Jalan setepak agak becek membuat langkah Ulfa oleng, beberapa kali ia nyaris terjungkal karena licinnya jalan yang tidak terbuat dari semen melainkan tanah. Ya, gadis itu tengah berjalan menuju suatu tempat sambil menangis.
Setelah melalui gang sempit, gadis itu melanjutkan langkah ke arah Barat menuju hutan yang dapat dilalui mobil karena ada jalan aspal di sana.
Sepanjang jalan tangis tak juga reda, Ulfa merasa hina, dituduh sedemikian rupa membuat benteng kokoh yang dibangun susah payah roboh dengan sekali tendang.
Gadis itu yakin Imran dan Alfi mencarinya karena berita sangat cepat tersebar, lebih lagi Alfi salah satu mahasiswa semester akhir di kampus yang sama.
"Gue gak sehina itu," lirih Ulfa menatap kosong ke depan.
"Gue cuma korban."
"Gue gak pernah pengen Seno celaka."
"Gue juga gak pengen dijadiin bahan taruhan!"
"Di sini gue cuma korban! Anjing!"
"Gue korbannya biadab! Kenapa lo semua malah nyalahin gue?! Kenapa hah?!"
"Sialan!" Mengusap air mata kasar, Ulfa melajukan langkah, mengambil arah berbelok padahal jalan aspal masih lurus di depan.
Ke mana Ulfa? Mengakhiri hidup?
***
Sam mengambil satu per satu lembar jawaban yang seharusnya dikumpul minggu lalu, karena dia baru masuk jadi waktu yang ada digunakan untuk bercerita saja.
Iya, saat ini Sam ada di kelas Ulfa.
"Lo percaya Ulfa digituin?" bisik Desi pada Amel yang duduk di meja sebelahnya.
Gadis dengan rambut dikuncir itu menggeleng, "Gue gak tau mau percaya atau engga, yang jelas kita harus tau dulu faktanya."
"Iya juga, kasian kalau nyatanya Ulfa ga salah. Sekarang aja dia jadi topik trending di grup kelas masing-masing, gue sampai bingung cara ngeredam beritanya." Desi menghela napas berat, meski dia dan Ulfa tak terlalu dekat, gadis itu memilki hutang jasa pada Ulfa.
Hutang yang tak mungkin bisa dibayar dengan uang tentunya.
Dennis menoel lengan Febrianto, "Bukannya pas semester satu Ulfa pernah punya masalah sama senior? Gue gak tau pasti sih ceritanya tapi dari beberapa sumber akurat, Ulfa dijadiin bahan taruhan dan incaran rival Papanya."
Febrianto mencondongkan tubuhnya ke kiri, "Gue berharap bisa bantu itu anak, meski keliatan bobrok, sering ngebantu gue pas lagi bokek ga ada duit."
"Makanya bantuin gue balesin story orang yang bikin status yang kagak-kagak tentang dia, ayok." Alis Dennis naik turun sebagai kode.
Tak disangka hampir satu kelas mengeluarkan HP, diam-diam membalas story nyeleneh yang terus tercetus di media sosial. Tak ada lelah karena bagi mereka Ulfa adalah saudara. Ya, mereka satu kelas adalah saudara.
Sam tentu mendengar bisik-bisik itu, dia sendiri merasa bingung antara percaya atau tidak sebab di foto jelas sekali bekas-bekas bibir laknat tertinggal di leher dan area-area intim lainnya.
"Ya Tuhan." Sam mengurut pelipis, dia merasa harus membantu tetapi ragu.
"Apa yang sebenenarnya terjadi sama kamu, Fa?" lirih Sam sendu.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAHASISWI BUCIN (END)
Humor"Pak, kayaknya mata Bapak ini lampu merah, deh." Ulfa menatap Sam sambil tersenyum sebelah. Sam menoleh acuh, "Lampu merah?" "Iya, tiap ngeliatnya saya jadi berhenti terus," sambungnya sambil cengengesan "Mau belajar apa gombal, heh?" tanya Sam jeng...