"Kalian ini maunya apa, sih? Udah datangnya telat, gak bawa buku tugas, ngeles lagi! Mau jadi apa besar nanti, hah?!"
Seperti hari-hari sebelumnya, kelas dipenuhi suara ngegas Aryon yang sudah dikenal bertabiat galak tujuh turunan sepuluh tanjakan lima belokan. Tiap masuk selalu saja ada ceramah penghias suasana, mana air liurnya nyembur lagi. Iyuuuk.
"Kami beneran lupa, Pak. Kemarin malam saya udah ingetin Desi buat bawa buku tugasnya, tapi gak sengaja ketinggalan," bela Eri selaku ketua kelompok sekaligus juara kelas.
Dia tidak bisa terima begitu saja nilai kosong di mapel ajaran Aryon yang terbilang cukup penting untuk mencapai IPK nantinya. Mengerikan sekali ketika Eri membayangkan raut marah ayahnya saat tahu satu matkul di bab kedua kosong, sialnya lagi ayahnya salah satu dosen di kampus sini pula. Bahaya ceritanya.
"Halah! Udah salah ngejawab pula!" sentak Aryon geram, dia mengibaskan tangan menyuruh kelompok Eri duduk saja, tak perlu lagi mengantar tugas minggu lalu.
"Tapi, Pak. Sa—"
"Duduk!" potong Aryon sambil memukul meja dengan penggaris panjang terbuat dari rotan.
Dahlah, tamat riwayat Eri kali ini.
"Kelompok dua! Berikan tugas kalian yang sudah dirangkum dalam satu buku. Sekarang!" tekan Aryon membuat seisi kelas diam seribu bahasa.
Mahasiswi paling ujung yang tengah asyik mengupil pun menjadi sorotan, dia yang memegang kendali untuk kelompok dua yang hampir seluruh anggotanya pada bego semua. Apalagi ketuanya juga bego, sudah tidak ada harapan lagi.
Semua orang cuma bisa berharap kali ini Ulfa membawa tugas yang dimaksud sebelum negara api benar-benar meluluhlantakkan kelas mereka.
Semoga saja.
"Fa, cepetan," tegur Sulas sedikit berbisik, takut ketahuan Aryon.
Cewek berbaju kaus hitam dan celana polkadot mirip badut itu bangkit, meraih buku berwarna cokelat yang sudah ada di meja sedari pagi. Ulfa memang telah memastikan semuanya berjalan lancar.
"Alhamdulillah, kali ini Ulfa bantu kelompok kita," bisik Mirda lega, dia mengurut dada sambil mengembuskan napas lega.
"Gue kira si Ulfa ga bisa diandelin, eh tau-tau ngebantu juga tu anak," timpal Nani sesekali menatap sekitar, benar-benar harus waspada, takut kena sembur Aryon lagi.
"Gue tau si Ulfa selain cantik bisa diandalin lagi, gak sia-sia gue ngasih asi kucing ke dia," seloroh Sulas sukses membuat Nani memberi sentilan maut.
Namun, fokus tiga cewek itu langsung teralihkan ke buku cokelat yang sedang dipegang Aryon. Kening mereka berkerut dengan pikiran melanglang buana mengingat apa yang mereka lupakan. Sepertinya penting.
Ulfa baru saja ingin duduk dengan gaya angkuhnya, tetapi suara Aryon menghentikan niat Ulfa. Jelas sekali tercetak amarah yang lebih besar dari tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAHASISWI BUCIN (END)
Humor"Pak, kayaknya mata Bapak ini lampu merah, deh." Ulfa menatap Sam sambil tersenyum sebelah. Sam menoleh acuh, "Lampu merah?" "Iya, tiap ngeliatnya saya jadi berhenti terus," sambungnya sambil cengengesan "Mau belajar apa gombal, heh?" tanya Sam jeng...