Ona sudah pergi dari rumah sejak pukul 06.30 pagi tadi. Ke mana gadis itu?
Tak mau ambil pusing, Indira duduk di bangkunya. Kembali membuka buku Biologi. Perlu dirinya akui bahwa Biologi adalah pelajaran yang selalu membuatnya lemah tak berkutik. Terlalu banyak cakupan mengenai makhluk hidup membuat kepala Indira berdenyut ketika mempelajarinya atau bahkan hanya menyebutnya saja.
Tangan gadis itu terhenti membuka halaman ketika menemukan garis-garis di bawah tulisan. Seutas senyum menghiasi wajahnya seketika. Dia ingat garis ini timbul selepas dia yang tertidur di perpustakaan waktu itu. Hanya Keynand yang bersamanya dan sudah pasti pria itu yang melakukan semua ini.
Mengapa hanya perlakuan semacam ini mampu membuat hatinya berdesir? Mungkin dia memang sudah jatuh hati kepada cowok itu.
Indira menghela napas begitu menyadari pikirannya barusan. Dia menggeleng kuat. Mana bisa dirinya menyukai Keynand. Mereka kentara sekali berbeda. Akhirnya Indira kembali membaca materi-materi yang ada dalam buku itu. Sampai akhirnya seorang guru memasuki kelasnya dan memanggil namanya.
“Iya, saya, Bu.” Indira mengacungkan tangan.
“Hari ini tes beasiswa, ya. Silakan ikut saya kita siap-siap karena akan segera dimulai.”
Dengan cepat Indira memasukkan buku Biologi ke dalam tasnya lalu bergerak untuk ikut bersama guru tersebut. Dia tak perlu membawa alat tulis apa pun karena sudah disediakan pihak sekolah.
Lagi-lagi jantung Indira berdegup kencang. Dia takut akan hasilnya bahkan ... sebelum dirinya memulai.
***
Keynand duduk di kursi roda di dorong oleh Ona menuju ruang tamu rumah milik Keynand.
“Makasih, Na.”
Ona mengangguk sambil tersenyum menanggapi Keynand. Sejujurnya Ona merasa begitu aneh melihat Keynand dalam keadaan seperti ini. Tubuhnya begitu terlihat lemas, wajahnya pucat dan matanya sayu. Begitu berbanding terbalik dengan Keynand yang biasa dijumpainya di sekolah.
Ona duduk di sofa sambil melirik sekitar. Di dinding terpampang besar foto Keynand dan keluarganya. Jika dilihat dari foto itu, sudah bisa disimpulkan wajah rupawan milik Keynand ini warisan dari siapa. Ayahnya bahkan tampak begitu awet muda.
Sembari Ona melirik-lirik, Keynand meminta asisten rumah tangga untuk membuatkan Ona minum dan camilan.
“Lo punya adik, ya?” tanya Ona langsung beralih menatap Keynand yang masih setia duduk di kursi roda.
Keynand mengangguk sambil tersenyum. “Namanya Nimi.”
Ona hanya mengangguk-angguk.
“Sori, ya, Na. Lo sampai masih pakai seragam.” Keynand kembali berbicara dan sontak mendapat kekehan dari Ona.
“Santai aja, Key. Gue enggak masalah, kok. Gue malah seneng kalau bisa bantuin, lo. Lagian lo kenapa ngotot banget mau pulang hari ini, sih? Padahal kan harusnya besok sore.” Ona bertanya karena memang harusnya dia saat ini berada di sekolah tetapi baru saja tiba di gerbang dirinya mendapatkan pesan dari Keynand yang meminta dirinya untuk menjemputnya pulang dari rumah sakit.
“Hari ini Indira tes beasiswa,” balas Keynand.
“Cuma dengan alasan itu?” tanya Ona lagi.
Keynand mengangguk mantap. “Waktu kita pulang dari kafe, malamnya gue masuk rumah sakit karena ginjal keparat ini. Gue bingung juga kenapa malam itu nyeri banget padahal jadwal cuci darah gue masih lusa dan yap, begitu gue ke rumah sakit diperiksa sana sini, tes urine, CT Scan dan sebagainya gue divonis udah sampai di stadium lima.”
Penuturan Keynand tentu saja membuat Ona membeku di tempat. Dia tahu Keynand sudah cukup lama bergantung hidup dengan cuci darah tersebut. Akan tetapi, dia tidak tahu bahwa Keynand baru beberapa hari lalu sampai pada fase terakhir dari penyakitnya itu.
“Gue mau jujur sama lo.” Ona membulatkan matanya mendengar perkataan Keynand barusan.
“Soal apa?” tanya gadis itu.
“Soal Indira. Tapi sebelumnya gue pengin nanya. Lo tetap berniat jadi teman dia?”
Tanpa ragu Ona mengangguk.
“Meski dia jelas-jelas enggak mau temenan sama lo?” tanya Keynand lagi dan Ona kembali mengangguk.
Keynand tersenyum tipis. “Gue yakin Indira enggak bermaksud gitu sama lo kemarin. Lo masih bisa coba cara lain buat dekat sama dia.”
“Iya, gue ngerti. Indira kayak gitu enggak cuma sekali, kok. Dia udah sering banget terang-terangan nolak buat temenan sama gue. Guenya aja yang resek terus gangguin dia,” jawab Ona setengah terkekeh.
