Udah siap nambah konflik😂
*
*
*"Pak, hari ini temenin saya nonton di bioskop, ya," pinta Ulfa di sela-sela kegiatan makannya. Sam mengangguk.
Iya, saat ini Ulfa dan Sam berada di kantin kampus. Hubungan mereka tidak dipublikasikan, tetapi semua orang yang melihat kedekatan mereka sudah tentu yakin kalau dosen dan mahasiswi itu punya hubungan.
"Sekalian ke mall sebentar, saya mau beli sesuatu." Sam menyeruput es tehnya, "Kamu suka baca novel?"
Ulfa mengangguk pelan, "Suka."
"Yaudah sekalian ke Gramed." Sam mengelap bibirnya menggunakan tisu yang sudah disediakan di tiap meja.
Gadis berwajah tak terlalu tirus itu menggaruk tengkuk. Dari SD sampai SMA Ulfa jarang sekali membaca, kalaupun membaca yah berarti lagi ada angin baik atau paling tidak alibi untuk tetap di perpustakaan memerhatikan para kutu buku ganteng yang sering nangkring di sana.
"Banyak-banyak baca buku, kalau mau lulus dengan nilai bagus harus giat." Sam memerhatikan gadis di depannya sambil tersenyum kecil.
"Saya gak suka belajar, Pak," ceplosnya jujur. Sam terkekeh.
"Kalau kamu mau sukses, kamu harus pacu diri untuk terus belajar. Pengetahuan itu luas, jangan diam di tempat dengan alasan malas karena keberhasilan gak akan datang tanpa usaha," papar Sam membuat mata sipit Ulfa mengerjap beberapa kali.
"Tapi dasarnya saya ga pinter ya gimana," dalih Ulfa mencoba bertahan pada pendirian malasnya.
Hidup malas! Hiduuuup!
"Kamu bukan malas, cuma belum terbiasa aja dengan yang namanya belajar." Sam berdiri, menyusun buku-bukunya yang berserakan di meja besar tersebut lalu senyum pada Ulfa, "Saya suka gadis yang pintar, tapi saya lebih suka gadis bodoh yang mau belajar menjadi pintar." Sam berlalu menuju kelas selanjutnya.
Ulfa? Gadis itu hanya mampu memegangi dada sambil berujar, "Gila, ini laki satu kalau senyum buaya di ragunan keluar semua."
Kilatan flash mengusik ketenangan Ulfa. Dia menatap pria memakai hoodie hitam tak jauh dari mejanya sedang memegang kamera.
Dia bangkit, berjalan menuju si pria yang mulai panik. Tatapan tajam serta raut wajah kaku membuat siapa yang melihat akan salah tingkah.
"Lo foto siapa?" tanyanya tanpa ekspresi. Tampaknya sikap datar Sam menular ke Ulfa.
"G--gak, gue gak foto siapa-siapa. Gue cuma nyoba kamera baru doang," tampiknya kemudian bangun dan berjalan menjauhi Ulfa yang menatapnya curiga.
Brayen yang sedari tadi sembunyi langsung mengejar teman suruhannya yang menunggu di belakang kampus. Dia mengambil alih kameranya lalu merogoh saku hoodie.
"Gue hampir ketahuan, Bego! Jangan nyuruh gue yang engga-engga lagi," peringatnya sembari menerima serbuk putih yang menjadi candu belakangan ini.
"Tapi bayaran lo setimpal, 'kan?" Brayen menyeringai licik melihat temannya menjilati serbuk putih yang ia beri.
Wajah baby face datarnya menipu publik. Siapa yang tahu di balik wajah polos tersimpan kebusukan dan ambisi yang besar. Brayen memindahkan sim card dari kamera ke HP lalu mengirimkan foto-foto kebersamaan Ulfa dan Sam pada atasannya.
[Lupakan gadis itu! Sam sudah tau semuanya. Cepat tuntaskan kerjaanmu!]
Rahang Brayen mengeras. Terlalu cepat Sam tahu. Apa karena ia pintar makanya bisa menganalisis tanpa meleset. Brayen segera kembali ke kelas, yang jelas Sam hanya tahu dalang dari semua kejadian, dia tak akan curiga pada Brayen.
Brayen menegang melihat Sam berjalan berlawanan arah dengannya. Dia bersikap senormal mungkin, berusaha menampakkan senyum palsu yang tampaknya dimakan mentah-mentah oleh Sam.