“Lo mau jujur soal apa tadi?” tanya Ona lagi.
“Gue suka sama Indira.”
“Demi apa? Tuh, 'kan, udah gue duga banget!” Ona nyaris berteriak kalau bukan ada asisten rumah tangga yang datang membawakan nampan yang berisikan minum dan camilan.
“Makasih, Bi.” Ona kembali berujar, “tenang aja, Indira juga pasti suka, kok, sama lo,” lanjutnya.
Keynand mengangguk-angguk percaya diri. “Jelaslah, orang gue ganteng gini masa iya enggak suka.”
“Astaga, ternyata kepedean lo tingkat tinggi, ya. Ya, enggak pa-pa lah untung fakta.” Ona mencibir.
“Tapi tetap aja gue penyakitan mau seganteng apa pun.”
Ona yang tadinya mengambil kacang telur dalam toples langsung terhenti mendengar perkataan Keynand barusan.
“Gue udah stadium lima. Itu artinya udah parah banget, 'kan? Gue jadi pengin habisin sisa waktu gue dengan hal yang berharga. Termasuk hari ini, gue mau ada di momen Indira tes beasiswa. Gue mau ada di samping dia apa pun nanti hasilnya, makanya gue mau pulang hari ini.” Keynand semacam menerawang bagaimana hari-harinya berjalan ke depan. Ah, lebih tepatnya sisa hari-harinya.
Ona menghela napas. Dia paham maksud Keynand. “Lo mau nemuin dia sekarang?” tanya Ona.
“Gue enggak yakin dia mau ketemu sama gue. Tapi kalau bukan sekarang mama sama papa gue udah pulang dan pasti gue enggak akan dibolehin dulu keluar,” jawab cowok itu.
“Eum. Gue bisa bantu lo kalau lo mau.”
“Bantu gimana?” tanya Keynand.
“Buat ketemu Indira.”
“Gimana bisa? Lo aja selalu ditolak buat deket sama dia,” cibir Keynand.
“Ish, sialan. Gue bisa, kok. Percaya sama gue.”
***
Indira sudah selesai mengerjakan tes beasiswanya dua jam yang lalu, tetapi degup jantungnya belum juga normal. Dia masih begitu cemas akan hasilnya. Pasalnya hasilnya akan diumumkan pulang sekolah nanti.
Melihat dari soal-soal tadi Indira bisa menyelesaikannya dengan baik meski tetap ada beberapa yang kesulitan. Namun ... entah mengapa rasa takut dalam dirinya semakin besar.
Sekali lagi Indira melirik bangku Ona dan gadis itu tak juga ada di sana. Pun dengan tasnya. Apa dia bolos?
Berakhirlah dengan Indira yang terus merasa was-was selama jam pelajaran. Sampai akhirnya bel pulang berbunyi bersamaan dengan pengumuman bahwa hasil beasiswa akan segera ditempel di mading.
Indira bergegas berdiri dan ingin cepat tiba di depan mading, tetapi terhenti ketika Melisa dan Sandra menghalangi jalannya.
“Ada yang enggak sabar lagi lihat hasil tes beasiswa, nih.” Itu suara Sandra.
“Gue enggak ada waktu. Minggir.” Indira menatap kedua siswa itu dengan malas.
Lalu Sandra memberi tanggapan dengan tawa meremehkan. “Sampai sejauh ini aja lo masih songong, ya?”
Indira memutar bola matanya dengan malas.
Sandra mendekat dan menatap Indira dengan tajam. “Gue harap lo enggak lupa sama omongan gue waktu itu. Gue bisa aja merenggut semua mimpi dan masa depan lo itu.”
Indira tersentak mengingat kalimat itu lagi. Namun, dia hanya diam tak menanggapi melainkan langsung menggeser tubuh Sandra agar dirinya bisa lewat. Dia hanya tak ingin nanti perkataan Melisa dan Sandra akan menganggu pikirannya lagi.
Langkahnya menyusuri koridor dengan cepat dan saat baru tiba di hadapan mading ada beberapa siswa yang berdiri untuk melihat, tapi sebisa mungkin Indira menerobos dan melihat pengumuman mading.
Seketika kakinya lemas, bahunya turun begitu membaca satu per satu nama yang tertera di sana. Napasnya memburu dan gejolak kecewa memuncak dalam dirinya. Ini ketakutan terbesarnya. Dia gagal mendapatkan tes beasiswa untuk semester depan.
Perlahan dirinya menjauh dari sana lalu memegangi dadanya yang penuh rasa kekecewaan. Lalu kembali teringat perkataan Sandra.***
Hei, apa kabar? Gimana perasaannya setelah baca ini?
Sesak, ya. Semua yang udah dipersiapkan sejak lama, eh, remuk begitu saja. Tapi enggak apa-apa, lain kali masih bisa coba.
Kami minta kalian tinggalin jejak. Terima kasih. Sampai jumpa!
With luv,
maeskapisme & NunikFitaloka

KAMU SEDANG MEMBACA
Tabula Rasa (TAMAT)
Ficção AdolescenteManis tak selamanya manis, pahit pun sama. Terang tak selamanya benderang, gelap pun sama, tak selamanya gulita. Suatu hubungan yang terjadi dalam sebuah kehidupan, di dalamnya tidak mungkin hanya ada kata harmonis. Pasti ada suatu persoalan yang me...