Dia bernapas lega setelah sampai di kelas. Brayen kembali ke mejanya yang penuh dengan bingkisan dari para gadis yang menyukainya. Brayen membuang kado-kado aneh itu ke lantai, dia berusaha fokus menyusun rencana apa yang dapat menjatuhkan Sam, sesuai dengan permintaan atasannya.
***
[Saya ada urusan sebentar. Kamu duluan aja nanti share lock ke saya.]
Setelah mengirim pesan ke Ulfa, Sam memacu kereta besinya menuju rumah seseorang yang sudah lama menjadi musuh bebuyutannya. Sam sudah menyelidiki selama kurang lebih tiga harian ini, apalagi info mendadak dari Nani dan Verel yang mengatakan ada mata-mata di kampus mereka.
Sam tak ingin menuduh, tetapi ia kadung curiga jadi harus memastikan semuanya. Dia sempat adu mulut dengan orang itu, tapi tampaknya lawan Sam kali ini cukup licik.
Deru mesin mobil membuat Amir mengintip melalui jendela rumah. Di halaman depan tampak Sam tengah membetulkan jam dan berjalan mendekati pintu rumah.
Amir menormalkan ekspresi mukanya. Membukakan pintu setelah bel berbunyi lebih dari tiga kali. Tampaklah wajah tampan adik tirinya yang terlihat kurang bersahabat. Amir tersenyum seperti biasa, meremehkan.
"Halo, Sam. Apa kabar?"
"Jangan banyak bicara, mari selesaikan semuanya," ujar Sam dingin. Dia nyelonong masuk, membiarkan tuan rumah menggeram tertahan di ambang pintu.
Sam tiba di ruang tamu. Dia menyingkirkan bantal sofa kemudian duduk tenang menunggu Amir datang, matanya melihat TV tapi telinganya mendengarkan langkah kaki saudara tirinya.
"Katakan saja apa maumu, Amir. Jika merasa perlu, datangi aku, jangan kau mengacau kekasihku." Belum sempat Amir duduk, Sam lebih dulu mencecarnya dengan perkataan pedas.
"Kau masih menuduhku yang tidak-tidak? Apa-apaan kau ini Sam." Amir menatap tak terima.
Sudut bibir Sam tertarik membentuk senyum sinis, "Kau fikir aku siapa? Orang bodoh yang bisa kau tipu saban hari?!"
"Aku tau kau tak suka padaku, Sam! Tapi dengan menuduhkan begini apakah suatu kebenaran?!" Amir menarik kerah baju Sam, memaksa adik tirinya bangkit meski tergesa.
Sam memegang pergelangan tangan Amir yang bersarang tepat di kerah bajunya, "Aku punya banyak bukti yang merujuk padamu. Kau berusaha memutuskan hubunganku dengan Ulfa agar Papa menyerahkan 80 persen kekayaannya padamu yang sudah beristri. Licik!"
Amir menyeringai lebar, "Kau pandai sekali menganalisis. Jangan harap kau bisa mendapatkan aset tua bangka itu, karena seratus persen kekayaannya akan jatuh ke tanganku. Apalagi Agatha sedang mengandung."
Rahang Sam mengeras, dia kalah telak sekaligus kalah start. Sam menepis tangan Amir, melangkah keluar tanpa permisi, dia punya kegiatan lain yang lebih penting, yang jelas Sam sudah memutuskan pelaku di balik teror selama ini adalah Amir, abang tirinya.
Amir mengantar kepergian Sam dari depan pintu, dia tersenyum miring menanti kekayaan yang nyaris dalam genggaman. Sedikit lagi. Jika Amir mampu menyingkirkan Sam maka semuanya akan berakhir dan dialah pemenangnya.
Tangan kekar Amir merogoh saku celana, menelepon seseorang yang sudah lama menjadi kaki tangannya.
Telepon tersambung.
"Urus Samsuri Baraningrat secepatnya."
~Bersambung~
Part 32 khusus uwu-uwu, part 33 siap-siap konflik lagi.
Yesss konflik lagii😘😘
KAMU SEDANG MEMBACA
MAHASISWI BUCIN (END)
Humor"Pak, kayaknya mata Bapak ini lampu merah, deh." Ulfa menatap Sam sambil tersenyum sebelah. Sam menoleh acuh, "Lampu merah?" "Iya, tiap ngeliatnya saya jadi berhenti terus," sambungnya sambil cengengesan "Mau belajar apa gombal, heh?" tanya Sam jeng...